Kamis, 01 Januari 2015

Album Lokal Favorit 2014



Mungkin saja 2014 terbuat dari keadaan yang sangat menjengkelkan. Mulai dari proses pemilu yang menguras emosi hampir sepanjang tahun juga waktu yang tak juga berjodoh untuk mempertemukan saya dengan Dosen Pembimbing Skripsi. Masya Allah, malah curhat. Untung saja masih ada musisi kesayangan yang tahun lalu terus menghasilkan lagu-lagu yang enak didengar. Untuk itu, saya pilihkan beberapa yang menjadi favorit saya.

 Kalau sedang lowong silahkan dibaca dan ikut mendengarkan. Tabe’

Tentang Rumahku – Dialog Dini Hari

Dialog Dini Hari adalah cinta pertama saya terhadap musik folk Indonesia. Rasa suka itu semakin bertambah lewat Tentang Rumahku. masih dengan kekuatan yang sama, musik sederhana nan menenangkan dan lirik puitis yang begitu menyenangkan. Yang berbeda adalah album ini terasa lebih berenergi, baik dari beat dan cerita yang diusung. “Gurat Asa” misalnya, selalu memberikan begitu banyak semangat bagi saya. Sangat enak didengarkan di pagi hari menjelang beraktifitas. “Hiduplah Hari Ini” lain lagi. Lagu ini adalah ajakan untuk selalu bersyukur. Dengan segala tantangan hidup yang kita hadapi sudah seharusnya kita selalu berusaha untuk “damaikan diri…”. Lahirkan keajaiban dari tanganmu” pada penutup lagu ini adalah favorit saya. Coba pula dengarkan “Tentang Rumahku” dan “Lagu Cinta” yang dinyanyikan bersama Kartika Tjahja, maka album ini adalah teman yang ampuh untuk menghadapi hari.

Alkisah – Theory Of Discoustic

Sungguh bukan karena band ini berasal dari Makassar hingga saya memasukkannya di daftar ini. Saya mendengarkan mereka pertama kali pada akhir 2010 saat menjadi band pembuka The Trees and The Wild di Unifa. Lama tak terdengar, mereka muncul kembali dengan membawa Dialog di Ujung Suar, mini album yang begitu matang. Belum terlalu bosan dengan Dialog di Ujung Suar, mereka kembali merilis EP Alkisah. Masih dengan interpretasi atas budaya Bugis-Makassar, namun mini album ini terasa lebih serius, baik dari segi musikalitas juga proses penggarapannya. Jika Dialog di Ujung Suar hanya disebarkan via internet, Alkisah dirilis dalam bentuk fisik, walau sangat sederhana.

Lagu favorit saya di album ini adalah “Satu Haluan” dan “Lengkara”.  “Satu Haluan” bercerita tentang para pelaut ulung yang katanya nenek moyang orang Indonesia. Lagu ini jelas adalah bentuk lain dari semboyan kuno pelaut Bugis-Makassar: Le’ba kusoronna biseangku, kucampa’na sombalakku, tammamelokka punna teai labuang (telah ku kembangkan layarku, telah ku pasang kemudiku, lebih baik tenggelam daripada melangkah surut). Sedangkan “Lengkara” adalah penerjemahan atas tradisi Mappalili, ritual kepercayaan yang dilaksanakan setiap awal masuk musim tanam. “Seruan awal hari bernyanyi merasuk pusaka/Sambut awal masa berganti merayu musim kesuburan”, Lirik lagu ini sangat menggambarkan bagaimana semangat masyarakat petani dalam menyambut ritual tersebut.

Tak pernah mudah menulis lirik berbahasa Indonesia. Tapi Theory of Discoustik kembali membuat lagu berlirik Bahasa Indonesia yang menyenangkan. Lewat EP Alkisah ini mereka membuktikan bahwa paduan musik dan lirik yang menarik bukanlah hal yang mustahil. Keduanya tentu harus digarap serius untuk menghasilkan lagu yang baik. Saya sepakat dengan seorang teman, album ini sangat enak didengarkan dalam sebuah perjalanan jauh. Musik dan liriknya akan menyatu dengan pemandangan alam yang kita lewati.

Gajah – Tulus

Karir Tulus begitu mulus sebagai solois pendatang baru di jagat musik Indonesia. Tentu saja bukan sebuah keberuntungan, karena memang Tulus sangat bertalenta di bidang ini. mendapat begitu banyak perhatian di album perdan, Tulus memantapkan posisinya sebagai salah satu solois sekaligus singer-song writer terbaik di negeri ini lewat album Gajah. Dibuka dengan ”Sepatu” yang lansung menjadi hits sejak diputar serentak di radio seluruh Indonesia. Lagu ini memberikan perumpamaan yang begitu pas pada cerita cinta yang tidak bisa bertemu. “Kita adalah sepasang sepatu selalu bersama tak bisa bersatu.” Sadis! Lalu ada “Gajah”, lagu yang terinspirasi dari masa kecil Tulus. Tema cinta yang berbeda hadir dari “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”. Lagu ini semacam bantahan atas gombal murahan “cintai aku apa adanya”. “Jangan cintai aku apa adanya. Jangan/Tuntutlah sesuatu biar kita jalan kedepan.”

Album pertama adalah pembuktian, album kedua adalah ujian atas eksistensi. Tulus melaluinya dengan mulus dalam waktu singkat.

Fateh – Morgue Vanguard x Still

Rapper paling berbahaya di Indonesia kembali! Pasca bubarnya Homicide pada tahun 2007, Herry Sutresna a.k.a Morgue Vanguard begitu dirindukan. Setelah hanya menjadi “tamu” di lagu “Abrasi” milik BRNDLS dan  berkolaborasi dengan EyeFeelSix di lagu “Mimpi Basah Pembangkang Sipil”, Morgue Vanguard akhirnya kembali dalam sebuah album utuh. Bersama Still Ia melontarkan kemuakannya (tentu juga kemuakan banyak orang) lewat sebuah Collabo EP, Fateh.

Secara garis besar album ini bercerita tentang permasalahan akut yang masih terjadi hingga saat ini: konflik agraria dan penindasan oleh aparat. Dibuka dengan “Volume 1, Bagian 8, Bab 32” yang menampilkan beberapa aksi demonstrasi sebagai latarnya. Lalu disusul kemudian oleh “Fateh” dan “Kondor Terjaga” yang melontarkan bait yang begitu panas secara bertubi-tubi. Favorit saya di album ini adalah “Dol Goldur”. Tak seperti biasanya, Morgue Vanguard terdengar lebih birirama di bagian ini.

Fateh adalah sebuah comeback yang cukup menendang. Semoga berlanjut, Bung Ucok.

Sneakerfuzz – Morfem

Tentu menyenangkan mendapati band kesukaan sangat produktif menghasilkan karya-karya berkualitas. Itulah yang terjadi pada Morfem. Tak berjarak begitu jauh dari album Hey, Makan Tuh Gitar!, unit fuzz-rock ibukota ini kembali merilis Sneakerfuzz, sebuah mini album berisi enam lagu. Hal ini terjadi setelah Morfem memenangi sebuah kompetisi yang diadakan oleh Converse. Hadiah dari kompetisi tersebut ya pembiayaan penuh atas pembuatan EP Sneakerfuzz ini.

Kesemua lagu di album ini begitu menyenangkan. Perpaduan musik 90-an kesukaan Pandu fuzztoni dan 70-an andalan Jimi Multazham berpadu menghantam telinga yang mendengarkannya. “Kubikal Rock” adalah pembukaan yang langsung mengajak untuk berjingkrak. Disusul dengan “Planet Berbeda” yang liriknya membuat saya berdecak kagum. Lirik story-telling yang dibangun oleh Jimi adalah kekuatan lagu ini. “Kami dari planet berbeda/Berjumpa di tengah samudra/Aku memilih Bob Dylan/Sedang dia Mumford and Son/Namun kita tak terpisahkaní”.

Favorit lainnya adalah “Tak Punya Rasa Ketakutan” dengan sound yang terpapar punk 70-an. Kemudian ditutup oleh nomor anthemic “Rayakan Pemenang”, sebuah lagu yang didedikasikan untuk para pejuang hidup, siapapun dia saya rasa.

Panjang umur, Morfem.

***


Selamat tahun baru. Semoga musik Indonesia tetap keren tahun ini!