Sabtu, 26 September 2015

Humor yang Tidak Lucu di Kampus Merah


Sulit menjelaskan selera humor pejabat Fakultas Teknik Unhas akhir-akhir ini. Pada acara penyambutan mahasiswa baru lalu, sebuah spanduk berukuran besar terpajang di gedung Fakultas Teknik. Bukannya ucapan selamat datang, tapi adik-adik maba disambut dengan hasil scan pemberitaan sebuah harian lokal yang bertuliskan “Ngospek, 88 Mahasiwa Teknik Unhas Diskorsing.” Apa maksud dari spanduk tersebut? Saya mencoba sekuat tenaga untuk tidak berburuk sangka dalam menilai. Tapi tetap saja pemikiran yang muncul selalu itu-itu juga, spanduk ini bertujuan untuk mengancam! Tidak mungkin spanduk ini hanya pemberitahuan biasa.

Saya merasa lucu sekaligus terheran-heran saat mengetahui hal ini. Saya kira teknik propaganda seperti ini sudah menghilang sejak rezim orde baru runtuh. Ternyata cara Suharto untuk menakut-nakuti lawannya masih hidup lestari, bahkan masuk sampai ke kampus, kantong utama pendorong reformasi. Saya berpikir, tidak adakah cara lain yang lebih indah selain cara kekanak-kanakan tersebut. Bukannya lebih baik duduk bersama, ngopi atau ngeteh, lantas membicarakan titik temu. Saya kira teman-teman mahasiswa lama cuma ingin mengakrabkan diri dengan adik-adik angkatan mereka. Dapat gebetan dari situ, itu bonus lah. Terlepas dari caranya yang dianggap masih kurang pas, itu yang perlu dipikirkan bersama.

Tapi pihak Dekanat Teknik memilih berpikiran pendek: mengancam!

Tidak berapa lama kemudian, di media sosial muncul sebuah foto yang menujukkan sebuah pemberitahuan yang tidak kalah lucu-tapi-membuat-heran, kalau tidak boleh disebut absurd. Masih dari Fakultas Teknik namun kali ini tidak sebesar spanduk sebelumnya. Pengumuman tersebut hanya seukuran kertas A4, tapi dengan tujuan yang sama. Isinya, larangan masuk perpustakaan bagi mahasiswa yang berambut panjang alias gondrong. Lalu di bagian bawah tulisan tersebut ada himbaun tambahan: “KECUALI ADA IZIN DARI PIMPINAN FAKULTAS.” Alamak, orde baru nyata masih hidup di Fakultas Teknik Unhas. Tentu saya tidak perlu menjelaskan bagaimana Suharto begitu membenci manusia yang gondrong pada eranya.

Sebesar apa sih salahnya mahasiswa gondrong sampai mereka dilarang masuk perpustakaan? Apakah mereka pernah membuat kekacauang di dalamnya? Ataukah penampilan mereka mengusik konsentrasi pengunjung lain yang sedang asyik membaca? Sepertinya saya belum pernah mendengar berita semacam itu. Lantas apa? Mahasiswa gondrong itu bermoral buruk? Wah gawat sekali kalau sampai si penempel pemberitahuan tersebut sampai berpikiran seperti itu. Dimana korelasi antara rambut gondrong dan moral yang tidak baik. Munkin ada pelaku kriminal yang kebetulan berambut gondrong. Tapi kan tidak semua. Kalau mau sesat pikir ini dilanjutkan boleh dong si gondrong bilang, “pejabat koruptor yang hari ini jadi pesakitan semua rambutnya pendek dan rapi, bro.” Nah bagaimana kalau begitu?

Kalau mau mencari murid yang rambutnya seragam pendek semua, saya sarankan, mending bapak/ibu ngajar di Wirabuana saja lah.

Kita semua tentu tahu bagaimana manusia gondrong distigma begitu liar di masyarakat sejak dulu. Tapi yang saya sayangkan adalah stigma itu ikut tumbuh subur di ruang-ruang akademis. Seharusnya kampus menjadi tempat yang bebas bagi bersemainya ilmu pengetahuan. Kampus haruslah menjadi jalan raya tempat ide dan pemikiran-pemikiran berlalu lalang. Bukannya menjadi ruang ketakutan akibat ulah penguasa bermental kerdil yang kerjanya hanya mengamcam!


Mungkin Bapak/Ibu di Dekanat Teknik Unhas perlu diingatkan. Nama kampus kita ini diambil dari seorang pahlawan terbesar di Sulawesi Selatan, Sultan Hasanuddin. Iya Sultan Hasanuddin yang gagah perkasa namun arif bijaksana itu. Dan yang paling perlu diingat, Sultan Hasanuddin itu gondrong!

Jumat, 25 September 2015

Mengerti untuk Melawan: Upaya Masyarakat Kepulauan Tanakeke Mencegah Korupsi


Banyak kasus tindak pidana korupsi yang terjadi karena ketidaktahuan, baik ketidaktahuan masyarakat tentang proses penganggaran yang dilakukan oleh pemerintah, juga ketidaktahuan aparat dalam menggunakan anggaran negara. Lemahnya kapasitas pengetahuan kedua unsur ini kemungkinan disebabkan oleh rasa apatisme yang lahir dari buruknya sistem yang selama ini berjalan. Hal tersebutlah yang selama lima tahun belakangan ini ingin diubah oleh masyarakat dan aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Pulau Tanakeke terdiri dari lima desa dengan sumber daya alam yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pulau ini juga dikenal sebagai penopang keseimbangan lingkungan pesisir Sulawesi Selatan karena memiliki kawasan bakau (mangrove) yang sangat luas. Sampai tahun 1980-an luas hutan bakau di Pulau Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian hutan bakau menjadi lahan tambak atau empang secara besar-besaran. Luasan hutan bakau Kepulauan Tanakeke berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar saja saat ini. Setelah sekitar 30 tahun berlalu, tambak-tambak yang tadinya berjaya kini menjadi lahan-lahan mati karena perubahan ekosistem dan terdegradasinya kualitas lahan. Keuntungan hanya dirasakan segelintir orang saja. Kebanyakan masyarakat Kepulauan Tanakeke masih hidup dalam kerentanan ekonomi, bahkan semakin sulit karena lingkungan mulai terganganggu. Ketidaktahuan menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan!

Belajar dari kejadian masa lalu tersebut, masyarakat juga aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke kini berbenah. Sejak tahun 2010, dengan didampingi oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Oxfam Indonesia Tmur, mereka mulai membangun kembali tata kelola kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik. “Baik” dalam artian pengelolaan desa yang partisipatif, responsif gender dan pro pada masyarakat yang rentan secara ekonomi.

Pengelolaan desa yang partisipatif penting diwujudkan agar pembangunan desa tidak dimonopoli oleh segelintir orang saja. Semua harus terlibat agar proses sumbang saran bisa berjalan efektif dan nantinya manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Penyadaran itulah yang mula-mula diberikan kepada masyarakat serta aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke. Aparat pemerintah desa dilatih tentang manajemen pengelolaan desa yang baik, masyarakat didorong untuk lebih aktif terlibat dalam pengawasan. Dalam tiga tahun belakangan ini hal tersebut sudah bisa berjalan, walaupun masih perlu terus ditingkatkan.

Kini Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) di lima desa di Kepulauan Tanakeke tidak sepi lagi seperti dulu. Masyarakat diizinkan, bahkan diundang untuk datang memberikan masukan dalam pengelolaan dana desa. Apalagi saat ini desa mengelola dana yang cukup besar setelah Undang-Undang Desa mulai berlaku. Masyarakat dan aparat pemerintah desa harus menyadari bahwa pengelolaan dan pengawasan penggunaan dana desa haruslah berjalan dengan baik. Jika tidak begitu, manfaat tidak akan didapatkan dan bisa saja akan terjadi penyalahgunaan anggaran.

Selain itu perspektif pembangunan desa yang lebih peka gender juga sudah mulai terlihat. Misalnya pembangunan beberapa fasilitas umum diharuskan memenuhi kebutuhan yang setara antara perempuan dan laki-laki. Dorongan untuk menyekolahkan anak minimal hingga SMA terus dilakukan di semua desa. Bahkan di Desa Maccini Baji dan Desa Tompo Tana, aparat pemerintah desa melarang perkawinan di bawah umur untuk menghindarkan anak-anak pada dampak buruk di usia dini.

Alokasi Dana Desa yang cukup besar tidak hanya diperuntukan untuk pembangunan fisik saja, tetapi juga untuk pembangunan kapasitas masyarakat. Masyarakat yang rentan secara ekonomi diberikan pelatihan berwirausaha dengan jalan memanfaatkan potensi lokal Kepulauan Tanakeke. Hal ini dilakukan untuk melepaskan masyarakat dari praktek Punggawa-Sawi (semacam praktek rentenir yang berlaku di wilayah pesisir Sulawesi Selatan) yang sangat memberatkan masyarakat. Kesemua hal tersebut dilakukan semata untuk mendistribusikan manfaat pembangunan yang lebih adil.


Secara perlahan kini masyarakat Kepulauan Tanakeke terus membangun kapasitas pengetahuan tentang pengelolaan desa mereka. Karena pengetahuan adalah gerbang menuju kesejahteraan dan portal penghalang bagi terjadinya penyalahgunaan dan tindak pidana korupsi.