Minggu, 21 Juni 2015

Ramadhan di Pulau Sebatik

Atri, Saya, Cheper, dan Tajrim di posko Kecamatan Sebatik Utara.

Marhaban Yaa Ramadhan. Selamat menjalankan ibadah puasa kepada teman-teman yang melaksanakan.

Mumpung lagi bulan Ramadhan, Saya ingin mengenang masa KKN (Kuliah Kerja Nyata) Saya yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan tiga tahun lalu di Pulau Sebatik. Ya sekalian berbagi pengalaman kepada teman-teman yang sebentar lagi akan menunaikan tugas KKN pada bulan Juni – Juli nanti lah.

Kami tiba di Pulau Sebatik pada bulan Juni, Saya lupa tanggal pastinya, setelah terombang-ambing di atas Kapal Tidar milik Pelni selama dua hari dan sempat singgah semalam di Nunukan. Saya baru tahu akan ditempatkan di Desa Sei Pancang bersama tiga teman lainnya pada saat bermalam di Nunukan. Jadi belum ada gambaran sama sekali dan serba menerka-nerka akan seperti apa daerah penempatan kami itu. Saya bernasib satu posko dengan tiga lelaki tangguh tapi tetap lucu-lucu; Tajrim dari Fakultas Ekonomi, Atri dari Fakultas Teknik, dan Rahmat Cheper (seharusnya “Ceper” tapi ditambah huruf “h” biar jadi keren katanya. Hehehe.) dari Fakultas Pertanian. Untuk angkatan pertama ini, jumlah peserta KKN Unhas di Pulau Sebatik berjumlah (hanya) dua puluh orang. Dua puluh orang ini dibagi dalam lima posko di lima Desa. Jadi masing-masing posko akan dihuni oleh empat orang peserta. Namanya juga angkatan pertama, semua serba meraba soal daerah penempatan masing-masing. Tapi malah itu yang membuat KKN ini menyenangkan karena semua hal yang dilakukan akan memberikan efek kejutan dan membawa pengalaman baru.

Kalau tidak salah ingat, kami mendapati bulan Ramadhan pada pertengahan masa KKN. Hal ini membuat persiapan berpuasa menjadi lebih enak karena kami sudah mengenal medan juga orang-orang di sekitar. Pulau Sebatik yang mayoritas penduduknya adalah pendatang yang  bersuku Bugis juga menjadi hal yang membuat proses adaptasi menjadi lebih mudah. Bahkan kami merasa seperti sedang tingal di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan saja. Selain bahasa yang sudah berakulturasi dengan bahasa Melayu Serawak, hampir semua kebiasaan khas Bugis-Makassar masih akrab disana.

Seperti kebiasaan masyarakat Bugis-Makassar, sehari sebelum memasuki bulan Ramadhan masyarakat Pulau Sebatik juga mengadakan semacam syukuran yang biasa disebut sebagai Baca Doang (membaca doa). Berbagai makanan seperti sokko’ (nasi ketan), ayam kari, ayam goreng juga sup menjadi sajiannya. Kami mendapat beberapa undangan untuk singgah dari beberapa orang yang sudah kami kenal di Kantor Desa atau Kantor Kelurahan. Disini enaknya ber-KKN di desa. Masyarakat masih sangat ramah apalagi terhadap orang-orang pendatang. Kalau cuma ajakan singgah untuk makan hampir setiap hari didapat. Hehehe.

Sehari sebelum Ramadhan juga Tajrim dan Cheper mengajak untuk berbelanja kebutuhan untuk sahur. Saya dan Atri yang pengalaman dapurnya cuma sampai di sajian indomie goreng telur tentu mengiyakan saja. Beras, beberapa lauk-pauk juga sayuran menjadi pilihan. Cheper yang secara meyakinkan mengaku pandai memasak dilipih jadi tukang masak utama. Sialnya, makanan yang  biasa dibuat oleh cheff kami ini adalah masakan dengan cita rasa pedas. Sayur pedas, tempe goreng super pedas, telur dadar juga pedas. Tinggal nasi putihnya saja yang tidak pedas. Kami murka. Atri pun mengutuki Cheper subuh itu. Beruntung, lagi-lagi datang kiriman makanan dari tetangga. Yang paling rajin mengirimi kami makanan adalah Kak Badriah yang biasa dipanggil Kak Bade’. Baik pada saat sahur ataupun berbuka puasa, kami sangat sering dikirimi atau diajak makan di rumahnya yang terletak persis di depan posko kami.

Alternatif tempat sahur kami jika sedang malas memasak adalah Rumah Makan Nelayan yang sangat dekat dengan posko kami. Rumah makan ini ternyata buka sampai pagi. Menu yang disajikan serba seafood dan diolah menjadi berbagai jenis masakan; nasi goreng, mie goreng, sup, sampai tom yam. Harganya juga tidak terlalu mahal untuk ukuran mahasiswa seperti kami. Saya ingat hari terakhir di Desa Sei Pancang sebelum pemulangan kami sepakat untuk sahur di Rumah Makan Nelayan ini. mumpung waktu itu “uang hidup” yang diberikan oleh sponsor masih lumayan, subuh itu kami memesan makanan yang lebih banyak daripada sahur-sahur sebelumnya. ya semacam pesta perpisahan dengan posko lah ceritanya.

Setelah salat subuh biasanya Saya dan Tajrim tidak langsung kembali ke posko. Seperti kebiasaan sebelum masuk bulan Ramadhan, kami selalu menyempatkan ke Dermaga Sei Pancang. Kalau sedang cerah matahari terbit di dermaga ini sangat sayang untuk dilewatkan. Sebelum pukul enam pagi di ujung jembatan akan muncul sebulat kuning besar seperti ingin menghampiri kita. Pantulan cahayanya di laut membentuk segaris emas. Waktu pertama kali melihat sunrise di spot tersebut saya langsung takjub dan datang hampir setiap pagi disana. Momen ini bahkan lebih menarik daripada pemandangan Gunung Kinabalu di Tawau seberang.

Matahari terbit di Dermaga Sei Pancang, Pulau Sebatik.

Ketika matahari mulai merangkak naik, momen menarik lainnya juga penting. Sekitar pukul delapan pagi dermaga mulai ramai oleh tukang ojek yang mengantar orang-orang yang akan menyeberang ke Tawau Malaysia. Kebanyakan dari mereka pergi ke sana untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual kembali di Sebatik. Di dermaga ini pula saya berkenalan dengan beberapa orang yang kemudian menjadi informan kami dalam menyusun program kerja KKN. Bahkan beberapa dari mereka sudah menjadi teman akrab yang sesekali masih saya telepon untuk sekedar menanyakan kabar.

Kegiatan pada siang hari sudah kami alokasikan untuk menjalankan program kerja KKN atau membantu beberapa pekerjaan di Kantor Desa atau di Kantor Kecamatan Sebatik Utara. Kami sempat membantu orang-orang kecamatan untuk mempersiapkan Pasar Ramadhan. Selain akan digunakan sebagai tempat berjualan hidangan berbuka puasa, tempat ini juga rencananya akan dipakai sebagai tempat dilaksanakannya beberapa lomba Ramadhan. Sayang kami keburu pulang sebelum tempat tersebut benar-benar digunakan untuk kegiatan yang sudah disusun tersebut.

Masa menjelang berbuka puasa di Desa Sei Pancang adalah saat paling menyenangkan bagi saya. Apalagi kalau bukan karena hadirnya berbagai macam takjil dan hidangan berbuka puasa yang digelar di Pasar Sei Pancang. Di luar Ramadhan, pasar ini hanya buka pada pada hari Senin, Kamis dan Malam Minggu. Tapi selama Ramadhan pasar ini selalu ramai setiap harinya.

Penganan favorit saya adalah Roti Canai Pakcik. Secara penampilan, canai ini biasa saja sebenarnya. Hanya sebongkah roti tipis dengan siraman kari sapi. Sesimpel itu. Tapi soal rasa canai ini juara menurut saya. rotinya empuk dan lembut saat dikoyak. Gurihnya tipis. Ditambah kuah kari sapi, yang walaupun kaya akan bumbu tapi sangat pas di lidah. Canai yang baik bagi saya adalah perpaduan antara roti dan kuah kari yang rasanya sama-sama nyaman di lidah. Dan bagi saya Roti Canai Pakcik ini masih yang terbaik bagi saya. bonusnya adalah kita dapat melihat langsung atraksi si Pakcik saat membuat roti canainya. Bagaimana adonan roti mulai ditakar lalu dilempengkan kemudian digepengkan adalah hiburan tersendiri saat menanti pesanan kita. Harganya pun sangat murah. Sebuah roti canai dengan kuahnya dapat dibawa pulang dengan Rp. 3.000,- atau satu Ringgit saja.

Roti Canai Pakcik dari Pasar Sei Pancang

Akhir Juli waktu pemulangan kami tiba. Di spanduk posko kami sempat menuliskan kalimat penolakan "Jangan Pulangkan Kami!". Walau terkesan klise di akhir tiap cerita KKN, namun memang ada rasa berat untuk meninggalkan Pulau di ujung utara Indonesia ini. Betul kata orang, "KKN itu momen menyenangkan tapi tidak untuk diulang". Tapi kalau ada kesempatan untuk kesana lagi pasti kami sulit untuk menolaknya. Saya pribadi berjanji untuk kembali berkunjung kesana untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang sudah sangat baik kepada kami selama KKN.

Terimakasih Sebatik. Selamat Berpuasa.