Sabtu, 21 Mei 2011

Mengenang Masa (Hampir) Jaya

Di libur semester yang lalu saya dan tiga orang teman bersepakat untuk membuat sebuah Toko Buku. Untuk kepentingan promosi, waktu itu saya membuat sebuah profil perkenalan personil. Seperti ini:
                                                                                                                                                                                                                   
Hai kami adalah Dedi Risfandi a.k.a Fandi, Muarif a.k.a Arief, Wahyudin a.k.a Opu dan Suardi a.k.a Chua. Kami adalah mahasiswa Fakultas Hukum Unhas. Kami satu kampus, satu angkatan, satu organisasi serta satu status yang sama: Jomblo terakreditasi A.

Dan di penghujung tahun 2010 ini kami kembali satu pikiran untuk membuka sebuah Rumah Buku yang secara sepakat kami beri nama Pelita Ilmu.

Mari berkenalan dengan kami:

Dedi Risfandi (Marketing)

Seorang Bugis yang lebih kental Papua-nya, Karena memang lahir dan besar di Pulau eksotis itu. Semua pendidikan wajib belajar 12 tahunnya dilalui di Kota Jayapura. Dan kini ia menempuh pendidikan tingginya di kampus merah Unhas, tepatnya Fakultas Hukum, setelah sempat menganggur setahun di tahun 2008.

Pria bebadan agak tambun ini sangat proaktif di kehidupan kampus. Selain disibukkan dengan bergelut dengan mata kuliah hukum, ia juga sangat aktif di banyak organisasi kampus. eksistensinya di beberapa organiasi tak dapat disangsikan lagi. tercatat hingga saat ini sedikitnya 6 organisasi mencatat namanya sebagai member. LP2KI, Karate Gojukai, HMI, FLP Unhas, Alsa FH UH serta BEM FH UH adalah kendaraan organisasi pria yang akrab disapa Fandi ini.

Cita-cita Fandi tidak main-main. Ia ingin segera menamatkan S1-nya dan segera melanjutkan studi hingga meraih gelar Profesor dengan sesegera mungkin. Satu lagi cita-cita yang sangat ingin diwujudkan pria murah senyum ini, yaitu segera memiliki pasangan yang dapat menghiasi hidupnya yang sebenarnya sudah sangat berwarna, Yang terakhir itu semoga bisa terwujud secepatnya. amin...

Maju terus Fandi. Revolusi sampai kawin :D

Muarif (Yang Punya Rumah)

Yang satu ini hampir sama dengan Fandi. Ia seorang Bugis yang juga kelamaan di Papua. Jika Fandi menetap di ibu kota, Arief terdampar di barat Papua tepatnya di Kota Sorong.

Fakultas Hukum Unhas adalah labuhan pilihan untuk meraih gelar sarjananya. Selain menjalani kewajiban untuk aktif kuliah hukum, ia juga aktif di beberapa organisasi penulisan kampus. Pria ini memang sengaja untuk menambah jam kegiatan di luar kuliah dengan belajar segala hal tentang penulisan termasuk bergaul dengan mahasiswa yang juga aktif di penulisan.

Sebagai seorang lelaki Arif sebenarnya memiliki segala potensi untuk menjadi penakluk wanita. Tinggi mumpuni, wajah tampan, kulit putih bersih dan memiliki kendaraan roda dua yang mewah Ninja RR. Namun das sein dan das sollen tidak berbanding lurus di kehidupan pria yang sangat terobsesi dengan band Ungu ini. Selama menjalani kehidupan kampusnya ia belum juga memiliki seorang yang bisa dipanggilnya 'sayang'. Apa yang salah dengan pria ini? Hingga teman-teman sepermainanya mensinyalir bahwa Ia memiliki kelainan selera seksual (Baca: homo).

Cita-cita-nya juga tidak kalah luar biasa, menjadi seorang corporate lawyer yang dibayar 1000 dolar per jam. Honor segitu mau diapain? Mungkin mau ke Belanda untuk meresmikan ikatan dengan pasangan sejenisnya :D

*dilarang marah

Wahyudin Opu (Kacung tapi Bos 1)
Lahir di Pinrang membuat lelaki cokelat ini juga berdarah Bugis. Baru melepas masa balita-nya Ia langsung hijrah ke negeri jiran mengikuti orang tua. Namun tak cukup setahun di Malaysia, keluarganya kembali berpindah ke sebuah pulau di ujung utara Kalimantan Timur, Pulau Tarakan. Masa sekolah dihabiskan di kota ini. Sampai tiba masa kuliah, ia berjodoh dengan Kota Makassar untuk melanjutkan studinya.

Sastra Indonesia Unhas menjadi persinggahan belajarnya di tahun 2008. Namun karena satu dan lain hal pada tahun 2009 pria yang biasa dipanggil Opu ini memilih kembali mengikuti tes ujian SPMB. Tak dinyana, Opu lulus secara mejik di Fakultas Hukum namun tetap pada almamater yang sama, Unhas. Jadilah hari-hari selama kurang lebih 4 tahun ia habisnya untuk bergelut dengan mata kuliah hukum.

Selain kuliah, Opu juga aktif di beberapa organisasi. Organda Tarakan Study Club (TSC) dan LP2KI menjadi kendaraan untuk belajar lebih di masa kuliah. Dunia organisasi memang sudah akrab dengan Romanisti ini sejak bersekolah.

Cita-cita pria ini sangat sederhana, apapun pekerjaannya kelak, ia ingin menjadi orang kaya. Tentu dengan cara yang legal. menurutnya dengan menjadi orang kaya mungkin ia bisa 'membeli' yang ia inginkan, termasuk wanita idamannya. maybe.

Mustahil mendapatkan wanita idaman dengan keadaannya sekarang, serba kekurangan kasian :D

Suardi (Kacung tapi Bos 2)

Yang ini juga Bugis (bilang ajah dari tadi kalo semua orang disini itu bugis). Tepatnya Bugis Maros. masa kecil pernah ia lalui dengan tawuran di Timor Timur sewaktu masih menjadi bagian nusantara. ekstrim bukan.

Aktif berorganisasi sejak SMA. Pengalaman pernah menjadi ketua OSIS sewaktu SMA membuktikan kemampuan berorganisasi pria pemalu ini sudah sangat  mumpuni sejak usia muda.

Berkuliah di Fakultas Hukum Unhas membuat pria yang akrab disapa Chua ini kembali mempertajam kemampuan berorganisasinya dengan bergabung dengan UKM Fakultas. LP2KI dan Karate Gojukai adalah dua organsiasinya saat ini. Selain dikenal sebagai mahasiswa yang selalu menjadi andalan di kelas, ia juga menajadi andalan bagi teman-teman di organisasinya.

Cita-cita-nya sangat mulia, menjadikan daerahnya Maros bisa lebih dikenal di tingkat nasional atau bahkan internasional. Sungguh niatan yang sangat mulia yang datang dari seorang putra daerah sejati.

Tak mau kalah dengan Putri Indonesia, ia juga punya slogan andalan untuk mempromosikan Maros: 'Maros is beautiful country' (Upss Salaaahh...)

Itulah, dan kami sependapat kami bisa sukses dengan membuka Rumah Buku Pelita Ilmu ini.
                                                                                                                                                                                                                  
Sayang usaha yang sebenarnya potensial tersebut harus berakhir prematur. kami cuma sempat buka selama tiga bulan. Selebihnya, kami lebih sibuk dengan urusan lain, seperti kuliah dan kegiatan organisasi. Sayang sungguh..
Tapi tak mengapa. Mungkin suatu hari nanti bisa lebih serius. Entah bersama ataupun sendiri-sendiri.

Jumat, 06 Mei 2011

Perang Makassar 1669: Mengenang Masa Jaya Kerajaan Gowa

Judul Buku: Perang Makassar 1669: Prahara Benteng Somba Opu
Penulis: S.M. Noor
Penerbit: Kompas
Waktu Terbit: April 2011


"Sesungguhnya karena kesabaran rakyatku bersedia memberikan apa yang mereka inginkan dalam Perjanjian Bungaya melalui aku; tetapi mereka menghendaki jantungku, dan hati ini adalah martabat dan harga diri setiap manusia" (Sultan Hasanuddin) 


Novel sejarah ini dibuka dengan prolog yang menggambarkan salah satu tokoh utama dalam cerita ini, yaitu I Makkuruni. Ia adalah seorang perwira muda yang berasal dari Kampung Bira. Namanya mulai tersohor di seantero Kerajaan Gowa ketika berhasil menenggelamkan lima buah kapal milik VOC/Belanda. Hal tersebut ia lakukan karena VOC sengaja melakukan blokade jalur perdagangan laut yang mengakibatkan kerajaan Gowa merugi dan Bira, kampung I Makkuruni juga terkena imbasnya.

Cerita berlanjut dengan bergabungnya I Makkuruni bersama pasukan perang Kerajaan Gowa. Ia datang dengan membawa18 buah kapal phinisi juga 200 perwira terbaik Kampung Bira untuk membantu pertahanan Butta Gowa. Oleh Karaeng Intang, panglima perang Kerajaan Gowa I Makkuruni lalu dihadapkan pada Sultan Hasanuddin, Yang merupakan Raja Gowa pada waktu itu. Karena keberaniannya yang sudah kesohor I Makkuruni langsung ditunjuk menjadi wakil komandan Karaeng Issong untuk memimpin Galle Karaenta, kapal perang yang dipakai I Makkuruni untuk menenggelamkan lima kapal VOC. Karaeng Issong sendiri adalah putra ketiga Sultan Hasanuddin.

Tanpa sepengetahuan raja, Karaeng Issong bersama wakilnya I Makkuruni juga I Rioso seorang bangsawan Mandar yang juga loyal terhadap Kerajaan Gowa, berencana menghadang kapal VOC yang membawa perlengkapan perang. Dicurigai oleh Karaeng Issong, Kapal tersebut sengaja menimbun perlengkapan perang di Ford Rotterdam untuk menyerang Kerajaan Gowa suatu saat nanti.

Perang pun pecah di perairan Masalembo.

Karena lebih siap akhirnya armada Karaeng Issong memenangi pertempuran tersebut. Pasukan VOC mengalami kekalahan telak dengan terbunuhnya pemimpin misi ke Ford Rotterdam tersebut, yaitu Van Den Lubbers. Beberapa kapal dan peralatan perang disita dan pasukan VOC yang masih hidup pun ditawan.

Perang inilah yang menjadi puncak kemarahan Gubernur Belanda di Batavia, Johansen Joan Maetsuyker. Segera ia lakukan rapat bersama semua pejabatnya untuk merencanakan serangan balik kepada Kerajaan Gowa. Admiral John Van Dam ditunjuk menjadi pemimpin misi ini. Admiral John Van Dam yang memang sedari dulu memiliki dendam tersendiri pada Kerajaan Gowa begitu bersemangat menyambut tugas ini.

Melalui badan intelejennya, Kerajaan Gowa mengetahui dengan cepat niatan VOC tersebut. Tak mau kalah para pejabat Kerajaan pun melakukan rapat untuk melawan serangan itu. Karaeng Intang sebagai panglima perang kerajaan mengatur strategi. Semua perwira terbaik dipersiapkan untuk turut bertarung. Tidak terkecuali trio Karaeng Issong, I Makkuruni serta Karaeng Rioso yang berpengalaman menghantam pasukan VOC di perang sebelumnya

Singkat cerita, pecahlah perang antara Kerajaan Gowa melawan VOC yang telah berhasil membujuk Kerajaan Bone, Kerajaan Buton dan Kerajaan Ambon untuk menjadi sekutu mereka. La Tenritatta Arung Palakka yang memiliki dendam menahun dengan Kerajaan Gowa sangat berhasrat merebut daerah tersebut. Semua upaya maksimal dari kedua kubu pun dikerahkan di medan kombatan ini.

Dengan dibawa sertanya meriam "Anak Makassar" menambah keyakinan para prajurit Kerajaan Gowa. Meriam ini memang adalah meriam andalan Kerajaan Gowa. Biasanya meriam ini dipasang di ibu kota Somba Opu sebagai senjata pertahanan terakhir kerajaan. Ditambah lagi dengan strategi yang begitu jitu yaitu serangan dua arah atau mengepung membuat Kerajaan Gowa unggul di perang yang berlangsung selama berhari-hari ini.

Puluhan kapal telah menjadi bangkai dan tenggelam ke dasar laut. Ratusan prajurit gugur dalam petempuran ini. Belum lagi kerugian materil yang pasti dialami oleh kedua kubu. Memang selalu itulah yang hadir di akhir setiap perang.

***

Selain penggambaran dahsyatnya perang, banyak hal yang menurut saya menarik dari novel sejarah ini. kearifan juga cara bertutur khas masyarakat Bugis-Makassar yang begitu santun tercermin di sini. Contohnya saja tokoh utama I Makkuruni begitu santun bahkan sangat merendah jika berhadapan dengan para petinggi Kerajaan Gowa. Namun sikap itu berubah menjadi sikap yang gagah berani pantang takut jika sudah berhadapan musuh (VOC). Sikap ini tentu adalah aplikasi dari etos siri' na pacce (pesse) yang memang menjadi sikap khas manusia Bugis-Makassar.

Novel sejarah ini juga dibumbui cerita cinta yang menarik menurut saya, bukan cinta yang banal. Walaupun tidak terungkap secara blak-blakan, romansa kasih antara I Makkuruni dengan tuan putri I Patimang sangat indah sekaligus unik. Perasaan cinta mereka tersirat melalui saputangan milik I Patimang yang diberikan kepada I Makkuruni. Memang sang tuan putri telah jatuh hati dan menaruh simpati sejak pertama kali bertemu I Makkuruni. Ia kagum akan keberanian serta kesantunan wakil dari kakaknya tersebut. Namun tidak diketahui akhir cerita dua sejoli tersebut dalam novel ini.

***

Sang penulis, Prof. SM Noor (saya harus memanggil beliau prof. karena penulis adalah dosen saya di Fakultas Hukum Unhas) walaupun berlatar belakang sebagai seorang akademisi, dapat dengan gamblang mengurai cerita sejarah ini dengan sedetail mungkin. Penulis yang seorang guru besar di bidang Hukum Internasional sangat menguasai seluk beluk Perang Makassar yang terjadi pada abad ke-17 tersebut.

Saya pernah membaca alasan beliau menulis novel ini di salah satu harian kota. Alasan beliau menulis sejarah dalam bentuk novel bukan dalam bentuk buku teks atau karya tulis ilmiah adalah agar pembaca dapat menerima cerita sejarah ini dengan mudah. menurut beliau pembaca akan cepat bosan bahkan tidak tertarik membaca apabila sejarah tersebut ditulis dalam bentuk tulisan formal.

Saya kira ini adalah sebuah strategi yang sangat baik dalam masalah metode penyampaian ilmu pengetahuan. Salah satu sebab mengapa minat membaca masyarakt kita sangat rendah karena para penulis kita kurang mampu menghadirkan tulisan dalam bentuk yang menarik, baik dalam bentuk isi maupun metode penyampaiannya. Dan Prof. SM Noor ini melakukan sebuah langkah maju dalam upaya peningkatan budaya literasi masyarakat Indonesia.