Minggu, 29 Maret 2015

Festival Anti Korupsi Makassar

Simponi di Festival Anti Korupsi MARS, berkampanye soal anti korupsi dan penghentian kekerasan terhadap perempuan lewat musik mereka

Ford Rotterdam tumpah ruah oleh manusia tadi malam. Festival Anti Korupsi penyebabnya. Festival ini diselenggarakan oleh Masyarakat Anti Korupsi Sulawesi Selatan (MARS). Hadir tokoh-tokoh yang selama ini getol menyuarakan pemberantasan korupsi seperti Qassim Mattar, Alwy Rachman, Dadang Trisasongko juga Ketua KPK non aktif, Abraham Samad. Mereka semua memberikan orasi, menyebarkan semangat anti korupsi kepada peserta festival yang didominasi oleh anak muda. Kampanye Anti Korupsi juga dilakukan oleh para pekerja seni. Teater, pembacaan puisi, pembacaan dongeng untuk anak-anak, juga pertunjukan musik. Penampil yang paling mengundang riuh tentu saja Simponi dan Robi, vokalis band Navicula, yang tampil dalam set akustik.

PANJANG UMUR PERLAWAN!


Minggu, 15 Maret 2015

Merayakan Makanan a la Laksmi Pamuntjak


“Kami tahu bagaimana harus hidup dalam kapsul masing-masing, dan karena kami bukan sepasang kekasih, kami jarang menggunakan keheningan sebagai alasan untuk memulai pertengkaran. Tapi begitu makanan mengejawantah di wajan, menghias piring, mengisi ruang, yang ada hanya percakapan.”

Tidak bisa terbantahkan bahwa budaya kuliner Indonesia sangatlah kaya. Khazanahnya terbentang dari Aceh sampai Papua, dengan ciri khas dan cita rasanya masing-masing. Beberapa diantaranya bahkan telah diakui sebagai makanan terenak di dunia.

Tapi sayangnya belum terlalu banyak yang membahas kekayaan kita yang satu ini. Belakangan memang muncul beberapa program televisi tentang ragam kuliner Indonesia. Tapi keseringannya penonton hanya dibuat terpana pada pembawa acaranya yang berbodi aduhai dan berpenampilan cool dengan tato di sekujur lengan. Ada pula acara jalan-jalan sambil makan-makan yang sayangnya hanya berakhir pada kata “maknyus” yang kemudian menjadi ikonis. Kesemuanya belum terfokus pada si makanan itu sendiri.

Angin segar baru muncul pada tahun 2014 lalu. Upaya mainstreaming makanan sebagai pusat pembahasan suatu topik mulai nampak.  Dimulai dengan film Tabula Rasa yang bercerita tentang kelezatan masakan Padang, Majalah Tempo yang membuat Edisi Khusus Antropologi Kuliner Indonesia, juga sebuah novel dari Laksmi Pamuntjak, Aruna dan Lidahnya. Judul buku yang terakhir yang kemudian akan diulas dalam tulisan ini.

Aruna dan Lidahnya berkisah tentang Aruna, seorang perempuan yang bekerja sebagai Epidemologist (namun ia lebih senang disebut sebagai “ahli wabah”). Ia memilki dua orang sahabat dengan status yang sama dengan dirinya: belum niat menikah di usia yang sudah kepala tiga. Bono sang chef dengan spesialisasi Nouvelle Cuisine serta Nadezhda, penulis perjalanan dan makanan yang namanya sudah sering muncul di majalah dan web ternama. Ketiganya dipersatukan dalam obsesi yang sama: makanan.

Saat Aruna diberi tugas untuk menyelidiki wabah penyakit di beberapa kota di Indonesia, Ia mengajak kedua temannya tersebut untuk sekalian mencicipi kuliner daerah yang dikunjungi. Bono dan Nadezhda yang lebih akrab dengan western food, sangat tertarik lantas mengiyakan ajakan tersebut. Banyak hal yang mereka temui di balik makanan yang mereka santap, mulai dari sejarah lokal, agama dan kepercayaan, sampai resep makanan baru yang benar-benar tidak terduga. Semuanya mengalir dalam balutan kisah yang manis sekaligus mengharukan.

Dibanding dengan novel sebelumnya, Amba, kisah yang dibangun oleh Laksmi Pamuntjak dalam novel ini terasa lebih mudah untuk diselami. Narasi dan dialognya sederhana walau dibumbui dengan istilah-istilah teknis yang perlu dipahami lebih lanjut. Laksmi sangat pandai merancang kisah dan membangun dialog yang begitu mengena kepada pembacanya. Setiap masakan diceritakan secara mendetail hingga kita seperti bisa merasakannya juga. Produksi air liur saya meningkat di beberapa bagian novel ini.

Bagi yang tidak akrab dengan dunia epidemologi seperti saya, novel ini mungkin akan sedikit membosankan di bagian awal. Namun setelah itu cerita mengalir begitu menyenangkan. Bukan hanya kisah percintaan dan pengkhianatan yang disajikan, kita juga disuguhi dengan berbagai pengetahuan yang sangat bernutrisi. Laksmi memperindah novel ini dengan kutipan dari beberapa penulis dunia, mulai dari Brillant-Savarin hingga Micheal Pollan.

Sungguh seperti ajakan untuk merayakan makanan yang lebih dari sekedar makan sampai perut terasa kenyang.

Senin, 09 Maret 2015

Beberapa Harapan di Hari Musik Nasional

Sejak 2013 setiap  tanggal 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Dari berbagai media sosial terlihat topik yang hangat diperbincangkan adalah “masihkah musik nasional punya harapan?”. Pertanyaan seperti ini sudah sangat klise sebenarnya. Ia hadir setiap tahun mengisi ruang-ruang diskusi para pemerhati dan pelaku musik itu sendiri. Bagi sebagian pihak yang sudah mulai putus asa, harapan bagi musik Indonesia sudah sangat tipis. Di tengah momok utama bernama pembajakan, ruang gerak para musisi dianggap sudah semakin sempit. Musik Indonesia seperti tidak berdaya mengikuti era yang serba digital sekarang ini.

Tapi benarkah sepenuhnya demikian?

Mari luangkan sedikit waktu untuk lebih jeli melihat kenyataan. Ada beberapa harapan yang perlu terus dipelihara agar musik Indonesia terus hidup dan berkembang. Yang pertama, dan mungkin ini yang paling menggembirakan, adalah produksi musik di Indonesia semakin merata. Musik Indonesia hari ini bukan hanya Pulau Jawa. Daerah lain yang dulu tidak pernah terdengar saat ini mulai menggeliat. Bali semakin memperlihatkan eksistensinya. Sumatra terus mengejutkan lewat (((AUMAN))), Semakbelukar, dan kawan-kawannya. Sulawesi kini tak hanya Makassar, ada Kota Palu yang skenanya sangat menjanjikan. Kalimantan terus berkembang lewat musik Metalnya. Benar-benar gugusan musik yang sangat layak untuk diperjuangkan.

Kabar baik lainnya, tren membeli rilisan fisik kembali bergairah. Bukan hanya dalam bentuk cakram CD, kini rilisan dalam bentuk kaset pita dan piringan hitam atau vinyl kembali dicari. Hal ini berdampak pada banyaknya pilihan bagi para musisi dalam menjual karyanya, tentu saja bukan hanya dalam bentuk digital. Belum lagi tren lahirnya penggemar garis keras yang rela mengeluarkan kocek lebih untuk mengoleksi berbagai macam merchandise idolanya. Jika hal ini dimanfaatkan oleh para musisi tentu akan mendatangkan keuntungan lebih yang sangat lumayan untuk terus menghidupi musik mereka. Seringai mungkin salah satu contoh terbaik dari suksesnya memaksimalkan semua potensi pendapatan yang ada.

Mulai meratanya sebaran musisi dan kembali bergairahnya rilisan fisik turut membawa angin segar bagi festival musik di berbagai daerah. Bak jamur di musim hujan pesta musik tahunan tumbuh beramai-ramai dan terus menyebar ke berbagai macam genre. Di ranah musik keras tak kurang dari Hammersonic, Bandung Berisik, Rock In Celebes, Rock In Solo, dan Kukar Rockin’ Fest terus menghajar telinga para metalhead tanah air. Lalu Jazz diwakili oleh Java Jazz Festival, Makassar Jazz Festival, Jazz Gunung, hingga Ngayogjazz. Belum lagi festival lintas aliran yang juga rutin digelar. Hal ini tentu saja ikut menggerakkan roda perekonomian, bukan hanya bagi musisi itu sendiri tapi juga bagi daerah yang menyelenggarakan festival-festival tersebut.

Lalu bagaimana mengatasi pembajakan? Bukankah permasalahan ini yang menjadi momok terbesar bagi perkembangan musik Indonesia? Memang harus diakui kejahatan kriminal bernama pembajakan menjadi musuh terbesar bagi para musisi Indonesia. Memang kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Namun penegakan hukum dari aparat harus diakui masih sangat lembek. Tapi apakah keadaan seperti  ini  akan terus didiamkan? Tentu saja tidak dong.

Perlawanan balik atas aksi pembajakan yang merugikan seharusnya menemui momentumnya saat ini. Presiden Jokowi yang dikenal sebagai penggemar musik baru-baru ini membentuk Badan Ekonomi Kreatif. Dalam sebuah wawancara, Triawan Munaf yang ditunjuk untuk mengepalai institusi ini mengatakan salah satu prioritas utama Badan Ekonomi Kreatif adalah memberantas tindak pembajakan. Tentu saja ini adalah sebuah kabar segar. Kampanye anti pembajakan yang dilakukan oleh pelaku musik tanah air akhirnya mendapat dukungan nyata dari Pemerintah. Kita tinggal menunggu efektifitas kerja dari Badan Ekonomi Kreatif ini.

Beberapa harapan untuk musik Indonesia diatas mungkin akan percuma bila tidak diiringi oleh niat dan dukungan dari para stake holder. Musisi tentu tak bisa berjuang sendiri. Ia butuh dukungan dari semua pihak, mulai dari pemerintah, pelaku bisnis, pemerhati sampai penikmat musik itu sendiri.

Selamat Hari Musik Nasional. Semoga lekas berjaya. Kami menunggu dirimu untuk rayakan.