Jumat, 29 Maret 2013

Dari Buffon Untuk Totti

Gambar dipinjam dari sini
Kemarin (28/03), Francesco Totti sedang berbahagia. tepat 20 tahun yang lalu ia memulai jalan menjadi pemain sepakbola besar lewat debut profesionalnya melawan Brescia. Tak mudah menemui pemain yang bisa bertahan lama dan terus berada pada performa terbaik di tengah cepatnya regenerasi pemain saat ini. Semua orang terkagum. Semua memberi selamat.

Ucapan paling menarik datang dari Gianluigi Buffon, kolega sekaligus lawan berat bagi Totti selama menjalani karir sepakbolanya. Tepat di hari bahagia tersebut, Buffon menulis sepucuk surat untuk sang Pangeran Roma ini. Bagi saya, isi surat tersebut sungguh istimewa. Buffon menyampaikan ucapan selamat sambil mengingat beberapa kenangan yang telah mereka lalui bersama, baik sebagai kawan juga lawan. Sangat menarik sekaligus mengharukan. Saya rasa, Buffon menunjukkan sisi romantisnya pada surat tersebut.

Ini dia surat dari Buffon untuk Totti Tersebut;
Dear Francesco, kau telah mencatatkan sejarah di persepakbolaan Italia. Dua puluh tahun di Serie A adalah pencapaian yang luar biasa… Dalam pikiranku aku masih memiliki ingatan jelas akan gol pertamamu di pertandingan Roma-Foggia.
Kita adalah teman, kau tahu betapa pedulinya aku akan dirimu. Kita memulai perjalanan bersama-sama di tim U-15. Kita memiliki beberapa tahun yang luar biasa bersama di tim nasional dan kita terus bertemu sebagai lawan di Serie A.
Kau sering mencetak gol ke gawangku (10 kali tepatnya, sebanyak itulah gol yang kau sarangkan) seperti seorang juara yang telah melupakan persahabatan kita. Kemudian, saat peluit akhir berbunyi, ada senyum lagi di antara kita seperti ketika aku menggagalkan sebuah penalti yang aku takutkan akan kau chip -penyelamatan atas tendanganmu membuatku sedih.
Kita berasal dari generasi yang beruntung. Benar adanya bahwa setiap musim setelah usia 30 tahun sepadan dengan tujuh musim, namun kau sepertinya menjadi tambah muda ketimbang menua.
Kau telah menuliskan sejarah sepakbola Italia di masa kini dan masa depan nanti -kau adalah pemain yang tak dapat diragukan. Dan untukku, kau akan tetap menjadi seorang Azzuro. Sebuah pelukan dari temanmu, Gigi.”

Madre yang kehilangan Daya Magisnya

Gambar dipinjam dari sini
Saya kecewa dengan Film Madre!

Sebagai pembaca yang terkagum-kagum dengan keajaiban cerita Madre (versi buku), film ini sungguh gagal memenuhi ekspektasi saya. Jujur saja, film ini sudah masuk dalam agenda-wajib-nonton saya sejak dua minggu yang lalu. Sungguh saya tak berlebihan untuk ini. Cerita yang dibangun oleh Dewi ‘Dee’ Lestari dalam Madre sangat menggoda saya. Bagaimana tidak, tema cerita yang sangat sederhana, yang mungkin tak pernah kita pikirkan, diangkat oleh Dee menjadi rangkaian petualangan imajinasi yang begitu menakjubkan dan tak terduga. Ajaib.

Sebagai pelengkap kekaguman saya dengan cerita Madre (serta beberapa karya Dee lainnya dalam buku tersebut), saya sempat mencatat Madre sebagai buku terbaik yang saya baca sepanjang tahun 2011 di blog ini. Bisa dibaca disini.

Namun apa yang terjadi untuk filmnya? mari saya ceritakan!

Kekecewaan saya sudah dimulai pada awal-awal film. Vino G. Bastian yang memerankan Tansen gagal menghidupkan tokoh sentral dalam film ini. Dialog, mimik juga emosi yang dibangun oleh Vino gagal mewakili penggambaran tentang sosok Tansen yang diceritakan oleh Dee. Vino terlihat seperti aktor pemula dalam film ini.

Didi Petet pun begitu, tak lebih baik dari Vino. Memerankan Pak Hadi, artisan pengawal biang roti Madre sekaligus mentor Tansen dalam membuat roti, kurang menjiwai tokoh ini. Entah lari kemana keajaiban Didi Petet dalam berakting saat itu.

Scene paling mengecewakan dari film ini hadir di bagian awal film. Adegan ketika Tansen pertama kali bertemu dengan Madre menjadi awal dari gelagat kurang menjiwai dari kedua aktor ini, Vino dan Didi Petet. Pun begitu ketika Tansen mulai diajari membuat roti dari biang Madre. Di kedua bagian ini daya magis yang terbangun pada cerita Dee hilang tak bersisa.

Lalu, bagaimana dengan Laura Basuki yang memerankan Mey? Sudah jelas, tokoh ini hanya pemanis dalam film ini. Cerita utama yang saya harapkan, sesuai dengan cerita buatan Dee yang sungguh memesona itu, adalah tentang membuat roti dan kisah memperjuangkan eksistensi toko roti warisan tersebut. Adapun kisah cinta antara Tansen dan Mey hanya menjadi semacam bumbu pelengkap. Tapi yang terjadi di film ini adalah kebalikannya. Penggambaran hubungan cinta Tansen dan Mey mengambil porsi yang begitu banyak, sampai-sampai menengelamkan inti cerita. Sudah begitu, penggambaran romansa yang dibangun bernilai picisan pula.

Scene terburuk selanjutnya, hadir dari akting Vino dan Laura. Begitu banyak bagian yang digunakan untuk menampilkan hubungan Tansen dan Mey. Sebenarnya ada bagian yang juga saya tunggu dari jalinan kedua tokoh ini. Bagaimana Tansen dan Mey melalui beberapa percakapan dengan dialog sederhana namun sungguh filosofis. Favorit saya adalah: “kalau bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” ucap Mey menanggapi gaya hidup Tansen yang begitu bebas. Namun semua itu gagal terbangun, kalau tak mau dibilang tak nampak sama sekali. Di film, semua itu terganti dengan percakapan basa-basi yang tidak lucu diantara keduanya.

Penggambaran cinta picisan antara Tansen dan Mey mencapai puncaknya ketika Tansen menyerahkan Madre kepada Mey yang kemudian berpamitan untuk kembali ke Bali. Adegan bagian ini sungguh murahan menurut saya. Bagaimana keduanya mencoba membuat roti sambil menangis lalu dilanjutkan dengan perpisahan dengan gerakan melambat. Disusul dengan lagu latar dari Afgan (sepertinya) yang juga kurang klop dengan film. Lengkap sudah.

Saya baru saja menonton FTV (bukan film) di sebuah bioskop.

Minggu, 24 Maret 2013

Sajak Suara

Ucok Homicide

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan

di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok

yang ingin merayah hartamu
ia hanya ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata

ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan

Minggu, 03 Maret 2013

Kaos Band


Keterangan;
Atas (Kiri-Kanan): Menjadi Indonesia (salah satu judul lagu Efek Rumah Kaca), Baju Panitia Kemah Menjadi Indonesia 2012 | Album Nowhere To Go (Endah N Rhesa), Beli waktu konser Endah N Rhesa di Makassar Tahun 2009 | Album Native Narrative (Lazy Room), dalam rangka peluncuran album baru Lazy Room, band teman-teman saya ini :)) | Sebelah Mata (Efek Rumah Kaca), Dibeli menjelang konser Efek Rumah Kaca di Makassar di akhir tahun 2011 |

Bawah (Kiri-Kanan): Desember (Efek Rumah Kaca), Beli waktu tersesat di Bandung, tepatnya di Omuniuum juga tahun 2012 | Re-Anamnesis 2011 (Melancholic Bitch), Beli di Omuniuum Bandung juga | Frau, Dibeli ketika menonton mini konser pertama Frau di Makassar tahun 2011 | Album Blood Mountain (Mastodon), Dibelikan Usro waktu dia traveling di Jogja |

RIP: Lazy Room, 2010 (Hilang) | Stop Piracy (Nidji), 2009 (Hilang) | Mini Konser Frau Makassar, 2011 (Hilang) | Sheila on 7, 2009 (Dikasi ke teman) | The Upstairs, 2008 (Hilang di Tarakan)