Selasa, 29 Desember 2015

Album Favorit 2015: Dosa Kota dan Kenangan


Bagi saya 2015 cukup memberi kabar yang cukup menggembirakan bagi kancah musik Indonesia. Sepanjang tahun ramai musisi dari berbagai genre menghasilkan karya. Tidak hanya dari muka lama, pendatang baru juga semakin tidak malu-malu lagi  untuk menunjukkan aksi mereka. Produktifitas tersebut semakin istimewa karena diimbangi dengan keberanian para musisi untuk bereksplorasi menciptakan musik yang terdengar lebih segar. Kebaruan dalam berkarya menjadi nilai yang paling berharga saya kira.

Dari sekian banyak karya tersebut, ada beberapa album yang kemudian mencuri perhatian telinga saya. dimulai dengan hentakan dari Kelompok Penerbang Roket. Trio asal Jakarta ini menjadi pendatang baru paling panas di jagat musik rock Indonesia. Komposisi mereka banyak terinspirasi dari era kejayaan musik keras Indonesia. Kelebihan lain dari Kelompok Penerbang Roket adalah produktifitas tingkat tinggi yang mereka miliki. Hanya dalam hitungan bulan mereka berhasil merilis dua buah album, Teriakan Bocah dan HAII yang merupakan proyek remake karya band legendaris Panbers.

Ada pula Stars and Rabbit yang akhirnya berhasil merampungkan album mereka yang kemudian diberi judul Constellation. Album ini berisi sekumpulan lagu cinta berlirik unik dan dibalut dengan musik folk dengan kualitas sound jempolan. Belum lagi artwork dengan tulisan tangannya yang ciamik. Penantian lama untuk duo asal Jogja ini sangat “Worth It”.

Menjelang akhir tahun penikmat musik independen tanah air dibuat terpikat oleh Barasuara, bahkan sebelum album mereka dirilis. Aksi panggung memukau dan single yang mereka bagikan cukup merebut perhatian banyak orang. Begitu keluar album mereka segera menggulung, persis seperti judulnya, Taifun. Album ini menjadi salah satu rilisan yang paling banyak dicari di tahun 2015.

Tepat di penghujung tahun ini Efek Rumah Kaca akhirnya memastikan lahirnyanya album baru mereka. Album ketiga yang berjudul Sinestesia ini menjadi rilisan yang paling diantipisasi dalam tiga tahun belakangan ini. lewat Sinestesia, Efek Rumah Kaca menapak ke level lebih lanjut dalam karir bermusik mereka. Tema yang diangkat masih seputar isu sosial dan politik keseharian. Namun kali Efek Rumah Kaca bermain dalam durasi yang tidak lazim. Keenam lagu yang ada di album ini berdurasi di atas tujuh menit. Setiap lagu adalah gabungan dari dua fragmen yang saling coba menggambarkan kontradiksi dalam sebuah tema. Lagu kesukaan saya adalah “Kuning” yang bercerita tentang ekstrimisme dalam beragama dan perdamaian dalam keragaman.

Namun album favorit saya di tahun 2015 ini adalah Dosa, Kota dan Kenangan milik grup folk Silampukau. Bagi saya album ini memenuhi semua syarat untuk menjadi yang paling sering diputar. Musik folk dengan keberanian memberi variasi di beberapa bagian. Lirik yang bercerita tentang kehidupan kota Surabaya dari berbagai sudut pandang menjadi poin paling penting dari album ini. Pada akun twitter-nya, Silampukau memberikan deskripsi yang sangat pas untuk  karya-karya mereka, “lagu-lagu sederhana tentang orang-orang sederhana.”

Bagi saya, Dosa, Kota, dan Kenangan lebih dari sedekar album musik. Mendengarkannya juga seperti membaca kumpulan cerita pendek yang begitu membangun imajinasi. Silampukau sangat pintar merekam keseharian orang-orang Surabaya yang selama ini cenderung diabaikan. Mulai dari potret keputusasaan anak muda dengan keadaan, hiruk pikuk di berbagai sudut kota, sampai konflik lahan masyarakat perkotaan ditampilkan dengan apik. Suara kedua personilnya yang saling mengisi menambah ramah lagu-lagu mereka untuk diterima telinga.

Tiga lagu di album ini yang paling sering saya putar adalah “Puan Kelana”, “Lagu Rantau (Sambat Omah)”, dan “Doa 1”. “Puan Kelana” adalah nyanyian perih seorang lelaki yang ditinggal kekasihnya menuju Paris, Prancis. Ia menyayangkan mengapa sang pacar pergi, padahal “dunia punya luka yang sama”. “Lagu Rantau (Sambat Omah)” kemudian mengingatkan saya bahwa sedang jauh dari rumah. Bercerita tentang seorang perantau dengan harapan menjadi kaya di kota. Waktu kemudian menyadarkannya bahwa Ia semakin jauh dari harapannya. “Oh demi Tuhan atau demi Setan sumpah aku ingin rumah untuk pulang.” Lalu “Doa 1” semacam perpaduan antara  ratapan diri dan harapan anak indie. Musiknya tidak dibuat balada tapi dengan country yang terdengar ceria. Lagu ini juga semacam satire bagi industri televisi yang terasa semakin murahan.

Saya belum pernah mendengar sebuah album utuh dengan konsep seperti Dosa, Kota, dan Kenangan. Sebuah modal besar bagi Silampukau yang baru memperkenalkan diri ke kancah musik Indonesia.

Jumat, 18 Desember 2015

Meresapi kehidupan Bahari di Tanakeke


“Setelah salat subuh kita keliling ke Bangko Tappampang nah.”

Daeng Haris hanya mengacungkan jempol tanda setuju dengan ajakan saya. Sesaat setelahnya kami masuk ke rumah untuk beristirahat. Malam tak pernah berumur tua di Tanakeke. Orang-orang selalu mengakhirinya dengan tidur lelap sebelum larut datang. Ada banyak mimpi atau sekedar rutinitas yang mesti ditunaikan keesokan harinya.

***
Tanakeke adalah sebuah gugusan kepulauan yang terletak di sebelah barat Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Wilayahnya yang didominasi oleh lanskap hutan mangrove membuat kawasan ini sangat sehat bagi kehidupan beberapa biota laut. Sampai tahun 1980-an luas hutan mangrove di Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian kawasan hutan  menjadi lahan tambak secara besar-besaran. Luasan hutan mangrove berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar saja saat ini. Kini sebagian besar lahan tambak tersebut telah mati dan menyisakan permasalahan lingkungan. Dengan luasan mangrove yang tersisa, kini Tanakeke melanjutkan hidup. Alamnya masih cukup untuk memberikan penghidupan bagi masyarakat.

Kepulauan Tanakeke terdiri dari lima desa. Daratan beberapa desa akan terhubung pada saat air sedang surut. Namun pada saat pasang sebagian daratan akan terendam air, sehingga untuk berpindah dari satu desa ke desa yang lainnya harus menggunakan jalepa (kapal kecil bermotor). Hal ini menjadikan aktifitas masyarakat sangat tergantung dengan transportasi air tersebut. Setiap pagi dan sore hilir mudik nelayan, pegawai desa sampai anak sekolah adalah pemandangan yang lazim kita jumpai di perairan Tanakeke.

Jika berangkat dari Makassar, ada dua alternatif untuk mencapai Tanakeke. Pertama dari Pelabuhan Kayu Bangkoa yang berada di depan Ford Rotterdam. Tapi kapal yang berangkat dari pelabuhan ini tidak reguler sehingga kita harus memesan terlebih dahulu kepada pemiliknya. Disarankan menggunakan jalur ini jika kita berangka dalam jumlah banyak, sehingga harga sewa kapal tidak terlalu menjadi masalah. Namun jika berangkat via Makassar dirasa terlalu berat, kita dapat lewat jalur yang lebih ekonomis, yaitu Dermaga Takalar Lama di Takalar. Untuk mencapainya kita dapat menggunakan kendaraan pribadi atau dengan pete’-pete’ (angkot). Ongkos pete’-pete’ dari Pasar Sentral sampai Dermaga Takalar Lama sebesar Rp. 15.000,-. Di dermaga tersebut ada beberapa kapal laut setiap hari siap mengantar ke Tanakeke. Ongkosnya berkisar antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- per orang, tergantung desa tujuan. Bagi yang pertama kali ke Tanakeke sebaiknya menuju Desa Tompo Tana saja. selain desa ini yang paling mudah dicapai, dari titik ini kita akan lebih mudah jika ingin berkunjung ke desa atau lainnya.

***
Tidak terlalu lama setelah salat subuh Daeng Haris sudah turun ke laut untuk mempersiapkan jalepa-nya. Sebelum matahari bersinar sempurna, saya dan beberapa orang teman sudah siap untuk mengelilingi Bangko Tappampang. Bangko Tappampang adalah sebuah kawasan konservasi mangrove seluas sekitar 40 hektar. Kawasan ini lahir dari kesepakatan lima desa pada tahun 2013 atas dasar kearifan lokal yang sebenarnya telah mati. Oleh para leluhur, kawasan Bangko Tappampang dijadikan tempat mencari makan bersama (pangnganreang) oleh seluruh masyarakat yang berada di Tanakeke.

Saya sengaja merencanakan berkeliling Bangko Tappampang pada pagi hari agar bisa mendapatkan udara segar dan air laut yang masih tenang. Matahari akan mulai terik jika kita bergerak di atas pukul sembilan. Ada beberapa jalur yang bisa dilalui untuk sampai ke Bangko Tappampang. Namun saya meminta kepada Daeng Haris untuk melalui “terowongan mangrove.” Jalur ini adalah favorit saya. jajaran padat mangrove yang didominasi oleh jenis Rizophora membentuk lintasan panjang hingga terlihat seperti sebuah terowongan. Saat melalui terowongan ini lebih baik kecepatan jalepa diperlambat. Dengan begitu kita bisa merasakan kesejukannya atau lebih memperhatikan biota yang hidup di tempat tersebut.

Keluar dari Terowongan Mangrove kita langsung bisa melihat hamparan Bangko Tappampang. Pohon-pohon mangrove tumbuh sehat dan rapat di tempat ini. Selain karena tidak dimiliki secara pribadi, penetapannya sebagai kawasan konservasi semakin menegaskan Bangko Tappampang tidak bisa diganggu bahkan harus dilindungi dari kerusakan. Lewatlah di sela-selanya untuk menikmati udara segar pagi hari disana. Kita juga bisa melihat Burung Belibis dan Bangau Putih yang banyak hidup dan mencari makan di dalam kawasan. Jika sedang beruntung, kadang kala Burung Beo dan Raja Udang juga menampakkan diri.

Terowongan Mangrove

Sela-sela Kawasan Konservasi Hutan Mangrove yang tenang dan sejuk di pagi hari
Sebelum matahari terlalu menyengat kulit, sebaiknya kegiatan berkeliling Bangko Tappampang disudahi. Udara pukul sepuluh ke atas di Tanakeke sudah sangat terik. Saya mengajak teman-teman untuk beristirahat di kolong rumah. Kita bisa berinteraksi dengan masyarakat yang biasanya mengikat bibit rumput laut. Sudah beberapa tahun ini budidaya rumput laut menjadi pekerjaan utama masyarakat Tanakeke. Sejak saat itu perairan rendah disana menjadi lahan untuk membentangkan ikatan rumput laut. Botol plastik yang dijadikan pelampung menjadi pemandangan umum disana.

Sejak pagi para lelaki sudah turun ke laut untuk mengambil bibit. Bibit-bibit tersebut dibawa ke daratan untuk kemudian diikat dalam ukuran kecil oleh ibu-ibu. Pekerjaan mengikat bibit rumput laut ini biasanya dikerjakan sampai siang. Setelah selesai, bentangan bibit rumput laut lalu diturunkan lagi ke laut selama 30 sampai 45 hari. Sebelum dipanen, kebersihan bentangan tadi harus dikontrol setiap hari. Jika ada lumut atau sampah yang tersangkut harus disingkirkan dengan cara menggoyang-goyangkan tali bentangan tersebut. Begitu seterusnya sampai rumput laut dirasa cukup besar untuk dipanen. Proses selanjutnya adalah mengeringkan. Jika matahari sedang terik, dalam dua hari rumput laut sudah kering dan siap untuk di-packing di dalam karung kemudian dijual.

Sore hari di Tanakeke adalah waktu paling menyenangkan. udara yang sudah kembali sejuk memungkinkan kita untuk berkeliling desa. Dengan begitu kita bisa bercengkrama akrab dengan masyarakat atau bermain di laut bersama dengan anak-anak. Puncaknya adalah pemandangan maha menakjubkan dari proses tenggelamnya matahari di sela-sela hutan mangrove. Cahaya dari bulatan kuning besar akan memberikan efek dramatis di langit. Sedang di laut akan ramai siluet nelayan yang pulang bersama dengan terbenamnya sang surya.

Seorang petani rumput laut menurunkan bentangan bibit ke laut
Setelah diikat di tali bentangan, bibit rumput laut siap dibudidayakan
Sunset dan nelayan di Tanakeke pulang bersamaan saat petang tiba
Malam hari kami lalui dengan memancing di dermaga. Kegiatan ini menjadi salah satu aktfitas favorit pendatang di Tanakeke. Ikan seperti Baronang atau Kerapu cukup mudah didapatkan disini. hasil yang didapatkan bisa langsung dibakar di rumah warga yang kita tumpangi. Di Tanakeke tidak ada penginapan semacam resort atau vila. Tapi warga disana cukup ramah untuk menyambut para pendatang. Kita juga bisa menitipkan uang untuk dibuatkan makanan selama tinggal di sana.

***
Malam memang tak pernah berumur tua di Tanakeke. Ada begitu banyak kegiatan menyenangkan yang menanti untuk dilakukan di esok hari.

“Jadi mau kemana ki lagi besok?”


Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Blog Competition #TravelNBlog 5: Jelajah Sulsel" yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID 

Rabu, 09 Desember 2015

Mari Memasang Curiga


Ada dua peristiwa penting pada tanggal 9 Desember ini: Hari Peringatan Anti Korupsi Internasional dan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) yang dilaksanakan serentak. Saya kira dua momen dalam sehari ini sangat berhubungan. Apa sebab? Mungkin data-data berikut ini bisa menjelaskannya;

Menurut catatan Kemendagri, hingga 2014 tercatat 343 Kepala Daerah terjerat kasus korupsi. Angka itu setara dengan 86 persen dari seluruh kepala daerah yang ada di seluruh Indonesia. Angka yang sungguh fantastis. Kenyataan lainnya adalah, ternyata Pilkadal 2015 ini menujukkan ada beberapa kontestan yang diduga pernah terlibat kasus bahkan sempat menyandang status terpidana korupsi. Gila!

Memang kenyataan ini sungguh menyedihkan. Jalan reformasi yang memberikan langkah bebas kepada masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung malah melahirkan penjahat-penjahat yang semakin canggih. Pilkadal hari ini adalah mesin yang terus memproduksi koruptor-koruptur baru yang semakin keji dan tidak tahu malu.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Kita masyarakat tentu tidak bisa terlalu jauh untuk mengintervensi  sistem Pilkadal atau cara kerja politik. Hal minimal yang bisa kita lakukan adalah mengintervensi diri kita masing-masing untuk sadar dengan konsekuensi pilihan. Saya salut dengan orang-orang yang memilih menjadi golongan putih karena merasa tidak ada calon yang sesuai denga hati nuraninya. Kita memang harus mendasarkan pilihan kita pada keyakinan kan? Jangan pernah memilih jika tidak ada calon pemimpin yang dirasa dapat mengemban tugas tersebut. Jangan sampai di hari perayaan anti korupsi sedunia ini malah jadi momen lahirnya pemimpin korup.

Hal lainnya saya kira adalah kita harus mulai mengubah cara memperlakukan kepala daerah yang terpilih nantinya. Jika selama ini kita selalu menggantungkan harapan kepada para pemimpin baru, sudah saatnya kita harus memasang rasa curiga kepada mereka. Menggantungkan harapan adalah cara usang untuk berinteraksi dengan dengan para pemimpin. Cara itu terlalu melenakan, baik bagi masyarakat untuk mengawasi juga bagi pemimpin dalam bekerja. Sebaliknya, rasa curiga akan membuat kita selalu mawas diri akan tindak tanduk para pemimpin. Pemimpin akan merasa selalu diawasi. Dengan begitu mereka akan terus berupaya untuk berbuat terbaik dan terus meningkatkan kinerjanya.

Kita tentu sudah muak dengan para Pemberi Harapan Palsu (PHP). Mari mawas diri dengan mulai memasang rasa curiga. Jadi ucapan selamat nanti juga harus berubah. Kalau dulu “Selamat datang pemimpin baru, harapan kami ada padamu” nantinya harus menjadi “Selamat datang para pemimpin baru, awas kami curiga padamu!”

Selamat Hari Anti Korupsi Internasional. Mari menghadang niat jahat koruptor.

Kamis, 26 November 2015

Papua


Tentu kita tak akan pernah tahu bagaimana harapan lama akhirnya bisa terjadi saat ini.

Awal-awal SMA dulu saya terkagum dengan Papua saat menonton film Denias. Saya suka film ini bukan hanya karena bercerita tentang perjuangan tokoh utamanya untuk merasakan pendidikan formal. Lebih dari itu Denias menampilkan penampakan lansekap Papua yang sungguh cantik. Mulai dari pegunungan, hutan, sungai, semuanya sangat memanjakan mata. Oh ya satu lagi, logat Papua yang kental ditampilkan dan terdengar lucu di film ini menjadi pelengkap keinginan untuk berkunjung ke Tanah Cenderawasih ini.

Saat kuliah ketertarikan saya akan Papua semakin bertambah dan dalam pembahasan yang semakin luas. Saya mulai membaca Papua dari sisi yang sedikit berbeda dari sekedar kecantikan alamnya. Saya kemudian mendapati luka kemanusiaan yang sudah terjadi sejak lama. Bagaimana Papua menjadi bahan eksploitasi yang bahkan masih terjadi hingga saat ini, setelah rejim pemerintah berganti beberapa kali dan otonomi khusus telah diberikan. Di sana saya semakin ingin ke Papua, menyaksikan secara langsung apa sebenarnya yang terjadi. Bahkan saya menyempatkan membahas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua di dalam tugas akhir kuliah saya.

Namun kesempatan itu tidak juga datang, bahkan saat saya sudah tujuh tahun hidup di kampus. Pernah di tahun 2012 kalau tidak salah ingat, saat menerima honor yang cukup besar dari beberapa pekerjaan, saya berniat berkunjung ke Jayapura. Apalagi sudah ada kenalan disana yang bisa ditumpangi barang beberapa hari. Tapi niat itu urung terwujud. Saya malah memakai uang itu untuk solo trip ke beberapa tempat di Pulau Jawa. Niat awal hanya mengikuti sebuah konferensi mahasiswa selama tiga hari, saya malah terhasut untuk berkeliling di sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah selama dua minggu lebih. Uang yang awalnya untuk mendatangi Papua tersebut pun habis.

Tapi siapa sangka saat ini saya di Papua!

Semuanya seperti serba mendadak. Kontrak kerja saya di sebuah program berakhir pada bulan Agustus tahun ini. sebulan kemudian semua urusan kampus yang bagi saya serba ribet itu akhirnya selesai (emoticon bernafas lega). Tiba-tiba datang tawaran dari seorang teman yang juga senior untuk kerja di Papua. Sebenarnya peluang ini sudah saya dengar dari beberapa bulan sebelumnya. tapi saat itu saya sedang fokus dengan pekerjaan yang sedang berjalan. Menjelang deadline pendaftaran, saya dikabari lagi. Saya berpikir dengan sedikit panik. Saya sangat ingin ke Papua tapi masih bertanya pada diri sendiri apakah siap untuk hidup dalam waktu yang lama disana. Tapi akhirnya saya mengirim surat lamaran tersebut di hari yang sama dengan datangnya pemberitahuan yang mengagetkan itu. Dan di sinilah saya sekarang, Papua, tepatnya di sekitar Kabupaten Mimika dan Kabupaten Asmat.

Saat mengirimkan surat lamaran hingga akhirnya berangkat ke Papua saya masih terus meyakinkan diri untuk terus mengembangkan diri di jalan pekerjaan sosial ini. mungkin terdengar berlebihan ya. Tapi itulah kenyataannya. Pada saat mudik lebaran yang lalu, Mamak lagi-lagi mengingatkan saya untuk kerja di Tarakan saja. Katanya saya sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Mendaftar sebagai pegawai negeri atau menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan kelapa sawit milik seorang kenalan keluarga jadi beberapa alternatif pilihan dari beliau. Tapi nyatanya saya memilih semakin jauh dari rumah. Tapi saya bersyukur dipilihkan Mamak yang selalu pengertian atas pilihan anak-anaknya. Ah jadi kangen Mamak kan.

Mari fokus kembali lalu mengakhiri kabar ini. Hehehe.

Saya tidak berharap banyak dengan kedatangan saya di Papua. Apalah saya ini. Niat saya menjelang berangkat adalah untuk belajar lebih banyak lagi, terutama tentang masyarakat, budaya, dan alam Papua. Tentu sambil menikmati segala keunikan dan keindahannya dong. Kalau ternyata kehadiran saya dinilai membawa manfaat (amin), itu sudah lebih dari cukup untuk bikin saya sangat bahagia dan bersyukur.

Begitulah. Sudah sebulan lebih ini saya menetap di Papua dan masih terus beradaptasi dengan kehidupan disini. Seperti bayangan saya, disini sangat menarik. Saking tertariknya saya jadi banyak bertanya selama sebulan ini. Doakan saya tidak terlalu malas untuk lebih sering memberi kabar lewat blog ini.


Sekian dulu. Nimao.

Sabtu, 26 September 2015

Humor yang Tidak Lucu di Kampus Merah


Sulit menjelaskan selera humor pejabat Fakultas Teknik Unhas akhir-akhir ini. Pada acara penyambutan mahasiswa baru lalu, sebuah spanduk berukuran besar terpajang di gedung Fakultas Teknik. Bukannya ucapan selamat datang, tapi adik-adik maba disambut dengan hasil scan pemberitaan sebuah harian lokal yang bertuliskan “Ngospek, 88 Mahasiwa Teknik Unhas Diskorsing.” Apa maksud dari spanduk tersebut? Saya mencoba sekuat tenaga untuk tidak berburuk sangka dalam menilai. Tapi tetap saja pemikiran yang muncul selalu itu-itu juga, spanduk ini bertujuan untuk mengancam! Tidak mungkin spanduk ini hanya pemberitahuan biasa.

Saya merasa lucu sekaligus terheran-heran saat mengetahui hal ini. Saya kira teknik propaganda seperti ini sudah menghilang sejak rezim orde baru runtuh. Ternyata cara Suharto untuk menakut-nakuti lawannya masih hidup lestari, bahkan masuk sampai ke kampus, kantong utama pendorong reformasi. Saya berpikir, tidak adakah cara lain yang lebih indah selain cara kekanak-kanakan tersebut. Bukannya lebih baik duduk bersama, ngopi atau ngeteh, lantas membicarakan titik temu. Saya kira teman-teman mahasiswa lama cuma ingin mengakrabkan diri dengan adik-adik angkatan mereka. Dapat gebetan dari situ, itu bonus lah. Terlepas dari caranya yang dianggap masih kurang pas, itu yang perlu dipikirkan bersama.

Tapi pihak Dekanat Teknik memilih berpikiran pendek: mengancam!

Tidak berapa lama kemudian, di media sosial muncul sebuah foto yang menujukkan sebuah pemberitahuan yang tidak kalah lucu-tapi-membuat-heran, kalau tidak boleh disebut absurd. Masih dari Fakultas Teknik namun kali ini tidak sebesar spanduk sebelumnya. Pengumuman tersebut hanya seukuran kertas A4, tapi dengan tujuan yang sama. Isinya, larangan masuk perpustakaan bagi mahasiswa yang berambut panjang alias gondrong. Lalu di bagian bawah tulisan tersebut ada himbaun tambahan: “KECUALI ADA IZIN DARI PIMPINAN FAKULTAS.” Alamak, orde baru nyata masih hidup di Fakultas Teknik Unhas. Tentu saya tidak perlu menjelaskan bagaimana Suharto begitu membenci manusia yang gondrong pada eranya.

Sebesar apa sih salahnya mahasiswa gondrong sampai mereka dilarang masuk perpustakaan? Apakah mereka pernah membuat kekacauang di dalamnya? Ataukah penampilan mereka mengusik konsentrasi pengunjung lain yang sedang asyik membaca? Sepertinya saya belum pernah mendengar berita semacam itu. Lantas apa? Mahasiswa gondrong itu bermoral buruk? Wah gawat sekali kalau sampai si penempel pemberitahuan tersebut sampai berpikiran seperti itu. Dimana korelasi antara rambut gondrong dan moral yang tidak baik. Munkin ada pelaku kriminal yang kebetulan berambut gondrong. Tapi kan tidak semua. Kalau mau sesat pikir ini dilanjutkan boleh dong si gondrong bilang, “pejabat koruptor yang hari ini jadi pesakitan semua rambutnya pendek dan rapi, bro.” Nah bagaimana kalau begitu?

Kalau mau mencari murid yang rambutnya seragam pendek semua, saya sarankan, mending bapak/ibu ngajar di Wirabuana saja lah.

Kita semua tentu tahu bagaimana manusia gondrong distigma begitu liar di masyarakat sejak dulu. Tapi yang saya sayangkan adalah stigma itu ikut tumbuh subur di ruang-ruang akademis. Seharusnya kampus menjadi tempat yang bebas bagi bersemainya ilmu pengetahuan. Kampus haruslah menjadi jalan raya tempat ide dan pemikiran-pemikiran berlalu lalang. Bukannya menjadi ruang ketakutan akibat ulah penguasa bermental kerdil yang kerjanya hanya mengamcam!


Mungkin Bapak/Ibu di Dekanat Teknik Unhas perlu diingatkan. Nama kampus kita ini diambil dari seorang pahlawan terbesar di Sulawesi Selatan, Sultan Hasanuddin. Iya Sultan Hasanuddin yang gagah perkasa namun arif bijaksana itu. Dan yang paling perlu diingat, Sultan Hasanuddin itu gondrong!

Jumat, 25 September 2015

Mengerti untuk Melawan: Upaya Masyarakat Kepulauan Tanakeke Mencegah Korupsi


Banyak kasus tindak pidana korupsi yang terjadi karena ketidaktahuan, baik ketidaktahuan masyarakat tentang proses penganggaran yang dilakukan oleh pemerintah, juga ketidaktahuan aparat dalam menggunakan anggaran negara. Lemahnya kapasitas pengetahuan kedua unsur ini kemungkinan disebabkan oleh rasa apatisme yang lahir dari buruknya sistem yang selama ini berjalan. Hal tersebutlah yang selama lima tahun belakangan ini ingin diubah oleh masyarakat dan aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Pulau Tanakeke terdiri dari lima desa dengan sumber daya alam yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pulau ini juga dikenal sebagai penopang keseimbangan lingkungan pesisir Sulawesi Selatan karena memiliki kawasan bakau (mangrove) yang sangat luas. Sampai tahun 1980-an luas hutan bakau di Pulau Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian hutan bakau menjadi lahan tambak atau empang secara besar-besaran. Luasan hutan bakau Kepulauan Tanakeke berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar saja saat ini. Setelah sekitar 30 tahun berlalu, tambak-tambak yang tadinya berjaya kini menjadi lahan-lahan mati karena perubahan ekosistem dan terdegradasinya kualitas lahan. Keuntungan hanya dirasakan segelintir orang saja. Kebanyakan masyarakat Kepulauan Tanakeke masih hidup dalam kerentanan ekonomi, bahkan semakin sulit karena lingkungan mulai terganganggu. Ketidaktahuan menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan!

Belajar dari kejadian masa lalu tersebut, masyarakat juga aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke kini berbenah. Sejak tahun 2010, dengan didampingi oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Oxfam Indonesia Tmur, mereka mulai membangun kembali tata kelola kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik. “Baik” dalam artian pengelolaan desa yang partisipatif, responsif gender dan pro pada masyarakat yang rentan secara ekonomi.

Pengelolaan desa yang partisipatif penting diwujudkan agar pembangunan desa tidak dimonopoli oleh segelintir orang saja. Semua harus terlibat agar proses sumbang saran bisa berjalan efektif dan nantinya manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Penyadaran itulah yang mula-mula diberikan kepada masyarakat serta aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke. Aparat pemerintah desa dilatih tentang manajemen pengelolaan desa yang baik, masyarakat didorong untuk lebih aktif terlibat dalam pengawasan. Dalam tiga tahun belakangan ini hal tersebut sudah bisa berjalan, walaupun masih perlu terus ditingkatkan.

Kini Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) di lima desa di Kepulauan Tanakeke tidak sepi lagi seperti dulu. Masyarakat diizinkan, bahkan diundang untuk datang memberikan masukan dalam pengelolaan dana desa. Apalagi saat ini desa mengelola dana yang cukup besar setelah Undang-Undang Desa mulai berlaku. Masyarakat dan aparat pemerintah desa harus menyadari bahwa pengelolaan dan pengawasan penggunaan dana desa haruslah berjalan dengan baik. Jika tidak begitu, manfaat tidak akan didapatkan dan bisa saja akan terjadi penyalahgunaan anggaran.

Selain itu perspektif pembangunan desa yang lebih peka gender juga sudah mulai terlihat. Misalnya pembangunan beberapa fasilitas umum diharuskan memenuhi kebutuhan yang setara antara perempuan dan laki-laki. Dorongan untuk menyekolahkan anak minimal hingga SMA terus dilakukan di semua desa. Bahkan di Desa Maccini Baji dan Desa Tompo Tana, aparat pemerintah desa melarang perkawinan di bawah umur untuk menghindarkan anak-anak pada dampak buruk di usia dini.

Alokasi Dana Desa yang cukup besar tidak hanya diperuntukan untuk pembangunan fisik saja, tetapi juga untuk pembangunan kapasitas masyarakat. Masyarakat yang rentan secara ekonomi diberikan pelatihan berwirausaha dengan jalan memanfaatkan potensi lokal Kepulauan Tanakeke. Hal ini dilakukan untuk melepaskan masyarakat dari praktek Punggawa-Sawi (semacam praktek rentenir yang berlaku di wilayah pesisir Sulawesi Selatan) yang sangat memberatkan masyarakat. Kesemua hal tersebut dilakukan semata untuk mendistribusikan manfaat pembangunan yang lebih adil.


Secara perlahan kini masyarakat Kepulauan Tanakeke terus membangun kapasitas pengetahuan tentang pengelolaan desa mereka. Karena pengetahuan adalah gerbang menuju kesejahteraan dan portal penghalang bagi terjadinya penyalahgunaan dan tindak pidana korupsi.

Kamis, 02 Juli 2015

Ramadhan di Laut

Di Pulau Tanakeke, mungkin juga pada masyarakat pesisir pada umumnya, hampir tidak ada perubahan rutinitas yang berarti pada bulan Ramadhan. Aktifitas masih dimulai sejak setelah salat subuh hingga matahari terbenam. Kegiatan di laut pada siang hari juga masih dilakukan. Tenaga dan semangat bekerja mereka seperti tidak berkurang sama sekali di kala puasa ini.

Pencari kepiting dan udang di sela-sela pohon mangrove dengan menggunakan lepa-lepa (kapal kecil tanpa mesin, hanya menggunakan layar terpal). Teknik yang digunakan adalah dengan cara tado' (menjerat dengan tali tasi).

Pencari ikan ini sedang memukul-mukul air laut untuk menggiring ikan menuju jala yang telah mereka pasang terlebih dahulu. Ikan ketakutan, berenang menuju jala, hap! Ikan terjerat dan siap dibawa pulang.

Setelah diikat, rumput laut siap dibawa ke lahan penanaman. Lahan rumput laut biasanya terletak di antara laut dangkal dan laut dalam. Yang harus dipastikan adalah rumput laut tetap terendam saat air laut sedang surut.

Anak-anak ini tetap bermain di tepi lahan mangrove. Biasanya sambil bermain mereka membawa alat tangkap sederhana. Jika melihat ikan, udang atau kepiting, mereka dengan cekatan menangkapnya. Kan lumayan, bermain sambil menambah persedian makan malam. Hehehe.




Minggu, 21 Juni 2015

Ramadhan di Pulau Sebatik

Atri, Saya, Cheper, dan Tajrim di posko Kecamatan Sebatik Utara.

Marhaban Yaa Ramadhan. Selamat menjalankan ibadah puasa kepada teman-teman yang melaksanakan.

Mumpung lagi bulan Ramadhan, Saya ingin mengenang masa KKN (Kuliah Kerja Nyata) Saya yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan tiga tahun lalu di Pulau Sebatik. Ya sekalian berbagi pengalaman kepada teman-teman yang sebentar lagi akan menunaikan tugas KKN pada bulan Juni – Juli nanti lah.

Kami tiba di Pulau Sebatik pada bulan Juni, Saya lupa tanggal pastinya, setelah terombang-ambing di atas Kapal Tidar milik Pelni selama dua hari dan sempat singgah semalam di Nunukan. Saya baru tahu akan ditempatkan di Desa Sei Pancang bersama tiga teman lainnya pada saat bermalam di Nunukan. Jadi belum ada gambaran sama sekali dan serba menerka-nerka akan seperti apa daerah penempatan kami itu. Saya bernasib satu posko dengan tiga lelaki tangguh tapi tetap lucu-lucu; Tajrim dari Fakultas Ekonomi, Atri dari Fakultas Teknik, dan Rahmat Cheper (seharusnya “Ceper” tapi ditambah huruf “h” biar jadi keren katanya. Hehehe.) dari Fakultas Pertanian. Untuk angkatan pertama ini, jumlah peserta KKN Unhas di Pulau Sebatik berjumlah (hanya) dua puluh orang. Dua puluh orang ini dibagi dalam lima posko di lima Desa. Jadi masing-masing posko akan dihuni oleh empat orang peserta. Namanya juga angkatan pertama, semua serba meraba soal daerah penempatan masing-masing. Tapi malah itu yang membuat KKN ini menyenangkan karena semua hal yang dilakukan akan memberikan efek kejutan dan membawa pengalaman baru.

Kalau tidak salah ingat, kami mendapati bulan Ramadhan pada pertengahan masa KKN. Hal ini membuat persiapan berpuasa menjadi lebih enak karena kami sudah mengenal medan juga orang-orang di sekitar. Pulau Sebatik yang mayoritas penduduknya adalah pendatang yang  bersuku Bugis juga menjadi hal yang membuat proses adaptasi menjadi lebih mudah. Bahkan kami merasa seperti sedang tingal di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan saja. Selain bahasa yang sudah berakulturasi dengan bahasa Melayu Serawak, hampir semua kebiasaan khas Bugis-Makassar masih akrab disana.

Seperti kebiasaan masyarakat Bugis-Makassar, sehari sebelum memasuki bulan Ramadhan masyarakat Pulau Sebatik juga mengadakan semacam syukuran yang biasa disebut sebagai Baca Doang (membaca doa). Berbagai makanan seperti sokko’ (nasi ketan), ayam kari, ayam goreng juga sup menjadi sajiannya. Kami mendapat beberapa undangan untuk singgah dari beberapa orang yang sudah kami kenal di Kantor Desa atau Kantor Kelurahan. Disini enaknya ber-KKN di desa. Masyarakat masih sangat ramah apalagi terhadap orang-orang pendatang. Kalau cuma ajakan singgah untuk makan hampir setiap hari didapat. Hehehe.

Sehari sebelum Ramadhan juga Tajrim dan Cheper mengajak untuk berbelanja kebutuhan untuk sahur. Saya dan Atri yang pengalaman dapurnya cuma sampai di sajian indomie goreng telur tentu mengiyakan saja. Beras, beberapa lauk-pauk juga sayuran menjadi pilihan. Cheper yang secara meyakinkan mengaku pandai memasak dilipih jadi tukang masak utama. Sialnya, makanan yang  biasa dibuat oleh cheff kami ini adalah masakan dengan cita rasa pedas. Sayur pedas, tempe goreng super pedas, telur dadar juga pedas. Tinggal nasi putihnya saja yang tidak pedas. Kami murka. Atri pun mengutuki Cheper subuh itu. Beruntung, lagi-lagi datang kiriman makanan dari tetangga. Yang paling rajin mengirimi kami makanan adalah Kak Badriah yang biasa dipanggil Kak Bade’. Baik pada saat sahur ataupun berbuka puasa, kami sangat sering dikirimi atau diajak makan di rumahnya yang terletak persis di depan posko kami.

Alternatif tempat sahur kami jika sedang malas memasak adalah Rumah Makan Nelayan yang sangat dekat dengan posko kami. Rumah makan ini ternyata buka sampai pagi. Menu yang disajikan serba seafood dan diolah menjadi berbagai jenis masakan; nasi goreng, mie goreng, sup, sampai tom yam. Harganya juga tidak terlalu mahal untuk ukuran mahasiswa seperti kami. Saya ingat hari terakhir di Desa Sei Pancang sebelum pemulangan kami sepakat untuk sahur di Rumah Makan Nelayan ini. mumpung waktu itu “uang hidup” yang diberikan oleh sponsor masih lumayan, subuh itu kami memesan makanan yang lebih banyak daripada sahur-sahur sebelumnya. ya semacam pesta perpisahan dengan posko lah ceritanya.

Setelah salat subuh biasanya Saya dan Tajrim tidak langsung kembali ke posko. Seperti kebiasaan sebelum masuk bulan Ramadhan, kami selalu menyempatkan ke Dermaga Sei Pancang. Kalau sedang cerah matahari terbit di dermaga ini sangat sayang untuk dilewatkan. Sebelum pukul enam pagi di ujung jembatan akan muncul sebulat kuning besar seperti ingin menghampiri kita. Pantulan cahayanya di laut membentuk segaris emas. Waktu pertama kali melihat sunrise di spot tersebut saya langsung takjub dan datang hampir setiap pagi disana. Momen ini bahkan lebih menarik daripada pemandangan Gunung Kinabalu di Tawau seberang.

Matahari terbit di Dermaga Sei Pancang, Pulau Sebatik.

Ketika matahari mulai merangkak naik, momen menarik lainnya juga penting. Sekitar pukul delapan pagi dermaga mulai ramai oleh tukang ojek yang mengantar orang-orang yang akan menyeberang ke Tawau Malaysia. Kebanyakan dari mereka pergi ke sana untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual kembali di Sebatik. Di dermaga ini pula saya berkenalan dengan beberapa orang yang kemudian menjadi informan kami dalam menyusun program kerja KKN. Bahkan beberapa dari mereka sudah menjadi teman akrab yang sesekali masih saya telepon untuk sekedar menanyakan kabar.

Kegiatan pada siang hari sudah kami alokasikan untuk menjalankan program kerja KKN atau membantu beberapa pekerjaan di Kantor Desa atau di Kantor Kecamatan Sebatik Utara. Kami sempat membantu orang-orang kecamatan untuk mempersiapkan Pasar Ramadhan. Selain akan digunakan sebagai tempat berjualan hidangan berbuka puasa, tempat ini juga rencananya akan dipakai sebagai tempat dilaksanakannya beberapa lomba Ramadhan. Sayang kami keburu pulang sebelum tempat tersebut benar-benar digunakan untuk kegiatan yang sudah disusun tersebut.

Masa menjelang berbuka puasa di Desa Sei Pancang adalah saat paling menyenangkan bagi saya. Apalagi kalau bukan karena hadirnya berbagai macam takjil dan hidangan berbuka puasa yang digelar di Pasar Sei Pancang. Di luar Ramadhan, pasar ini hanya buka pada pada hari Senin, Kamis dan Malam Minggu. Tapi selama Ramadhan pasar ini selalu ramai setiap harinya.

Penganan favorit saya adalah Roti Canai Pakcik. Secara penampilan, canai ini biasa saja sebenarnya. Hanya sebongkah roti tipis dengan siraman kari sapi. Sesimpel itu. Tapi soal rasa canai ini juara menurut saya. rotinya empuk dan lembut saat dikoyak. Gurihnya tipis. Ditambah kuah kari sapi, yang walaupun kaya akan bumbu tapi sangat pas di lidah. Canai yang baik bagi saya adalah perpaduan antara roti dan kuah kari yang rasanya sama-sama nyaman di lidah. Dan bagi saya Roti Canai Pakcik ini masih yang terbaik bagi saya. bonusnya adalah kita dapat melihat langsung atraksi si Pakcik saat membuat roti canainya. Bagaimana adonan roti mulai ditakar lalu dilempengkan kemudian digepengkan adalah hiburan tersendiri saat menanti pesanan kita. Harganya pun sangat murah. Sebuah roti canai dengan kuahnya dapat dibawa pulang dengan Rp. 3.000,- atau satu Ringgit saja.

Roti Canai Pakcik dari Pasar Sei Pancang

Akhir Juli waktu pemulangan kami tiba. Di spanduk posko kami sempat menuliskan kalimat penolakan "Jangan Pulangkan Kami!". Walau terkesan klise di akhir tiap cerita KKN, namun memang ada rasa berat untuk meninggalkan Pulau di ujung utara Indonesia ini. Betul kata orang, "KKN itu momen menyenangkan tapi tidak untuk diulang". Tapi kalau ada kesempatan untuk kesana lagi pasti kami sulit untuk menolaknya. Saya pribadi berjanji untuk kembali berkunjung kesana untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang sudah sangat baik kepada kami selama KKN.

Terimakasih Sebatik. Selamat Berpuasa.

Rabu, 01 April 2015

Mati Bahagia Cara Semakbelukar


Mungkin Semakbelukar serupa penggalan puisi Chairil Anwar, “Sekali berarti, sudah itu mati”. Grup folk melayu ini menempuh jalan bubar saat musik mereka ramai dibicarakan. Album terakhir mereka, semakbelukar, diapresiasi tinggi dan diakui sebagai salah satu rilisan terbaik tahun 2013 oleh banyak pengamat. Menyusul kemudian penghargaan album terbaik ICEMA 2014 dan album terbaik versi Majalah Tempo pada tahun berikutnya.

Album semakbelukar ini memang istimewa. Bernafaskan musik melayu tradisi dengan bebunyian akordeon, gendang melayu, mandolin dan jimbana. Ia menggebrak di tengah bergairahnya musik folk tanak air. Mengubah pandangan negatif terhadap musik “Metal, Melayu Total” yang ramai satu dekade belakangan ini. “Penuh keserhanaan tanpa berusaha menjadi avant garde”, mengutip Farid Amriansyah ((AUMAN)).

Saya sendiri mendengarkan Semakbelukar secara sepotong-sepotong sejak 2011. Saya baru sempat mendengarkan mereka secara utuh pada awal tahun ini lewat album Terlahir & Terasingkan: Antologi Semakbelukar 2009-2013. Jika album terakhir mereka sebelum bubar berlabel mengagumkan, saya merasa album antologi ini lebih dari itu. Entah apa namanya, yang jelas album yang terdiri dari dua keping CD ini lebih dari sekedar mengagumkan. Magis, emosional, entahlah.

Dibuka dengan lagu-lagu dari album era Belukaria Orkestar yang penuh aura positif. Ada “Salam” sebagai pembuka, seakan mengetuk pintu para pendengar. Lalu “Awal & Akhir” dan “Lebah” yang menunjukkan sisi keislaman dalam budaya Melayu. Juga “Sejuknya Matahari” yang sangat saya sukai liriknya.

CD pertama ini kemudian dilanjutkan dengan komposisi Semakbelukar yang berada di EP Drohaka. EP yang dirilis via netlabel Yes No Wave ini berisi tiga lagu yang menjadi cinta pertama saya pada Semakbelukar; Be(re)ncana, Gita Cempala, dan Malasmarah. Be(re)ncana tersusun dari musik melayu dengan bunyi akordeon yang mengiris dan lirik juara tentang ketidaksempurnaan. Karena sempurna itu hanya sebuah rencana // Karena sempurna itu hanya sebuah bencana. Gita Cempala adalah sebuah enigma yang mengasyikkan bagi saya. Berlirik sastra melayu lama saya rasa. Sedangkan Malasmarah adalah lagu favorit yang liriknya paling sering saya kutip. Rasa marah adalah anugerah untuk kita yang berfikir // Maka marahlah kepada semua hal yang rusak dan merusak // Rasa malas adalah anugerah untuk kita yang berfikir // Maka bermalaslah untuk lakukan semua hal yang tak berguna.

Proyek solo sang vokalis David Hersya juga dimasukkan di album antologi ini. Pada bagian ini kita sangat bisa merasakan metamorfosis musikalitas seorang David Hersya yang kemudian berdampak pada Semakbelukar itu sendiri. Sempat bernuansa Jazz pada “#1” dan “Kemarin, Hari Ini dan Esok”. Lalu sound yang sangat Brit-Rock hadir pada “No Exit”. Dan yang paling mengejutkan adalah track “Out of My Face” yang terdengar punk rock liar. Kemudian hadirlah lagu cover “Renungkalah” yang teduh namun sangat emosional bagi saya. Saya sempat berkaca-kaca pada bagian ini. Lagu ini terasa seperti sebuah pengantar “pertobatan” David Hersya, paling tidak itu yang saya rasakan.

CD kedua album ini adalah rilis ulang EP self-titled yang membawa nama Semakbelukar semakin dikenal pada tahun 2013. Bagi saya bagian yang berisi delapan lagu ini memang dipersiapkan untuk sebuah kematian. Tema putus asa dan sindirin terasa pada lagu pembuka, “Seloka Beruk”. Adat diinjak budaya ternoda // Semenjak beruk menjadi pemimpin. Pada bagian lain, Halal dan haram pun dimakan // berurat berakar darah dicandu. Tema serupa juga terasa pada lagu “Celaka”.

Lain halnya dengan “Kalimat Satu”. Saya merasakan semangat perjuangan pada lirik nomor ini. Biarpun rebah tiada alasan untuk berubah // Biarpun terbuang tiada henti berjuang. Kemudian rasakan keteduhan musik Semakbelukar lewat lagu-lagu berikutnya; “Merujuk Damai”, “Berlayar di Daratan”, “Dendang Lalai”, dan “Pena Tak Bertinta”.

Album ini ditutup dengan lagi perpisahan yang menyenangkan. Lewat “Perlahan Tapi Pasti” Semakbelukar seperti ingin berkata tidak boleh ada kesedihan setelah grup ini tiada. Walaupun pada kenyataannya saya yakin banyak orang yang terharu dan merasa kehilangan. Belum berhenti // sampai saatnya nanti // ketika jiwa dan raga ini kembali pulang // takkan terulang. Lalu dilajutkan dengan Coba lakukan semua dengan ceria // coba lakukan dengan keikhlasan dan dengan rasa cinta // Perkara ini belum seberapa // perlahan kita pasti bisa. Pada bagian ini saya sangat yakin bahwa Semakbelukar mati dengan Bahagia.

Semakbelukar memang sudah tiada. Namun hikayat tentangnya pasti akan bertahan lama. Saya rasa tugas kita adalah terus merawat memori ini.

Minggu, 29 Maret 2015

Festival Anti Korupsi Makassar

Simponi di Festival Anti Korupsi MARS, berkampanye soal anti korupsi dan penghentian kekerasan terhadap perempuan lewat musik mereka

Ford Rotterdam tumpah ruah oleh manusia tadi malam. Festival Anti Korupsi penyebabnya. Festival ini diselenggarakan oleh Masyarakat Anti Korupsi Sulawesi Selatan (MARS). Hadir tokoh-tokoh yang selama ini getol menyuarakan pemberantasan korupsi seperti Qassim Mattar, Alwy Rachman, Dadang Trisasongko juga Ketua KPK non aktif, Abraham Samad. Mereka semua memberikan orasi, menyebarkan semangat anti korupsi kepada peserta festival yang didominasi oleh anak muda. Kampanye Anti Korupsi juga dilakukan oleh para pekerja seni. Teater, pembacaan puisi, pembacaan dongeng untuk anak-anak, juga pertunjukan musik. Penampil yang paling mengundang riuh tentu saja Simponi dan Robi, vokalis band Navicula, yang tampil dalam set akustik.

PANJANG UMUR PERLAWAN!


Minggu, 15 Maret 2015

Merayakan Makanan a la Laksmi Pamuntjak


“Kami tahu bagaimana harus hidup dalam kapsul masing-masing, dan karena kami bukan sepasang kekasih, kami jarang menggunakan keheningan sebagai alasan untuk memulai pertengkaran. Tapi begitu makanan mengejawantah di wajan, menghias piring, mengisi ruang, yang ada hanya percakapan.”

Tidak bisa terbantahkan bahwa budaya kuliner Indonesia sangatlah kaya. Khazanahnya terbentang dari Aceh sampai Papua, dengan ciri khas dan cita rasanya masing-masing. Beberapa diantaranya bahkan telah diakui sebagai makanan terenak di dunia.

Tapi sayangnya belum terlalu banyak yang membahas kekayaan kita yang satu ini. Belakangan memang muncul beberapa program televisi tentang ragam kuliner Indonesia. Tapi keseringannya penonton hanya dibuat terpana pada pembawa acaranya yang berbodi aduhai dan berpenampilan cool dengan tato di sekujur lengan. Ada pula acara jalan-jalan sambil makan-makan yang sayangnya hanya berakhir pada kata “maknyus” yang kemudian menjadi ikonis. Kesemuanya belum terfokus pada si makanan itu sendiri.

Angin segar baru muncul pada tahun 2014 lalu. Upaya mainstreaming makanan sebagai pusat pembahasan suatu topik mulai nampak.  Dimulai dengan film Tabula Rasa yang bercerita tentang kelezatan masakan Padang, Majalah Tempo yang membuat Edisi Khusus Antropologi Kuliner Indonesia, juga sebuah novel dari Laksmi Pamuntjak, Aruna dan Lidahnya. Judul buku yang terakhir yang kemudian akan diulas dalam tulisan ini.

Aruna dan Lidahnya berkisah tentang Aruna, seorang perempuan yang bekerja sebagai Epidemologist (namun ia lebih senang disebut sebagai “ahli wabah”). Ia memilki dua orang sahabat dengan status yang sama dengan dirinya: belum niat menikah di usia yang sudah kepala tiga. Bono sang chef dengan spesialisasi Nouvelle Cuisine serta Nadezhda, penulis perjalanan dan makanan yang namanya sudah sering muncul di majalah dan web ternama. Ketiganya dipersatukan dalam obsesi yang sama: makanan.

Saat Aruna diberi tugas untuk menyelidiki wabah penyakit di beberapa kota di Indonesia, Ia mengajak kedua temannya tersebut untuk sekalian mencicipi kuliner daerah yang dikunjungi. Bono dan Nadezhda yang lebih akrab dengan western food, sangat tertarik lantas mengiyakan ajakan tersebut. Banyak hal yang mereka temui di balik makanan yang mereka santap, mulai dari sejarah lokal, agama dan kepercayaan, sampai resep makanan baru yang benar-benar tidak terduga. Semuanya mengalir dalam balutan kisah yang manis sekaligus mengharukan.

Dibanding dengan novel sebelumnya, Amba, kisah yang dibangun oleh Laksmi Pamuntjak dalam novel ini terasa lebih mudah untuk diselami. Narasi dan dialognya sederhana walau dibumbui dengan istilah-istilah teknis yang perlu dipahami lebih lanjut. Laksmi sangat pandai merancang kisah dan membangun dialog yang begitu mengena kepada pembacanya. Setiap masakan diceritakan secara mendetail hingga kita seperti bisa merasakannya juga. Produksi air liur saya meningkat di beberapa bagian novel ini.

Bagi yang tidak akrab dengan dunia epidemologi seperti saya, novel ini mungkin akan sedikit membosankan di bagian awal. Namun setelah itu cerita mengalir begitu menyenangkan. Bukan hanya kisah percintaan dan pengkhianatan yang disajikan, kita juga disuguhi dengan berbagai pengetahuan yang sangat bernutrisi. Laksmi memperindah novel ini dengan kutipan dari beberapa penulis dunia, mulai dari Brillant-Savarin hingga Micheal Pollan.

Sungguh seperti ajakan untuk merayakan makanan yang lebih dari sekedar makan sampai perut terasa kenyang.

Senin, 09 Maret 2015

Beberapa Harapan di Hari Musik Nasional

Sejak 2013 setiap  tanggal 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Dari berbagai media sosial terlihat topik yang hangat diperbincangkan adalah “masihkah musik nasional punya harapan?”. Pertanyaan seperti ini sudah sangat klise sebenarnya. Ia hadir setiap tahun mengisi ruang-ruang diskusi para pemerhati dan pelaku musik itu sendiri. Bagi sebagian pihak yang sudah mulai putus asa, harapan bagi musik Indonesia sudah sangat tipis. Di tengah momok utama bernama pembajakan, ruang gerak para musisi dianggap sudah semakin sempit. Musik Indonesia seperti tidak berdaya mengikuti era yang serba digital sekarang ini.

Tapi benarkah sepenuhnya demikian?

Mari luangkan sedikit waktu untuk lebih jeli melihat kenyataan. Ada beberapa harapan yang perlu terus dipelihara agar musik Indonesia terus hidup dan berkembang. Yang pertama, dan mungkin ini yang paling menggembirakan, adalah produksi musik di Indonesia semakin merata. Musik Indonesia hari ini bukan hanya Pulau Jawa. Daerah lain yang dulu tidak pernah terdengar saat ini mulai menggeliat. Bali semakin memperlihatkan eksistensinya. Sumatra terus mengejutkan lewat (((AUMAN))), Semakbelukar, dan kawan-kawannya. Sulawesi kini tak hanya Makassar, ada Kota Palu yang skenanya sangat menjanjikan. Kalimantan terus berkembang lewat musik Metalnya. Benar-benar gugusan musik yang sangat layak untuk diperjuangkan.

Kabar baik lainnya, tren membeli rilisan fisik kembali bergairah. Bukan hanya dalam bentuk cakram CD, kini rilisan dalam bentuk kaset pita dan piringan hitam atau vinyl kembali dicari. Hal ini berdampak pada banyaknya pilihan bagi para musisi dalam menjual karyanya, tentu saja bukan hanya dalam bentuk digital. Belum lagi tren lahirnya penggemar garis keras yang rela mengeluarkan kocek lebih untuk mengoleksi berbagai macam merchandise idolanya. Jika hal ini dimanfaatkan oleh para musisi tentu akan mendatangkan keuntungan lebih yang sangat lumayan untuk terus menghidupi musik mereka. Seringai mungkin salah satu contoh terbaik dari suksesnya memaksimalkan semua potensi pendapatan yang ada.

Mulai meratanya sebaran musisi dan kembali bergairahnya rilisan fisik turut membawa angin segar bagi festival musik di berbagai daerah. Bak jamur di musim hujan pesta musik tahunan tumbuh beramai-ramai dan terus menyebar ke berbagai macam genre. Di ranah musik keras tak kurang dari Hammersonic, Bandung Berisik, Rock In Celebes, Rock In Solo, dan Kukar Rockin’ Fest terus menghajar telinga para metalhead tanah air. Lalu Jazz diwakili oleh Java Jazz Festival, Makassar Jazz Festival, Jazz Gunung, hingga Ngayogjazz. Belum lagi festival lintas aliran yang juga rutin digelar. Hal ini tentu saja ikut menggerakkan roda perekonomian, bukan hanya bagi musisi itu sendiri tapi juga bagi daerah yang menyelenggarakan festival-festival tersebut.

Lalu bagaimana mengatasi pembajakan? Bukankah permasalahan ini yang menjadi momok terbesar bagi perkembangan musik Indonesia? Memang harus diakui kejahatan kriminal bernama pembajakan menjadi musuh terbesar bagi para musisi Indonesia. Memang kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Namun penegakan hukum dari aparat harus diakui masih sangat lembek. Tapi apakah keadaan seperti  ini  akan terus didiamkan? Tentu saja tidak dong.

Perlawanan balik atas aksi pembajakan yang merugikan seharusnya menemui momentumnya saat ini. Presiden Jokowi yang dikenal sebagai penggemar musik baru-baru ini membentuk Badan Ekonomi Kreatif. Dalam sebuah wawancara, Triawan Munaf yang ditunjuk untuk mengepalai institusi ini mengatakan salah satu prioritas utama Badan Ekonomi Kreatif adalah memberantas tindak pembajakan. Tentu saja ini adalah sebuah kabar segar. Kampanye anti pembajakan yang dilakukan oleh pelaku musik tanah air akhirnya mendapat dukungan nyata dari Pemerintah. Kita tinggal menunggu efektifitas kerja dari Badan Ekonomi Kreatif ini.

Beberapa harapan untuk musik Indonesia diatas mungkin akan percuma bila tidak diiringi oleh niat dan dukungan dari para stake holder. Musisi tentu tak bisa berjuang sendiri. Ia butuh dukungan dari semua pihak, mulai dari pemerintah, pelaku bisnis, pemerhati sampai penikmat musik itu sendiri.

Selamat Hari Musik Nasional. Semoga lekas berjaya. Kami menunggu dirimu untuk rayakan.

Kamis, 01 Januari 2015

Album Lokal Favorit 2014



Mungkin saja 2014 terbuat dari keadaan yang sangat menjengkelkan. Mulai dari proses pemilu yang menguras emosi hampir sepanjang tahun juga waktu yang tak juga berjodoh untuk mempertemukan saya dengan Dosen Pembimbing Skripsi. Masya Allah, malah curhat. Untung saja masih ada musisi kesayangan yang tahun lalu terus menghasilkan lagu-lagu yang enak didengar. Untuk itu, saya pilihkan beberapa yang menjadi favorit saya.

 Kalau sedang lowong silahkan dibaca dan ikut mendengarkan. Tabe’

Tentang Rumahku – Dialog Dini Hari

Dialog Dini Hari adalah cinta pertama saya terhadap musik folk Indonesia. Rasa suka itu semakin bertambah lewat Tentang Rumahku. masih dengan kekuatan yang sama, musik sederhana nan menenangkan dan lirik puitis yang begitu menyenangkan. Yang berbeda adalah album ini terasa lebih berenergi, baik dari beat dan cerita yang diusung. “Gurat Asa” misalnya, selalu memberikan begitu banyak semangat bagi saya. Sangat enak didengarkan di pagi hari menjelang beraktifitas. “Hiduplah Hari Ini” lain lagi. Lagu ini adalah ajakan untuk selalu bersyukur. Dengan segala tantangan hidup yang kita hadapi sudah seharusnya kita selalu berusaha untuk “damaikan diri…”. Lahirkan keajaiban dari tanganmu” pada penutup lagu ini adalah favorit saya. Coba pula dengarkan “Tentang Rumahku” dan “Lagu Cinta” yang dinyanyikan bersama Kartika Tjahja, maka album ini adalah teman yang ampuh untuk menghadapi hari.

Alkisah – Theory Of Discoustic

Sungguh bukan karena band ini berasal dari Makassar hingga saya memasukkannya di daftar ini. Saya mendengarkan mereka pertama kali pada akhir 2010 saat menjadi band pembuka The Trees and The Wild di Unifa. Lama tak terdengar, mereka muncul kembali dengan membawa Dialog di Ujung Suar, mini album yang begitu matang. Belum terlalu bosan dengan Dialog di Ujung Suar, mereka kembali merilis EP Alkisah. Masih dengan interpretasi atas budaya Bugis-Makassar, namun mini album ini terasa lebih serius, baik dari segi musikalitas juga proses penggarapannya. Jika Dialog di Ujung Suar hanya disebarkan via internet, Alkisah dirilis dalam bentuk fisik, walau sangat sederhana.

Lagu favorit saya di album ini adalah “Satu Haluan” dan “Lengkara”.  “Satu Haluan” bercerita tentang para pelaut ulung yang katanya nenek moyang orang Indonesia. Lagu ini jelas adalah bentuk lain dari semboyan kuno pelaut Bugis-Makassar: Le’ba kusoronna biseangku, kucampa’na sombalakku, tammamelokka punna teai labuang (telah ku kembangkan layarku, telah ku pasang kemudiku, lebih baik tenggelam daripada melangkah surut). Sedangkan “Lengkara” adalah penerjemahan atas tradisi Mappalili, ritual kepercayaan yang dilaksanakan setiap awal masuk musim tanam. “Seruan awal hari bernyanyi merasuk pusaka/Sambut awal masa berganti merayu musim kesuburan”, Lirik lagu ini sangat menggambarkan bagaimana semangat masyarakat petani dalam menyambut ritual tersebut.

Tak pernah mudah menulis lirik berbahasa Indonesia. Tapi Theory of Discoustik kembali membuat lagu berlirik Bahasa Indonesia yang menyenangkan. Lewat EP Alkisah ini mereka membuktikan bahwa paduan musik dan lirik yang menarik bukanlah hal yang mustahil. Keduanya tentu harus digarap serius untuk menghasilkan lagu yang baik. Saya sepakat dengan seorang teman, album ini sangat enak didengarkan dalam sebuah perjalanan jauh. Musik dan liriknya akan menyatu dengan pemandangan alam yang kita lewati.

Gajah – Tulus

Karir Tulus begitu mulus sebagai solois pendatang baru di jagat musik Indonesia. Tentu saja bukan sebuah keberuntungan, karena memang Tulus sangat bertalenta di bidang ini. mendapat begitu banyak perhatian di album perdan, Tulus memantapkan posisinya sebagai salah satu solois sekaligus singer-song writer terbaik di negeri ini lewat album Gajah. Dibuka dengan ”Sepatu” yang lansung menjadi hits sejak diputar serentak di radio seluruh Indonesia. Lagu ini memberikan perumpamaan yang begitu pas pada cerita cinta yang tidak bisa bertemu. “Kita adalah sepasang sepatu selalu bersama tak bisa bersatu.” Sadis! Lalu ada “Gajah”, lagu yang terinspirasi dari masa kecil Tulus. Tema cinta yang berbeda hadir dari “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”. Lagu ini semacam bantahan atas gombal murahan “cintai aku apa adanya”. “Jangan cintai aku apa adanya. Jangan/Tuntutlah sesuatu biar kita jalan kedepan.”

Album pertama adalah pembuktian, album kedua adalah ujian atas eksistensi. Tulus melaluinya dengan mulus dalam waktu singkat.

Fateh – Morgue Vanguard x Still

Rapper paling berbahaya di Indonesia kembali! Pasca bubarnya Homicide pada tahun 2007, Herry Sutresna a.k.a Morgue Vanguard begitu dirindukan. Setelah hanya menjadi “tamu” di lagu “Abrasi” milik BRNDLS dan  berkolaborasi dengan EyeFeelSix di lagu “Mimpi Basah Pembangkang Sipil”, Morgue Vanguard akhirnya kembali dalam sebuah album utuh. Bersama Still Ia melontarkan kemuakannya (tentu juga kemuakan banyak orang) lewat sebuah Collabo EP, Fateh.

Secara garis besar album ini bercerita tentang permasalahan akut yang masih terjadi hingga saat ini: konflik agraria dan penindasan oleh aparat. Dibuka dengan “Volume 1, Bagian 8, Bab 32” yang menampilkan beberapa aksi demonstrasi sebagai latarnya. Lalu disusul kemudian oleh “Fateh” dan “Kondor Terjaga” yang melontarkan bait yang begitu panas secara bertubi-tubi. Favorit saya di album ini adalah “Dol Goldur”. Tak seperti biasanya, Morgue Vanguard terdengar lebih birirama di bagian ini.

Fateh adalah sebuah comeback yang cukup menendang. Semoga berlanjut, Bung Ucok.

Sneakerfuzz – Morfem

Tentu menyenangkan mendapati band kesukaan sangat produktif menghasilkan karya-karya berkualitas. Itulah yang terjadi pada Morfem. Tak berjarak begitu jauh dari album Hey, Makan Tuh Gitar!, unit fuzz-rock ibukota ini kembali merilis Sneakerfuzz, sebuah mini album berisi enam lagu. Hal ini terjadi setelah Morfem memenangi sebuah kompetisi yang diadakan oleh Converse. Hadiah dari kompetisi tersebut ya pembiayaan penuh atas pembuatan EP Sneakerfuzz ini.

Kesemua lagu di album ini begitu menyenangkan. Perpaduan musik 90-an kesukaan Pandu fuzztoni dan 70-an andalan Jimi Multazham berpadu menghantam telinga yang mendengarkannya. “Kubikal Rock” adalah pembukaan yang langsung mengajak untuk berjingkrak. Disusul dengan “Planet Berbeda” yang liriknya membuat saya berdecak kagum. Lirik story-telling yang dibangun oleh Jimi adalah kekuatan lagu ini. “Kami dari planet berbeda/Berjumpa di tengah samudra/Aku memilih Bob Dylan/Sedang dia Mumford and Son/Namun kita tak terpisahkaní”.

Favorit lainnya adalah “Tak Punya Rasa Ketakutan” dengan sound yang terpapar punk 70-an. Kemudian ditutup oleh nomor anthemic “Rayakan Pemenang”, sebuah lagu yang didedikasikan untuk para pejuang hidup, siapapun dia saya rasa.

Panjang umur, Morfem.

***


Selamat tahun baru. Semoga musik Indonesia tetap keren tahun ini!