Kamis, 25 Juli 2013

Bukan yang Terakhir

Ini bukan yang terakhir.
Ini hanya permulaan yang tampak akan berhenti.
Pada setiap helaan napasmu,
tetaplah Kau menyanjungnya.
Karena hanya dengan begitu,
Kita akan saling menghidupi.

Ini bukan yang terakhir.
Ini hanya persinggahan dari pikiran yang terus berlari.
Pada setiap desiran darahmu,
tetaplah Kau memperhatikannya.
Karena hanya dengan begitu,
Kita akan saling menggenapi.

Ini bukan yang terakhir.
Ini hanya kemuakan yang enggan lama menanti.
Pada setiap degupan jantungmu,
tetaplah Kau menegurnya.
Karena hanya dengan begitu,
Kita akan saling memperinganti.

Ini bukan yang terakhir.
Ini hanya selingan pengalih.
Dari kemarahan yang tak ingin berakhir.

Selasa, 23 Juli 2013

Elegi Menjelang Akhir

Akhirnya,
Kita terjebak pada intrik yang kita rancang sendiri.
Kau gamang Aku meratapi nasib sendiri.

Tak ada bedanya.
Indonesia adalah kumulasi dari masing-masing kita.
Kumpulan derita dan apa saja yang dapat Ia pungut.

Sudahlah,
Untuk apa juga diratapi lagi.
Kau merenung Aku bernyanyi.

Tak ada bedanya.
Bukankah kita punya cara masing-masing.
Untuk menghindari luka agar tak jadi benci.

Minggu, 21 Juli 2013

Empat Nama

Kumulai sajak ini dengan menjawab tanyamu.
Perihal "cinta yang tak pernah sederhana".
Meski aku harus bersusah payah.
Kau harus tahu,
Menjelaskan hal yang tak sederhana tentu tak akan pernah sederhana pula.

Untuk itu, kugali semua ingatanku.
Tentang bagaimana negara ini dibentuk dan dibangun.
Mengemukalah "kecewa" dan "gerak" sebagai pemicunya.
Dua bumbu utama,
yang menghadirkan hidangan tak sedap bernama Indonesia.

Lalu hadir empat nama sebagai penyantapnya.
Tan Malaka, Soe Hok Gie, Wiji Thukul dan Munir Thalib.
Kau pun tentu mengenal keempatnya.
Mereka menikmati betul suap demi suap kesakitan pada tiap zamannya.

Tan lahir di ufuk kemapanan.
merangkak menuju siang,
menemui kenyataan getir bangsanya terjajah.
Sejenak tergelincir ke timur,
menggenggam kemerdekaan yang tak pernah Ia tahu.
Sebelum akhirnya tenggelam di ujung senapan republiknya sendiri.

Gie pemuda yang menolak menjadi biasa.
Ia penentang bapak bangsa yang berubah menjadi tiran.
Baginya, tak boleh ada kotak dalam kotak besar Indonesia.
Sayang, ia terlalu muda untuk berakhir.
Di puncak Jawa dalam kesepian,
Ia menukar nafas terakhirnya dengan kesakitan yang lain.

Wiji tak punya tenaga raksasa.
Tapi ia punya puisi panas yang siap menampar.
Kesemenaan rezim yang lapar kuasa.
Saat kemerdekaan dijalankan dengan keterjajahan,
baginya, "hanya ada satu kata: LAWAN!"

Munir bukan yang terbaik di dalam kelas.
Maka Ia lahirkan medannya sendiri.
Jalan kemanusiaan Ia lalui untuk menjadi berarti.
Memancing jiwa kebinatangan untuk menyerbunya.
Pada akhirnya, Ia menyerah di langit yang bukan negaranya.
Meninggakan hati dan pikiran yang berikrar untuk menjadi humanis.

Tan, Gie, Wiji dan Munir terlahir dari rasa kecewa.
Pada kenyataan yang bermufakat dengan kejahatan.

Tan, Gie, Wiji dan Munir berontak lewat gerak.
Menerabas kelam, menghidupkan lilin harap.

Diantara "kecewa" dan "gerak" Tan, Gie, Wiji dan Munir,
Kuyakin ada mantra ajaib bernama "cinta".
Kalau tak begitu, Aku tak percaya mereka bisa melawan.
"Cinta" yang membuat mereka kuat.
"Cinta" yang telah meneguhkan mereka.

Bukankah kita pun seperti itu?
Generasi masokis yang semakin mencintai ketika tersakiti.
Negara ini menyiksa kita sebegitu jadinya.
Tapi kita selalu punya alasan untuk terus membelanya.
Melalui gerak-gerak kecil yang semoga berguna.

Mungkin itu pembelaanku atas pertanyaanmu.
Semoga kau mengerti,
dengan sederhana.

Jumat, 19 Juli 2013

Segitiga Rumit

Entah apa yang terjadi.
Yang jelas kita sangat sengit saat ini.
Tentan visi masing-masing yang tak saling bertemu.

Kita,
ya Kita,
Aku, Kau dan negara yang murung ini.

Aku berhasrat berjalan jauh.
Ke tempat yang belum sempat tersentuh tubuh.
Menyelami angan yang menjadi rindu.

Kau menyimpan mimpimu dengan rapi.
Di tempat yang selurus jauh dengan inginku yang berapi.
Di tepian sawah nan hijau, katamu,
Kau ingin habiskan hidup bersama anak dan suami.

Indonesia lain lagi.
Ia berada diantara kepala anganku dan kaki inginmu.
Aku belum tahu betul apa maunya.
Yang ku tahu, Ia adalah penentang terbesar kita berdua.
Negara yang begitu kita cintai,
sedang kita belum tahu apakah rasa itu berbalas seimbang.

Ah, cinta memang tak pernah sederhana.
lebih sering tarik menarik dan berakhir histeria.

Rabu, 17 Juli 2013

Jalan



Di zaman nisbi seperti ini,
Kau tawarkan aku jadi petani.

Itu ide gila!

Petani itu pekerja mulia. Pekerja setingkat dewa.
Ia menghidupi walau tak terhidupi.
Ia melayani saat tak terlayani.

Kau pikir aku setegar besi?
Yang rela masa panennya dimakan hama dan paceklik yang murka menjadi.
Kau pikir aku sesabar hati?
Yang hanya diam hasil panennya dibeli murah oleh tengkulak berjiwa mati.

Mau apa lagi?
Di Indonesia, negeri yang selalu berada di masa genting ini,
Aku lebih memilih jadi seorang pejalan.
Yang menerima laut, gunung, hutan bahkan kota sebagai teman.
Kalau tak begitu, mungkin aku akan menjadi si pemarah,
yang akan kehabisan tenaga di usia yang belum terlalu tua.

Bukankah kita pernah berjalan bersama?

Tentu kau masih sangat ingat, saat kita menuju ke tempat jauh di utara nusantara.
Disana kita berjumpa masyarakat yang sama-sama kita kagumi.
Mereka kelompok komunal yang tak pernah lagi peduli.
Diperhatikan atau tidak bagi mereka tak ada rugi.
 Yang mereka tahu, hidup itu harus berarti.
Lalu mati meninggalkan jejak budi.

Apakah kau tak mau berjalan lebih jauh?
Ke tempat yang belum sempat kita ketahui.
Melihat dan membuka sudut pandang yang lebih luas lagi.
Sambil berharap bertemu nilai hidup yang lain.

Hidup itu terlalu berharga untuk dihabiskan pada satu tujuan.
Percayalah!

Tahukah engkau apa esensi berjalan bagiku?
Bagiku, tujuan tertinggi dari berjalan adalah bergerak.
Aku menyukainya karena ia adalah anjuran yang mendalam.
Dalam bergerak, kata Rasul-ku, terdapat berkah,
dan berkah selalu bersama jiwa yang bergerak, jiwa yang tak mati.

Bagaimana? Kau tertarik berjalan denganku, Yuni?
Kalau ya, tentu aku rela mengajakmu serta.
Dengan senang hati.

Senin, 15 Juli 2013

Akhir-Akhir Ini...



Jika ada hal yang harus saya kutuki saat ini, tentu saja hal itu adalah kealpaan menuliskan sesuatu hal pun di blog ini dalam kurun waktu dua bulan. Saya merasa seperti orang hilang ketika membukanya lagi beberapa hari yang lalu. Padahal jika diingat-ingat lagi, ada banyak hal menarik yang bisa jadi bahan tulisan di bulan Mei-Juni kemarin. Namun semua itu berlalu begitu saja menjadi ingatan yang sayang untuk dibuang.

Untuk itu, saya ingin mencoba mengingat kembali kejadian remeh-temeh, seperti yang biasa saya lakukan di blog ini. Tentu saja sambil memperbaharui ikrar saya untuk menulis di laman ini, paling tidak sebulan sekali.

Ini dia;

Pendakian perdana

Bukannya ingin ikut-ikutan naik gunung, apalagi trinspirasi film 5 CM yang monumental di adegan g-string-nya itu. Ini murni karena ajakan keroyokan teman-teman angkatan. Walau tidak terlalu serius, latihan fisik tetap saya lakukan selama beberap hari sebelum keberangkatan. Karena ini adalah pendakian perdana dan juga medan yang akan dilalui tidak terlalu berat, saya hanya membawa ransel andalan yang tidak terlalu besar. Isinya pun tak terlalu banyak, cukup beberapa pakaian seadanya juga sebagian persedian kelompok yang saya bawa.

Tiga hari dua malam di Lembah Ramma’ begitu berkesan bagi saya. Tuhan melindungi kami selama pendakian dengan menghadirkan cuaca cerah ceria pada saat perjalanan pergi dan pulang. Kekhawatiran akan cuaca yang sangat dingin tidak terjadi. Kehangatan alam dan keceriaan bersama teman-teman seperjalanan terpaksa membuat saya mengutuki diri sendiri; kenapa pada umur setua ini baru saya menyentuh gunung.

Pendakian ini juga terasa istimewa karena mengakrabkan saya dengan beberapa teman angkatan. Entah kemana saja saya selama tiga tahun ini. Silih berganti nyaris tanpa henti kami bersenang-senang dengan bernyanyi dan saling lempar olok-olokan yang selalu diakhiri dengan tawa lepas. Lelah perjanan tak begitu terasa karena hal tersebut.

Terimakasih kepada Tuhan, alam dan teman-teman baik yang telah menghadirkan pengalaman menyenangkan ini.

Bertemu Idola

Periode Mei-Juni juga menjadi momen untuk bertemu dengan orang-orang yang saya kagumi. Mereka adalah sosok yang mengisi sebagian hidup saya dengan asupan bacaan dan musik yang memang menjadi kegemaran saya.

Diawali dengan kesempatan menonton konser Morfem dan Dialog Dini Hari di Jogjakarta bulan lalu. Konser ini menjadi lebih spesial karena band teman-teman SMA saya, LazyRoom, juga turut berbagi panggung dengan dua grup kesukaan saya itu. Morfem dengan sound dan penampilannya yang selalu bersemangat berpadu dengan Dialog Dini Hari yang lembut dan lirik puitis juaranya. Nah, LazyRoom hadir diantaranya dengan membawakan musik mengawang-awang yang sesekali berteriak. Impian untuk menonton ketiga band tersebut terwujud dalam satu kesempatan. Sungguh anugerah yang patut dikenang.

Kesempatan selanjutnya saya bertemu dengan salah dua penulis favorit saya; Sapardi Djoko Damono dan Agustinus Wibowo. Pertemuan ini juga dalam satu kesempatan yang sama yaitu di Makassar International Writers Festival yang tahun ini memasuki helatan ketiganya. Sapardi adalah alasan saya jatuh cinta dengan Bahasa Indoesia. Bu Ranti, guru sewaktu SMA yang memperkenalkannya kepada saya. hal yang paling saya sukai dari syair-syair Sapardi adalah (lagi-lagi) kesederhaan yang hadir dari perenungan yang mendalam. Karya Sapardi mampu mengambil hati pembacanya dengan mudah. Tak terbatas pada situasional tertentu tapi mampu mengisi sepanjang kehidupan. Abadi.

Agustinus Wibowo lain lagi. Saya menyukainya karena totalitas dalam menyusun sebuah tulisan. Ia yang seorang penulis perjalanan mengandalkan riset yang sangat mendalam dalam menuliskan karyanya. Hal itu sangat mudah kita dapatkan ketika membaca buku-bukunya, mulai dari Selimut Debu sampai yang terbaru Titik Nol. Dari tulisannya kita tak hanya mendapatkan informasi dasar tentang perjalanan tapi sampai pada hal tersembunyi bahkan sesuatu yang tak pernah diungkap sebelumnya.

Terakhir, saya cukup senang katika berbincang-bincang singkat dengan Bangkutaman. Kesempatan ini dihadirkan oleh Kedai Buku Jenny lewat program rutinnya, KBJamming. Wahyu Acum dan Dedik bercerita kepada kami tentang proses produksi sebuah lagu khususnya Ode Untuk Kota yang selaras dengan tema diskusi sore itu, Musik dan Kota. Momen paling berkesan pada kesempatan ini tentu saja ketika lagu Ode Untuk Kota dilantunkan. Secara spontan yang hadir langsung ikut bernanyanyi tanpa aba-aba. Sungguh Minggu sore yang menyenangkan.

Tugas Akhir Mulai Jalan Kembali

Untuk ini saya sulit untuk bercerita banyak. Yang jelas, proses revisi pertama proposal sudah masuk ke pembimbing 1. Mohon doa untuk kelancarannya. Agar tak ada lagi basa-basi klise yang sungguh menjengkelkan: “sudah sarjana?”

Sekian dulu. Oh iya, selamat berpuasa bagi teman-teman yang menjalankan. Tetap saling menghormati. Semoga Tuhan merahmati kita semua.