Minggu, 17 Februari 2013

Playlist Februari: Yang Semangat... Yang Semangat...


Lupakan teman cinta yang kian banal saja setiap Februari datang. Bulan ini menjadi semacam titik tolak bagi saya. Ada sesuatu yang harus berubah.

Beberapa hari lalu saya menghadiri ujian skripsi Afif. Ia salah satu karib saya sedari mahasiswa baru. Di hari ujiannya, Afif tampil sangat memukau. Tak ada satu pertanyaan pun yang ia lewatkan tanpa memberikan jawaban yang tepat pat. Seketika saya membayangkan: kapan kiranya saya akan menjalani situasi seperti itu.

Ujian Afif tersebut menjadi semangat penambah bagi saya untuk terus berkonsentrasi mengerjakan Tugas Akhir. Bulan ini progres pengerjaannya sudah lumayan saya kira. Belum lagi bantuan dari teman-teman, yang ternyata silih berganti datang membantu di saat dibutuhkan.

Sebagai pelengkap semangat tersebut, saya menasbihkan playlist bulan Februari saya dengan memutar lagu-lagu yang sungguh dapat melipat-gandakan spirit saya. Ini dia lima diantaranya;


Selamat mencoba mendengarkan. Semoga semangatnya tertular.

Rabu, 06 Februari 2013

Band Indonesia yang Seharusnya Manggung di Makassar Tahun Ini


Ini tentang Makassar dan Musik Independen. Dari pandangan saya kota ini sedang bergairah dalam hal seni pertunjukan bebunyian dengan semangat DIY tersebut. Hampir tiap bulan, ada saja gigs yang dihelat. Mulai dari panggung mini yang memainkan skena lokal, sampai venue raksasa yang mendatangkan musisi berlabel internasional. Sungguh semarak.

Saya kira hal ini tak lepas dari kencangnya perkembangan informasi yang membuat semuanya serba mudah. Batas teritori seakan tak ada lagi. Bagaimana seorang musisi yang baru merilis karyanya, dalam sekejap seluruh nusantara sudah dapat mendengarnya. Lingkaran komunitas yang terbangun di dunia maya juga sangat membantu. Jalinan antara pembuat karya dan penikmatnya akan melahirkan hubungan yang sama-sama menguntungkan. Bahkan, bagi musisi, mereka akan mendapatkan promosi gratis dari para pendengarnya.

Hal lainnya adalah, berkembangnya Event Organizer (EO) yang fokus pada pengembangan bidang ini, seperti Chambers, Immortal, dll juga sangat membantu. Bagi saya mereka adalah pahlawan. Merekalah roda penggerak pengenalan musik-musik non-mainstream bagi masyarakat Makassar.

Tapi di tengah bergairahnya pertunjukan musik independen di Makassar, rasa-rasanya kok ada yang salah ya. Entah ini cuma kecurigaan tak beralasan atau apa, tapi saya merasa pendengar di Makassar cenderung monoton. Mereka terkesan terlalu nyaman untuk mendengarkan segelintir musisi saja. Misalkan saja Efek Rumah Kaca (ERK). Band ini (walaupun saya akui, ERK adalah band paling berpengaruh dalam hidup saya) sudah terlalu sering bermain di Kota Daeng. Saya mencatat, sejak 2009, hampir setiap tahun ada saja gigs yang memasang mereka sebagai headliner. Bukan apa-apa, dengan materi yang itu-itu saja (album Efek Rumah Kaca dan Kamar Gelap) apakah penikmat musik Makassar tidak bosan.

Ah sudahlah, Inti dari semua ini, besar harapan saya agar penikmat musik juga EO yang notabene yang merancang pertunjukan itu sendiri, dapat mengajak musisi yang lebih bervariatif kesini. Tentu kualitas musikal mereka tak kalah dengan band-band yang sudah keseringan main di Makassar.

Nah, lewat perbincangan dengan beberapa teman yang juga penikmat musik independen, saya (beserta teman-teman saya tersebut tentunya) merumuskan lima band yang seharusnya manggung di Makassar di tahun 2013 ini. Tak berlama-lama lagi, ini dia kelima band itu:
Melancholic Bitch
Dalam suatu kesempatan, Cholil, vokalis Efek Rumah Kaca pernah menyebut musik yang dimainkan oleh Melancholic Bitch (biasa disingkat Melbi) sebagai musik Efek Rumah Kaca untuk tingkat yang lebih advanced. Saya rasa Cholil tak berlebihan. Gaya musik Melbi memang mengingatkan saya dengan ERK, namun dalam versi yang lebih serius. Saya kira alirannya masih tergolong pop, namun di beberapa bagian cenderung gelap dengan nuansa psikedelik. Tema yang mereka usung juga tak jauh dengan apa yang sering diangkat oleh ERK, isu sosial dan sindiran-sindiran keras tentang kehidupan. Album terakhir mereka yang berjudul Balada Joni dan Susi sungguh menarik bagi saya. Bagaimana Melbi dapat mengikat kesemua lagu di dalam album tersebut menjadi satu jalinan cerita yang utuh dan tetap membahas isu-isu yang saling berbeda.

Sudah cukup lama band ini vakum. Hal itu disebabkan beberapa personel mereka sedang memiliki kegiatan masing-masig. Sang vokalis, Ugoran Prasad juga sedang berkonsentrasi untuk menyelesaikan studinya di luar negeri. Namun, kabar terbaru yang saya dengar, Ugo sedang berada di Indonesia dan akan tinggal selama setahun untuk suatu keperluan. Saya rasa ini momen bagi Makassar. Saya dengar mereka akan kembali bermusik bersama di beberapa daerah. Semoga ada EO yang menangkap kesempatan langka ini.
Dialog Dini Hari
Diawal kemunculannya band ini digadang-gadang sebagai supergrup. Ini disebabkan karena unit akustik-folk-blues ini adalah gabungan dari orang-orang yang telah lebih dulu bermain di beberapa band besar di Bali; Navicula, The Hydrant, Rokavatar. Walau Dialog Dini Hari pada awalnya hanya sebuah side-project, namun mereka tak pernah main-main menggarap sisi musikalitasnya. Musik minimalis namun sangat nyaman untuk didengar ditambah lirik lagu puitis nan menyentuh. Sungguh menyenangkan mendengarkan mereka.

Album Beranda Taman Hati adalah alasan saya jatuh cinta dengan Dialog Dini Hari. Mendengarkan lagu-lagu di album tersebut membuat hati menjadi tentram. Saya seperti sedang berbincang dengan seorang kawan lama sambil menikmati teh hangat di hari menjelang pagi.

Dan album terbaru mereka yang berjudul Lengkung Langit tak kalah menawan. Kembali Dialog Dini Hari membuat komposisi musik dan lirik yang mampu memanjakan telinga kita. Sungguh sangat disayangkan, Makassar (termasuk saya) belum berkesempatan menyaksikan penampilan langsung mereka.
Zoo
Saya belum terlampau mengenal mereka. Yang saya tahu, band asal Jogjakarta ini memiliki album bertitel Trilogi Peradaban yang mampu membuat saya terpukau. Nomor-nomor semacam Manekin Bermesin sungguh menarik bagi saya. Liar dan kasar dengan materi musik yang sangat unik. Saya tak mampu mengidentifkasi aliran yang mereka mainkan. Yang jelas saya sangat tertarik untuk menyaksikan penampilan langsung mereka.

Diawal tahun ini, Zoo kembali merilis album baru berjudul Prasasti. Saya belum sempat mendengar album mereka tersebut. Namun dari cerita teman-teman di sosial media yang sempat hadir pada launching album mereka di beberapa kota (cerita-cerita tersebut sangat berhasil membuat saya ini) penampilan Zoo sungguh apik. Bintang lima punya.

Mumpung lagi momen album baru, sudah sepantasnya Makassar mendapat jatah untuk menyaksikan aksi liar manusia-manusia dalam kebun binatang ini.
Jogja Hip-Hop Foundation
Seharusnya tak ada lagi alasan bagi unit hip-hop berbahasa jawa ini untuk bermain di Makassar. Kota-kota di Amerika dan beberapa negara saja telah mereka buat kagum akan penampilan apik mereka. Perihal dominan lagu mereka berbahasa Jawa dan kita disini berbahasa Bugis-Makassar, oh come on. Tak penting kali hal itu dipermasalhkan. Kan musik itu universal. Musik seharusnya menyatukan, bukan mengkotakkan.

Ah, pokoknya lagu mereka semacam Jogja Istimewa haruslah berkumandang di Makassar tahun ini. Itu aja sih.
Morfem
Pilih Sidang Atau Berdamai, lagu kritik terhadap korps kepolisian tersebut sangat kencang diputar di akhir tahun 2011 lalu. Bahkan Majalah RollingStone Indonesia menobatkan video lagu tersebut sebagai video musik terbaik di tahun itu. Tersangka atas semua itu adalah, Morfem.

Morfem adalah projek sampingan dari Jimmy Multazham, yang dikenal sebagai vokalis band new wave indonesia, The Upstairs. Bersama ketiga kawannya ia membentuk sebuah band berirama indie rock dengan efek gitar fuzz yang kental. Tema besar yang mereka usung juga isu-isu sosial. Lagu terbaru mereka yang berjudul Kami Bosan jadi Negara Dunia Ketiga dapat didengar di album kompilasi Frekuensi Perangkap Tikus, proyek keroyokan beberapa musisi dalam rangka kampanye anti korupsi.

Sebenarnya saya sudah pernah menyaksikan aksi panggung mereka secara langsung, yaitu di Lapangan Monas dan Gedung Salihara di Jakarta. Namun sungguh kurang rasanya kalau belum menyaksikan band yang menarik di kota yang tentu juga menarik ini. Semoga secepatnya Makassar berjodoh dengan Morfem.

Minggu, 03 Februari 2013

Perbatasan Tak Mudah Panas


Ditengah hingar-bingar pemilihan Putri Indonesia dan kontes menyanyi X-Factor, Pada Jumat (1/2), Kick Andy on Location bercerita tentang masyarakat perbatasan lewat Inspirasi dari Jantung Borneo. Talkshow  ini menjadi menarik karena menampilkan apa yang selama ini tak pernah kita lihat. Bagaimana kehidupan masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia dapat hidup rukun di jantung Pulau Kalimantan, tepatnya di Krayan, Kalimantan Timur.

Saya jadi teringat obrolan panjang saya dengan seorang teman pada masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Bermula pada sebuah observasi awal untuk menentukan program kerja KKN, saya berkenalan dengan Yusuf, seorang penduduk lokal Sei Pancang, salah satu daerah teramai di Pulau Sebatik. Yusuf bekerja sebagai Tukang Ojek yang sehari-hari mengantar penumpang keluar-masuk Dermaga Sei Pancang. Jika penumpang sedang sepi, ia akan duduk santai di dermaga. Disanalah kami berkenalan. Hampir setiap pagi dan petang kami bertemu lalu mengobrol apa saja. Dari percakapan intens tersebut saya tahu Yusuf memiliki wawasan yang luas. Ia, misalnya, dapat menjelaskan dengan baik biota laut yang ada di sekitar Perairan Sebatik karena rajin menonton National Geographic Channel, akunya.

Hal lain yang membuat saya betah berlama-lama mengobrol dengan Yusuf adalah perspektifnya dalam memahami hubungan masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia. Mungkin bukan hanya Yusuf, saya rasa banyak masyarakat Pulau Sebatik yang memiliki cara pandang cerdas dalam menilai relasi kedua negara. Masyarakat di perbatasan memaknai hubungan mereka dengan sederhana. Mereka menganggap interaksi mereka sehari-hari sebagai sebuah simbiosis mutualisme. Kebutuhan bahan pokok warga Indonesia terpenuhi dari negara jiran, sebaliknya kebutuhan produksi industri di Tawau dan Sabah, Malaysia sebagian didapatkan dari perairan dan kebun-kebun di Pulau Sebatik bagian Indonesia. Sesederhana itu. Mereka tak pernah memikirkan bermacam konflik yang pasti akan menarik urat emosi yang berlebihan.

"Saya juga heran, masyarakat di kota selalu ribut kalau ada masalah di perbatasan. Padahal kami disini tenang-tenang saja. Walau ada masalah, kami tetap bersaudara", Jawab Yusuf  ketika saya menanyakan perihal reaksi masyarakat perbatasan ketika ada konflik yang muncul diantara kedua negara.

Tentu kita masih ingat, bagaimana masyarat di pusat-pusat kota akan segera bereaksi apabila media mulai mengompori dengan isu konflik kedua negara yang selalu berulang-ulang. Pencaplokan wilayah, klaim budaya bangsa dan yang terbaru, olok-olokan yang sempat dilontarkan kepada mantan pemimpin negara kita seakan menjadi legitimasi bagi kita untuk segara marah lalu saling menghina. Kalau sudah begitu pekikan "Ganyang Malaysia!" akan kembali ramai diteriakkan. Seolah-olah Kalimat andalan Presiden Soekarno tersebut lahir dari masalah sepele saja.

Tapi coba bayangkan kembali, kemana kita disaat hubungan tersebut sedang baik-baik saja? Pernahkah kita sekedar untuk tahu, lebih-lebih mencoba mencintai segala hal yang diklaim negara tetangga tersebut. Lagu Rasa Sayange misalnya, sebelum dipakai sebagai backsound promo pariwisata Malaysia, pernahkah kita menyanyikannya lagi. Saya rasa tidak. Rasa Sayange menjadi semacam mayat hidup, ia terbenam di salah satu rak di Lokananta, Kota Solo, tanpa pernah diputar lagi.

Belum lagi masalah pulau-pulau kecil di perbatasan milik kita yang sudah terlanjur beralih menjadi bagian dari teritorial Malaysia. Sebelum pulau tersebut lepas, pernahkah kita mengetahuinya. Sipadan dan Ligitan baru diketahui sesaat sebelum konflik ini akan diajukan ke meja Mahkamah Internasional yang lantas mengalahkan kita. Pemerintah dan juga tiap individu di negara ini tak cukup peduli dengan apa yang telah dipunyai. Ketika negara lain melakukan effective occupation terhadap wilayah tersebut, kita hanya bisa gigit jari dibuatnya.

Saya tak pernah cukup bangga dengan nasionalisme yang dibangun oleh negara kita ini. Indonesia mengajarkan warganya mencintai negara dengan cara yang dangkal. Mencintai negara dengan cara artifisial semata adalah cara yang mudah namun rapuh menurut saya. Nasionalisme yang seharusnya ditanamkan oleh negara adalah rasa cinta tanah air karena tanah air itu sendiri mencintai kita. Dengan cara apa? Ya dengan jalan pemenuhan jaminan hidup warga yang memang sudah diatur oleh konstitusi kita.

Seberapapun saya senang mengobrol dengan Yusuf, saya sempat kecewa sekaligus khawatir ketika ia begitu membanggakan negara tetangga. Baginya, Malaysia adalah negara ideal untuk ditempati karena kehidupan warganya telah terjamin dengan pasti. Kacaunya warga negara kita di perbatasan, seperti Yusuf dan kawan-kawanya pun seakan lebih dekat kepada Malaysia ketimbang Indonesia. Jangan sampai budaya dan tanah kita sudah diklaim, warga negara kita pun ikut-ikutan dicaplok. Sungguh mengerikan membayangkan hal tersebut.

Saya kira kunci keluar dari semua ini adalah perhatian lebih. Bukan hanya dari negara tentunya, tapi juga dari tiap-tiap diri kita, pemilik negara ini.