Rabu, 26 Maret 2014

Kedai Buku Jenny: Menggiatkan Literasi Meragamkan Metodologi

Sawing (pertama dari kiri) dan Bobhy (keempat dari kiri) berfoto bersama personel Bangkutaman di Kedai Buku Jenny
pada salah satu edisi KBJamming.

Semua orang yang terlibat dalam aktifitas literasi di Kota Makassar pasti sepakat kalau dunia membaca-menulis-berdiskusi di kota ini sedang bergairah. Sudah beberapa tahun belakangan ini kegiatan tersebut sedang bergerak menuju ke arah yang positif. Mudahnya akses pada ilmu pengetahuan kemudian melahirkan semakin banyak ruang bersemainya ide-ide kreatif. Masyarakat kini disuguhkan pilihan tempat yang semakin bervariatif, tidak melulu tempat yang sudah terlalu umum dan menggunkana cara-cara yang sangat transaksional.

Salah satu geliat literasi tersebut datang dari Kedai Buku Jenny. Toko buku minimalis yang namanya sering disingkat menjadi KBJ ini tidak hanya menjadi tempat transaksi jual-beli. Lebih dari itu mereka juga menghadirkan cara-cara lain untuk lebih mendekatkan masyarakat pada dunia membaca-menulis-berdiskusi. Lewat beberapa event yang rutin mereka laksanakan kegiatan yang selama ini terkesan kaku tersebut dibuat menjadi lebih groovy. 

KBJamming misalnya. Event yang rutin dilaksanakan setiap bulan ini mengajak siapa saja untuk menikmati musik sambil turut serta dalam diskusi yang banyak membicarakan tentang problematika kota. Kegiatan semacam ini tentu masih sangat baru di Makassar. Bagaimana KBJ bisa mempertemukan orang-orang yang berkegiatan di bidang seni dengan mereka yang selama ini menggandrungi diskursus perkotaan. 

Pada suatu sore yang mendung, saya bertandang ke KBJ untuk bertemu kemudian mengobrol dengan kedua pendirinya, Bobhy dan Sawing. Dengan sangat ramah, mereka menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan secara mendetail. 

Bisa ceritakan ide awal untuk membuat Kedai Buku Jenny (KBJ)? 

Bobhy: kita berdua ini sama-sama bermimpi untuk punya toko buku. Dulu, sekitar tahun 2005 saya sama beberapa teman pernah membuat tempat serupa KBJ ini. Dulu namanya Idefix. Tempatnya itu di depan UKIP (Universitas Kristen Indonesia Paulus). Itu dibangun bersama teman-teman aktivis kampus. Tapi Idefix itu tidak terlalu lama ji bertahan. Kemudian waktu 2011, saya cerita-cerita dengan Sawing, “ayo deh bikin toko buku.” Mumpung waktu itu kita lagi sekolah di Jogja, bisa dapat banyak buku. Kita wujudkan mi mimpi itu. Awalnya kita yang beli buku di Jogja terus dikirim ke Ridho, salah satu awak KBJ. Dia disini yang jalankan ini KBJ. 

Tapi awalnya kita belum punya nama. Kita belum pakai nama “Kedai Buku Jenny” saat itu. Sampai kemudian saya sama Sawing datang ke sebuah event di Jogja, namanya itu Rock Siang Bolong. Itu event tahunan yang dibuat sama anak-anak ISI (Institut Seni Indonesia) Jogja. Sebenarnya datang karena penasaran ji, karena temanya itu “Fuck Nineties!”. “wis event apa ini, provokatif sekali.” Terus lihat line up-nya, nda ada yang betul-betul kita kenal. Nah disitu kita bertemu pertama kali dengan band yang namanya Jenny itu. Kemudian kita tertarik dengan lagunya: Mati Muda, Maha Oke, dan sebagainya. Terus bertemu di beberapa gig dan akhirnya kita memperkenalkan diri. Sampai suatu waktu pulang liburan kesini, tiba-tiba saja telintas: “kayaknya ini mi nama kedai buku ta!” Dan Sawing juga mengiyakan. 

Walau akhirnya band Jenny berganti nama menjadi Festivalist, kita tetap pakai nama itu. Kenapa kemudia nama Jenny yang kita pakai? Karena dari materi lagu mereka kita mendapatkan tema-tema kesetaraan, tema “bahagia itu sederhana”. Itu semua sangat dieksplorasi di lagu-lagu mereka. Jadi awalnya mungkin Jenny itu bagi kita hanya sebagai band, tapi kemudian dia menjadi sebuah gagasan yang kita rasa cocok untuk kedai buku ini. seperti itu. 

Mengapa berani membuat toko buku minimalis di tengah dominasi toko buku besar saat ini? Bagaimana bisa bertahan sampai sejauh ini? 

Sawing: Jadi KBJ ini tidak pernah diniatkan untuk menyaingi toko buku besar atau yang lain. Konsepnya itu sendiri masih terinspirasi dari Jenny. Jadi Jenny itu kan konsepnya “Almost rock barely art”, hampir rock nyaris seni. Jadi “hampir” dan “nyaris”-nya itu yang kita adaptasi lagi dalam mendesain kedai buku ini. Ya konsepnya KBJ ini “hampir toko buku” dan “nyaris galeri seni”. “Hampir toko buku” berarti KBJ ini tidak seperti kedai buku pada umumnya: anda datang sebagai pembeli, kami layani seadanya, silahkan ambil, kita bertransaksi, yang hubungannya sangat transaksional. Tidak seperti itu. Tapi kita ingin ada interaksi yang lebih berkualitas di dalamnya. Kita ingin berbagi ide atau pun tukar gagasan di dalam hubungan tersebut. Terus “barely art gallery”, Seni itu kan tidak selalu dekat dengan kata “megah”, toh. Jadi seni yang kita maksud adalah setiap sudut itu bisa di-create Menjadi galeri seni tersendiri. Kita ingin ruang-ruang yang nda tampak seperti galeri bisa kita desain sedemikian rupa hingga punya nilai seni. Sehingga bisa membuat orang tertarik.

Kalau bagaimana bisa bertahan? Nah, ini pertanyaan penting ini. Jadi cara yang kita tempuh adalah menjalankan konsep “Jenny” tadi. Terus memang kita berada di lingkungan yang cukup mendukung tempat-tempat seperti ini. perlahan akhirnya kita bertemu dengan Vonis Media, Kampung Buku, ya teman-teman yang memang concern  dengan isu literasi. Selain itu, manajemen harus tertata dengan baik pembagian tugasnya. 

Bobhy: sebenarnya kegagalan tempat-tempat seperti ini kan karena lemahnya manajemen kedai bukunya. Jadi makanya sejak awal kita bilang, ini bisnis. Bahwa dia punya semangat yang coba kita sampaikan lewat banyak media yang kita gagas disini. Tapi untuk menghidupi ini kita harus bingkai dia dalam kerangka bisnis. Agak susah kalau tidak begitu. Karena pelajaran dari sebelumnya itu begitu. Konsepnya pertemanan. Semuanya tidak tercatat dengan baik. Selalu “pakai mi dulu”. Akhirnya ya begitu. Tidak bertahan. Nah, itu yang sejak awal coba kita tata dengan baik. Okelah, dari toko buku kecil apa sih yang bisa diharapkan. Tapi dari hasil yang sedikit itu coba kita catat dengan baik, khususnya di masalah keuangan. Karena kita percaya sekali, agak susah kita mengevaluasi sejauh mana capaiannya kalau hal-hal yang sifatnya manajerial seperti itu juga tidak terurus dengan baik. Makanya hal itu juga menjadi penting. Kita sih optimis saja bahwa manajemen yang relatif bagus yang kita tempuh selama ini bisa menjadi modal untuk membuat KBJ bertahan. Itu obsesi kita. Karena terlalu banyak kebahagian yang kita dapat dari sini, toh. 

Tentang konsep, kan toko buku atau rumah baca seperti ini banyak sekali. Tapi menurut saya tidak banyak yang mengkombinasikannya denga musik, misalnya. Jadi kira-kira segmen yang juga coba kita dekati adalah orang yang bukan pecinta buku dan kita mau bilang ke orang-orang bahwa urusan membaca, urusan literasi sebenarnya bukan pekerjaan yang serius-serius amat. Bukan pekerjaan yang perlu mengernyitkan dahi. Tapi bukan berarti menurunkan kadar bacaan itu sendiri. Misalkan saja KBJamming, jamming  yang kemudian dikolaborasikan dengan diskusi  itu menurutku capaian bagi kita di KBJ. Jadi kita mau kehidupan berliterasi, membaca dan segala macam itu bisa menyentuh segmentasi mana saja. Khususnya mereka yang dianggap tidak dekat dengan buku. 

KBJ ini kan tidak hanya sekedar tempat jual-beli buku, apa sebenarnya tujuan KBJ? 

Sawing: Tujuannya? Masuk surga. Ha-ha-ha. Sebenarnya tujuan KBJ itu, ya yang tadi. Kami mengafirmasi spirit yang dibawa sama Jenny, spirit kesetaraan. Yang kedua, KBJ ingin turut aktif dalam budaya literasi di Kota Makassar ini. Ketiga, kita mencoba terus memperbaharui metodologi. Tujuan-tujuan yang tadi itu kita sampaikan lewat beragam media. Lewat musik, diskusi, tulisan, atau event-event yang kita bikin. Semua itu kan ada gagasannya. Cuma cara menyampaikannya yang berbeda. Saya kira itu penting untuk terus di-explore. Karena kalau monoton, pesan yang baik itu bisa mentok dan menabrak tembok di mana saja. Mentul kesana-kemari dan kembali ke yang ngasi. 

Bobhy: Jadi yang kita lakukan ini ada turunannya. Misalnya kembali menggiatkan sastra, ikut terlibat dalam geliat dunia literasi yang mulai berkembang lagi di kota ini. Dan tentunya juga menggairahkan skena lokal. Itu semua turunan-turunan dari yang disebutkan Sawing tadi. Bagaimana memperbanyak variasi media untuk menyampaikan gagasan-gagasan. Selain itu, kita juga ingin menjadi teman bagi siapa saja yang punya aktifitas. Tidak harus mengeksekusi karyanya disini. Tapi menjadi ruang untuk berbagi dan bertukar pikiran. Itu yang menurut kita penting. 

Apakah tempat-tempat seperti ini di kota lain (Kineruku dan Omuniuum di Bandung, C2O di Surabaya, misalnya) menjadi acuan dalam membangun KBJ? 

Bobhy: Kalau acuan itu berarti refrensi, tentu saja ya. Jogja tentu mi iya, toh. Karena kita sekolah dua tahun disana dan kita bertemu Jenny. Ada temanku bilang kalau Jogja itu setiap sudutnya adalah tempat belajar. Dan itu benar-benar kita rasakan. Disana saya banyak mendapat inspirasi. Kemudian Bandung. Saya itu sama Sawing, pas pertama kali bentuk KBJ diniatkan memang untuk ke Bandung. Kita datangi beberapa tempat. Kita ke Tobucil, ke Kineruku, Omuniuum. Ada juga IMBooks, kemudian datangi Ultimus. Banyak lah pokoknya. Dan semua mereka itu punya polesan yang tidak melulu tentang buku tapi bervariasi. Saya kira itu sedang marak di beberapa kota. Ada juga C2O di Surabaya, apalagi di Jakarta. Di Tobucil misalnya yang memperkaya kegiatannya dengan membuka banyak kelas, mulai dari kelas filsafat, kelas biola, merajut atau kerajinan-kerajinan. Di tempat lain juga seperti itu, bervariasi. Dan hampir semua itu sangat dekat dengan musik. Makanya itu menjadi inspirasi kita. Kemudian packaging tempat itu penting. Menarik orang dengan mendesain tempatnya menjadi senyaman mungkin. 

Apakah KBJ memanfaatkan hubungan dengan komunitas lain atau tempat serupa seperti ini? kalau ya, seberapa besar manfaatnya? 

Sawing: Ya, tentu saja. Sedari pertama kita lakukan itu. Sekarang itu komunitas susah kalau mau sendiri-sendiri. Pasti (butuh) dapat dukungan atau sokongan dari komunitas lain. Kalau di Makassar kita bekerja sama dengan banyak komunitas. Di awal kita dapat banyak bantuan dari Kampung Buku, jadi distributornya Ininnawa. Terus yang paling sering itu Vonis Media lah. Kalau Vonis bikin event pasti KBJ ikut terlibat dan sebaliknya juga seperti itu. Banyak lagi komunitas yang lain, baik di kampus atau tempat lain. Dan biasanya kita dipertemukan dengan cara-cara yang unik. Misalnya bertemu dengan Vonis Media sebelum Malino Land dan disana kita diperkenalkan secara luas sama teman-teman di skena musik lokal di Makassar yang membuka peluang kita untuk segera menggelar KBJamming. Padahal KBJamming itu dulu masih angan-angan. 

Bobhy: Dari luar itu ada beberapa yang coba kita ajak bekerja sama. Mungkin kerja samanya tidak (selalu) konkrit dalam bentuk take and give begitu, tapi dalam bentuk gagasan. Misalnya, beberapa bulan kemarin kita ketemu di twitter dengan komunitas Kecil Bergerak yang ada di Jogja. Mereka itu koor-nya seni dan kebudayaan. Salah satu kelasnya itu namanya Kelas Melamun. Jadi Kelas Melamun itu ada peserta kelas mendatangi satu orang yang punya karya atau gagasan penting yang ada hubungannya dengan seni dan kebudayaan. Kita tertarik untuk mengadopsi itu, cuma belum sempat dieksekusi saja.  Kemudian beberapa hari yang lalu C2O di Surabaya berencana menitip produk. Pokoknya kita terus mencari siapa saja yang bisa diajak bekerja sama. Dan juga konsepnya tempat ini kan siapa saja bisa pakai. 

Program reguler KBJ, KBJamming banyak mendiskusikan tentang problematika kota. mengapa tema itu yang diangkat? 

Bobhy: Seja awal itu niatannya kita mau menjadi bagian dari upaya membuat kota ini menjadi, seperti yang dikatakan David Harvey, space of hope. Kita mau ada kabar-kabar baik yang muncul, selain menciptakan ruang-ruang alternatif, ruang-ruang bersama yang menjadi suguhan yang lain di tengah hiruk pikuk kota yang serba tidak pasti ini. kalau kata Ucok Homicide, membangun “kewarasan massal”. Kan di kota ini ada dominasi tema. Semuanya tentang politik. Sementara wacana-wacana yang sebenarnya penting hanya bisa kita dapatkan di ruang-ruang marjinal. Kita sih bermimpi tema seni, tema kebudayaan itu bisa menjadi wacana yang sama, yang bisa dikonsumsi oleh siapa saja. Caranya ya hidupkan ruang-ruangnya itu. Dan KBJ ingin sekali menjadi bagian dari itu. 

Sawing: Jadi waktu "Space of Hope" itu ditulis sama David Harvey, idenya ada dalam arena perdebatan, khususnya di kalangan intelektual. Nah, Space of Hope itu menyajikan sebuah mimpi. Jadi optimisme itu bisa lahir dari ruang-ruang terkecil sekalipun. Bisa ruangnya, bisa orangnya. Kalau di Makassar ini ruang itu, baik secara fisik maupun non fisik atau gagasan kan dikelola secara teknokrat. Tidak dikelola secara, sebutlah berbudaya. Alhasil tata kota ini menggerusi ruang bersama. Jalan raya kan tidak perlu selebar itu kalau kita mau silaturahmi seperti biasa. Cuma karena ada kebutuhan ekonomi yang lebih besar, makanya jalan raya itu dibikin jadi sangat lebar biar mobil-mobil bisa berjalan. Kemudia orang-orang terima saja dengan itu. Tapi kemudian muncul Kampung Buku, muncul Filosofia, muncul Kedai Buku Jenny dan tempat-tempat lain yang mencoba menegasikan itu dengan caranya masing-masing. 

Setelah seperti sekarang, apa rencana KBJ yang lain? 

Bobhy: Kalau secara bisnis, kita ingin terus berkembang. Kalau ada orang yang mau jadi investor kita sangat terbuka untuk itu. Koleksi kita tentunya masih sangat terbatas. Makanya kita ingin terus ekspansi disitu. Terus seperti yang saya bilang tadi, kita mau tempat ini semakin menghasilkan banyak karya. Semakin banyak orang kesini untuk berkarya atau menikmati karya. Kita ingin terus mereproduksi banyak ruang, semakin memperbanyak event-event. Tidak perlu event yang besar tapi lebih bervariasi dan segmen yang bisa terlibat juga semakin banyak. Dan hampir setiap hari kita memikirkan itu. Ketemu, duduk terus ngobrol, “aih bagus kayaknya kalau bikin ki begini”. Hampir tiap hari kita begitu. He-he-he. 

Sawing: Kalau bagi saya yang belum kesampaian sampai sekarang itu, KBJ harus punya terbitan. Mudah-mudahan bisa kesampaian dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Terbitannya itu bisa dalam bentuk apa saja, majalah atau website. Intinya kita masih jarang nulis. Reportase event-nya KBJ saja lebih banyak ditulis sama Vonis atau Opium. He-he-he. Terus melanjutkan event-event yang sudah berjalan dengan harapan semakin ramai. sebenarnya kita juga mau punya acara tahunan. Ini yang sedang kita bahas. Acara tahunan ini sekaligus sebagai perayaan ulang tahun KBJ. 

Apa saran kalian untuk teman-teman yang ingin membuat tempat seperti ini? 

Sawing: Bikin saja! Ha-ha-ha. 

Bobhy: kalau menurut saya, kalau ada ide langsung eksekusi saja. Pokoknya kalau ada ruangnya, eksekusi, walaupun pelan-pelan. Itu yang paling penting: ada ruangnya. Di awal itu kita tidak punya banyak modal. Sawing punya duit lebih, sama beberapa orang yang menghargai niatan kita terus membantu. Bayangkan, kan kita di Jogja. Siapa yang ngurus? Ada teman tapi nda bisa juga 100 persen. Tapi kita berpikir, kalau belum ada ruangnya ya susah. Tapi kalau sudah ada ruangnya, kita sudah bisa ukur, apa yang perlu kita tambah, apa yang perlu kita kurangi dan segala macam. Kemudian refrensi juga menjadi penting. Soal selera itu kan sering kali bukan hanya sekedar yang ada di kita, tapi apa yang kita dengar, apa yang kita lihat. Itu akan sangat membantu. Selain itu juga harus punya visi besar. Karena kalau tidak punya visi, kegiatan sudah jalan, so what. Biasanya yang seperti ini umurnya akan pendek. 

Sawing: Berani saja meng-explore metodologi. Kalau belum ada yang berani bikin, coba saja bikin. Karena metodologi itu penting. Kita mau bilang apa tapi kalau caranya itu-itu saja, ceramah terus, ya susah, toh. Kalau misalnya ceramah itu betul-betul berhasil, dari dulu mi tidak ada peperangan. Selesai di Sholat Jum’at, coy. Saya kira metodologi harus diperkaya. Dan yang paling penting, memperlakukan tempatnya itu secara selayaknya. Dikelola secara serius. Manajemennya harus rapi, seperti yang terus kita coba, mudah-mudahan semakin rapi. Kalau hanya terus mengandalkan inisiatif-inisiatif yang tidak terstruktur itu takutnya, lagi-lagi nafasnya tidak panjang. Yang seharusnya bisa lama tapi karena pengelolaannya suka-suka jadi, begitu mi. cepat tutup.