Minggu, 19 November 2017

Menanam Sagu di Kepala

Foto oleh Regista

Malam baru saja dimulai di Kampung Yepem. Di rumah Mama Katarina dan Mama Fransina, kami sedang menunggu matangnya sagu bola dan ikan duri yang sedang dibakar di tungku api. Penganan sederhana yang dimasak dengan cara sangat sederhana tersebut menjadi pengisi perut kami malam itu.

“Ambas akat ooo, sagu enak.”

Jawaban Mama Katarina sesingkat itu saat saya tanya tentang makan malam kami yang baru saja meluncur ke lambung. Kami semua tertawa. Walaupun saya tahu persis alasannya lebih dari itu. Bagi masyarakat suku Asmat, sagu bukanlah sekedar makanan. Ia sudah menjadi bagian dari laku kebudayaan yang mengakar sejak masa leluhur.

Dalam banyak cerita leluhur atau mitologi orang Asmat, sagu sering disebut sebagai bagian dari sejarah pertumbuhan suku di pesisir selatan Papua ini. Misalnya saja Beworpit, leluhur yang paling sering disebut dalam cerita adat. Berworpit dikisahkan adalah penemu tanaman sagu di dalam rimba Asmat. Ia pula yang mengorbankan dirinya dengan berubah wujud menjadi pohon sagu agar tanaman rawa tersebut bisa terus ada bagi generasi penerusnya. Heroisme Beworpit itu terus hidup sebagai leluhur penyedia kehidupan bagi orang Asmat.

Dalam cerita lain, sagu merupakan makanan utama bagi kepala perang beserta prajuritnya pada masa pengayauan. Mereka percaya dengan memakan sagu badan bisa menjadi lebih kuat. Tenaga bertempur bisa tahan lama. “Kalau makan (makanan) yang lain, misalnya ikan sembilang, pisang doaka (pisang gepok), itu badan bisa jadi lemas. Tidak kuat ikut perang,” kata Felix Owom, Ketua Adat Asmat di Kampung Suwruw.

Dalam tatanan sosial, sagu sudah dianggap sebagai harta benda utama bagi masyarakat Asmat. Pada ritual pernikahan Asmat, sagu menjadi seserahan wajib bersama kapak batu. Kedua benda itu menjadi simbol perbekalan bagi sepasang mempelai yang baru akan mengarungi rumah tangga. Selain itu, ulat sagu menjadi penganan wajib dalam banyak ritual adat Asmat. Biasanya bakal kumbang sagu ini akan disantap bersama pada puncak helatan pesta.

Potensi sagu versus ambisi buta ketahanan pangan

Asmat bersama daerah di dataran rendah di Papua memang dikenal sebagai lumbung sagu sejak dahulu. Menurut penelitian Nadirman Haska, seorang profesor riset di bidang bioteknologi dan agroteknologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Papua tercatat memiliki 1,2 juta hetare lahan yang ditumbuhi pohon sagu. 95 persen diantaranya tumbuh alami di hutan dataran rendah dan belum dimanfaatkan.

“Papua berpotensi menghasilkan delapan juta ton sagu per tahun dari pohon yang tumbuh alami dan belum dimanfaatkan tersebut. Tapi karena kita tidak memanfaatkannya, potensi pangan tersebut hilang begitu saja,” Kata Nadirman.

Masih menurut Nadirman, sebagai sumber pangan potensial, sagu memiliki keunggulann tersendiri. Sagu dalam wujud tepung bisa diolah menjadi berbagai produk makanan. Karbohidrat yang terkandung di dalam sagu juga cukup tinggi dan mudah dicerna. “Sagu itu tidak memerlukan lahan yang luas dan mampu tumbuh tanpa perawatan intensif. Kalau mau serius, sagu bisa menjadi pendukung upaya Indonesia mewujudkan swasembada pangan,” jelasnya.

Sayangnya segala potensi itu masih kabur dari penglihatan pemerintah Indonesia. Program swasembada pangan yang dimulai sejak masa orde baru hanya mengandalkan beras semata. Pangan lokal yang tersebar di berbagai daerah dan menjadi bagian identitas keberagaman nusantara dilupakan begitu saja. Awalnya program ini terlihat gilang-gemilang mengantarkan Indonesia menyandang predikat sebagai salah satu negara yang mampu mencukupi pangan dalam negeri. Tapi tanpa upaya diversifikasi jenis pangan, swasembada pangan (lebih tepatnya swasembada beras) hanyalah program yang rapuh. Akibat korupsi besar-besaran, ia ikut runtuh bersamaan dengan berakhirnya orde baru.

Pemerintah penerus kemudian seolah gugup dan gagap dalam menyikapi masalah pangan ini. Mereka seperti tidak bisa berpikir banyak saat melihat masyarakat yang telah mengalami ketergantungan beras. Demi meneruskan program ketahanan pangan, ribuan lahan diubah menjadi sawah. Di Papua hutan dibuka untuk ditanami padi. Masyarakat pemburu peramu didorong (atau dipaksa) menjadi petani. Ya, tentu saja salah sasaran. Mana bisa orang-orang yang terbiasa hidup dengan memanfaatkan hutan seketika disuruh berbudi daya.

Tetangga Asmat yaitu Kabupaten Merauke kini sedang merasakan kegagapan pemerintah itu. Lewat proyek nasional bernama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), ratusan ribu hektare hutan masyarakat adat dibabat. Wilayah kelola masyarakat Marind yang biasa menjadi tempat mereka mengumpulkan sagu, buah-buahan, sampai daging disulap menjadi lahan persawahan raksasa. Tidak sampai di situ, oleh Presiden Jokowi, MIFEE diproyeksikan akan memanfaatkan lahan seluas 4,6 juta hektare. Bisa dibayangkan, betapa gilanya proyek ini.

Cilakanya, kebijakan buka-membuka sawah ini nyatanya salah kaprah. Masyarakat Papua yang butuh dikembangkan pangan lokalnya malah dihancurkan hutannya. Sementara itu sawah-sawah yang subur di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah malah ingin dirusak sumber airnya. Petani-petani di banyak tempat dikriminalisasi. Lain lagi di Sumatera. Ada petani yang mempertahankan sawahnya dari jerat pembangunan malah ditangkap atas tuduhan menyebarkan paham komunisme. Kurang gila apa lagi pemikiran pengembang ketahanan pangan kita ini.

Sementara itu, di berbagai tempat, termasuk juga di Asmat, alam bawah sadar masyarakat terus dipengaruhi oleh kebijakan beras-isasi. Masyarakat yang dikategorikan tidak mampu disuplai beras miskin alis raskin oleh negara. Beras dengan kualitas rendah ini tidak pernah cukup menghidupi masyarakat dalam sebulan. Mereka harus tetap berusaha mencari tambahan makanan untuk menyambung hidup.

Menanam harapan pada yang lokal

Sudah saatnya pemerintah membuka mata untuk mulai memaksimalkan potensi pangan lokal kita, terutama sagu. Sudah terlalu lama potensi kita ini disia-siakan. Mimpi ketahanan pangan sangat riskan bila hanya dibebankan pada beras semata. Bukankah keragaman kita juga bersumber dari beranekanya pangan lokal kita?

Cobalah turun ke masyarakat untuk melihat (sekaligus belajar) betapa kearifan lokal yang selama ini diterapkan berhasil membuat masyarakat adat hidup selaras dengan alam. Saya rasa pemerintah lewat konsultan-konsultannya yang pandai-pandai itu harus melepaskan sedikit ego mereka. Nilai-nilai dalam kearifan lokal masyarakat adat perlu dihormati bahkan dirangkul dalam proses modernisasi sistem produksi pangan. Perpaduan antara yang modern dan yang lokal saya kira akan memberikan hasil maksimal sekaligus meningkatkan kepercayaan diri masyarakat tradisional.

Saya pernah beberapa kali mengikuti masyarakat Asmat memangkur sagu di dalam hutan keluarga mereka. Pekerjaan yang dijalankan dengan sangat tradisional ini menampilkan kekayaan tradisi yang erat dengan penghormatan pada alam. Tidak sembarangan pohon sagu yang boleh ditebang. Pada beberapa lokasi hutan, suku Asmat menerapkan metode konservasi tradisional bernama dusun keramat. Penetapan dusun keramat dilakukan untuk melindungi hutan yang menjadi bagian dari sejarah leluhur mereka. Tidak boleh ada yang merusak ekosistem di tempat keramat. Bagi yang berani melanggar, sanksinya tidak main-main: kematian.

“pelanggaran itu termasuk teser (jenis pamali paling berat dalam sistem hukum adat Asmat),” kata Walter Ewenmanam, salah satu Tetua Adat Asmat di Kampung Yepem.

Wilayah hutan yang bukan termasuk tempat keramat adalah tempat masyarakat Asmat mencari makan, mulai dari memangkur sagu sampai berburu binatang. Namun hanya hutan keluarga, atau yang biasa disebut dusun, yang boleh mereka garap. Selain itu mereka sangat memperhatikan keadaan dusun. Saat kondisi dusun dianggap mulai gundul, mereka akan menerapkan ritual pisis. Lokasi yang diberi pisis tidak boleh digarap dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada dusun yang gundul tadi untuk tumbuh kembali secara alami. Hal ini mirip dengan tradisi sasi di daerah Maluku.

Namun di balik kekayaan pengetahuan tradisional masyarakat Asmat dalam memanfaatkan hutan, teknik tradisional dalam memangkur sagu yang mereka terapkan sangatlah terasa berat. Mereka bisa menghabiskan tenaga sepanjang hari untuk menebang pohon sagu, menguliti, memangkur, sampai menyaring pati menjadi tepung sagu. Lagi pula dengan cara tersebut hasil yang didapatkan tidak terlalu maksimal. Dalam sehari dua orang hanya mampu menggarap satu buah pohon sagu. Hasil tepung sagu yang bisa dihasilkan dari satu pohon itu sekitar dua sampai tiga noken (seukuran karung beras 25 kilogram).

Di sinilah intervensi pemerintah lewat penerapan teknologi dibutuhkan. Sudah seharusnya sentra-sentra pengelolaan dibangun di lokasi yang memiliki potensi sagu yang besar. Bersamaan dengan itu pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan mereka dalam proses produksi juga harus berjalan. Dengan begitu kepercayaan diri masyarakat turut terbangun karena melihat potensi dan pengetahuan mereka ikut dilibatkan.

Pemerintah kita sudah harus mulai berpikir ulang tentang konsep “menanam” yang selama ini terus mereka paksakan dalam program ketahanan pangan. Jangan hanya membuka lahan raksasa tapi mengabaikan tata hidup yang selama ini masyarakat bangun. Kepala masyarakat perlu ditanamkan imajinasi tentang kesejahteraan lewat potensi mereka sendiri. Sumber daya alam kita sudah sangat melimpah. Hari ini waktunya menanam harapan, demi menuai kebaikan di masa depan.


*Tulisan ini terinspirasi oleh lagu Menanam milik band folk Makassar, Kapal UdaraSebelumnya dimuat di sini.


Sabtu, 11 November 2017

Menyimak Kisah di Balik Ukiran


Pada sebuah siang yang cerah di rimba Asmat tersaji tiga fragmen cerita. Pada sisi kiri terlihat dua orang yang sedang membuat ci, perahu tradisional Suku Asmat. Ci tersebut berbahan satu buah pohon utuh berjenis ketapang yang baru saja mereka tebang dengan kapak batu. Pada bagian lain, terlihat seorang pria yang sedang mendayung ci mengarungi kali untuk menuju dusun. Dusun atau lokasi hutan keluarga adalah tempat mencari makan bagi masyarakat Asmat. Di sana mereka biasa memangkur sagu, berburu sampai menjerat binatang liar. Sedangkan pada bagian ujung kanan, sepasang suami istri sedang membawa pulang hasil buruan berupa babi hutan untuk dimasukkan ke dalam bivak. Masyarakat Asmat terbiasa membangun bivak atau rumah sementara di dalam hutan pada saat pergi mengumpulkan bahan makanan dalam waktu yang lama. Rumah sangat sederhana itu bisa mereka tempati selama berhari-hari bahkan sampai berbulan.

Ketiga fragmen cerita di atas terukir apik di atas sebuah papan kayu. Pengukirnya adalah Antonius Pompin dari Kampung Amanamkai, Distrik Atsj, Kabupaten Asmat, Papua. Ukiran berbahan kayu besi tersebut dipajang di Lapangan Yos Sudarso Kota Agats saat dihelatnya Pesta Budaya Asmat ke-32 tahun ini. Dengan cekatan pria yang berasal dari rumpun Betcbamu ini menceritakan kisah di balik ukirannya kepada setiap pengunjung yang datang menghampiri.

“tiga cerita di ukiran ini menggambarkan kegiatan utama orang Asmat di dalam dusun. Saya bikin dia berurutan. Mulai dari membuat perahu, lalu dipakai pergi mencari makan di dusun, sampai bawa pulang hasil ke dalam bivak. Orang Asmat begitu sudah. Kami masih lakukan itu sampai sekarang,” kata Antonius.

Antonius dan ratusan woyipits (sebutan untuk pengukir Asmat) lainnya sedang berkumpul di Kota Agats untuk memeriahkan Pesta Budaya Asmat yang tahun ini diselenggarakan pada 19 hingga 24 Oktober. Tidak hanya menampilkan keindahan estetis, ukiran-ukiran yang ditampilkan para pengukir di festival tahunan ini juga memiliki misi lain. Ada pesan-pesan tertentu atau tata hidup tradisional orang Asmat yang ingin terus diperkenalkan kepada masyarakat luas juga para generasi penerus.

Pada sudut lain arena Pesta Budaya Asmat, saya menemui Yeremias Onampits yang berasal dari Kampung Yepem, Distrik Agats. Tahun ini karya Yeremias berhasil masuk dalam daftar 200 ukiran yang akan dilelang. Status tersebut didapatkan setelah melalui proses kurasi oleh tim kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat di tingkat kampung dan distrik.

Ukiran Asmat milik Yeremias bergaya naturalis. Menggambarkan suasana di dalam sebuah rumah tradisional Asmat. Dengan beralas tapin (tikar yang terbuat dari daun pandan), bapak, mama, dan seorang anak sedang menyiapkan makan malam berupa ulat sagu yang dibakar di atas tungku api. Terlihat pula anjing peliharaan mereka yang sabar menunggu diberi makan.

Yeremian Onampits bersama ukiran ceritanya

“Di kampung saya sudah banyak yang lupa cara membangun rumah asli seperti di ukiran ini. Padahal itu tradisi yang diwariskan leluhur. Mereka tahunya menunggu dibangunkan rumah oleh pemerintah. Rumah bantuan itu sebenarnya tidak cocok dengan kami. Kalau siang rasanya panas sekali. Saya tidak betah tinggal di rumah seperti itu,” jelas lelaki paruh baya itu.

Pergeseran bentuk hunian masyarakat adat yang dijelaskan Yeremias memang sedang terjadi di berbagai kampung di Asmat. Fenomena tersebut terutama berlaku pada kampung-kampung yang dekat dengan pusat kabupaten. Pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah, khususnya program bantuan pembangunan rumah, kurang memperhatikan kebutuhan dan nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat. Bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri tidak terlalu bermasalah. Namun bagi yang lain, hal ini membuat mereka tidak betah. Dan yang lebih parah lagi, kemadirian mereka dalam membangun rumah tradisional yang semua bahannya didapat dari hutan menjadi tergerus.

Cerita lain yang terselip dari ukiran Yeremias adalah tentang berubahnya pola konsumsi masyarakat Asmat. Sagu sebagai makanan pokok turun-temurun kini mulai terganti oleh beras yang banyak dibawa oleh pendatang. Ketergantungan dan hilangnya kemandirian sekali lagi terjadi pada cerita ini. Yeremias yang tidak ingin melihat kampungnya terlalu jauh melupakan kebiasaan leluhur kemudian menyampaikan pesan lewat ukiran. “lihat itu (menunjuk ukiran) apa yang mereka makan? Sagu, ulat sagu. Itu sudah makanan kami orang Asmat. Sagu ini harta. Sagu memberi kami kehidupan sejak masih kecil,” lanjutnya.

Misi ganda sebagai benda seni yang bernilai estetis tinggi maupun media penyampai pesan kearifan leluhur membuat ukiran Asmat mendunia. Banyak kolektor seni maupun museum di Amerika dan Eropa menjadikan patung Asmat sebagai koleksi. Seorang pengumpul ukiran di Agats yang akrab disapa Om Bahar mengungkapkan keunggulan ukiran Asmat jika dibandingkan dengan ukiran dari daerah lain, misalnya Bali atau Jepara. Menurutnya ukiran Asmat banyak diburu oleh orang luar negeri karena adanya cerita di balik setiap ukiran. “ukiran Bali sama Jepara itu memang lebih halus, tapi ukiran Asmat punya unsur sakral. Ada cerita-cerita tentang leluhur pada setiap patung yang mereka (para pengukir Asmat) bikin.”

Hal ini dijelaskan pula oleh pemrakarsa Pesta Budaya Asmat, Mgr. Alphonse Sowada lewat buku “Asmat: Mencerap Kehidupan dalam Seni.” Menurut Uskup pertama Keuskupan Agats itu, ukiran Asmat tidak hanya indah dipandang mata, tapi juga memberikan gambaran tentang kejadian masa lalu. “Melalui media kayu, seniman Asmat membuat dunia roh dan kekuatan-kekuatan magisnya yang bekerja serasi menjadi kasat indra.”

Namun di balik semua cerita akan keindahan ukiran Asmat tersebut, pelestarian benda budaya ini sempat mendapat tantangan pada tahun 1960-an hingga 1970-an. Saat itu pemerintah setempat melarang segala kegiatan budaya Asmat termasuk mengukir. Rumah adat jew yang menjadi pusat kegiatan masyarakat adat dibakar habis. Proses pemusnahan dijalankan saat itu karena pemerintah menganggap aktivitas kebudayaan Orang Asmat berkaitan dengan pengayauan dan kebiasaan perang antar kampung.

Situasi ini efektif untuk membuat para woyipits menghentikan aktivitas mengukirnya. Kampung-kampung jadi sepi dari kegiatan adat dan budaya. Pihak Keuskupan Agats lewat Uskup Mgr. Alphonse Sowada kemudian menginisiasi kegiatan lomba mengukir bagi masyarakat Asmat. Upaya tersebut berhasil meyakinkan pemerintah untuk mencabut larangannya. Menurut sebuah keterangan yang tertulis di Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, “Mgr. Alphonse Sowada, Uskup pertama Keuskupan Agats, meyakinkan pemerintah bahwa perang antar kampung dan perburuan kepala (pengayauan) bisa dihentikan tanpa harus melarang kegiatan budaya.”

Inisiasi lomba mengukir tersebut kemudian menjadi cikal bakal dari Pesta Budaya Asmat yang diselenggaran setiap tahun sampai saat ini. Kegiatan ini merupakan upaya bersama Keuskupan Agats dan Pemerintah Kabupaten Asmat, bersama seluruh masyarakat Asmat untuk melestarikan budaya.

Tahun ini Pesta Budaya Asmat mengusung tema “Jangan Padamkan Api Wayir Demi Jati Diri Asmat.” Wayir adalah tungku api utama di dalam rumah adat jew yang menjadi pusat kegiatan sosial dan religi masyarakat adat Asmat. Wayir yang terus menyala adalah lambang semangat orang Asmat untuk terus melestarikan tradisinya.

Pesta Budaya Asmat 2017
Tahun ini Pesta Budaya Asmat terasa lebih meriah dengan dihadirkannya atraksi budaya yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Selain pameran ukiran dari seluruh distrik dan demo mengukir, dihadirkan pula beberapa peragaan pesta atau ritual adat Asmat. Pada hari pembukaan (20/10) dilaksanakan eksebisi tungku api wayir sebagai pertanda dimulainya festival. Tungku api tersebut dibiarkan terus menyala sampai hari terakhir Pesta Budaya Asmat.

Pada hari berikutnya eksebisi ritual perahu ci dan manuver perahu (ci mbi) di Kali Aswet menjadi sajian yang paling menyedot perhatian pengunjung. Atraksi budaya ini diawali dengan ritual berupa nyanyian adat dan pukulan tifa sebagai simbolisasi penyemangat prajurit sebelum menuju arena perang. Perahu-perahu kemudian diarak menuju kali. Di atas masing-masing perahu terlihat seorang kepala perang yang meniupkan fu (alat musik tiup tradisional yang terbuat dari bambu) untuk memberikan aba-aba kepada prajuritnya. Sampai di kali, sekitar 20 perahu bermanuver di Kali Aswet untuk menjadi yang tercepat. Sungguh atraksi yang meriah namun tetap terasa sakral.

Ukiran Asmat yang masyhur di penjuru dunia memang tidak bisa dilepaskan dari Pesta Budaya Asmat. Bisa dikatakan ajang tahunan inilah yang paling berperan memperkenalkan karya masyarakat adat yang mendiami pesisir selatan Papua tersebut. Sebaliknya, pameran ukiran merupakan bagian paling banyak menarik perhatian pengunjung festival. “ukiran-ukiran yang dipamerkan merupakan bagian terpenting dalam Pesta Budaya Asmat ini,” kata John Ohoiwirin, salah satu panitia inti Pesta Budaya Asmat.


*Sebelumnya terbit di Locita

Rabu, 11 Oktober 2017

Saat Buku Bertemu Pembacanya



Perahu fiber bermesin 15PK berjalan pelan mengantar kami ke Kampung Yepem. Laut teduh, langit mendung dan hamparan hutan mangrove menjadi teman sepanjang perjalanan. Pak Paskalis, teman yang pagi itu menjemput kami, sengaja melambatkan laju perahunya yang bergerak di tepian pesisir. “Kita jalan di pinggir mangi-mangi (mangrove dalam Bahasa lokal di Papua) saja ya, pak. Saya mau mengambil video untuk dokumentasi perjalanan kita dari Agats ke Kampung Yepem,” instruksi Regis, salah satu fasilitator Buku untuk KampungYepem.

Kami berkunjung ke Kampung Yepem pada penghujung September tersebut untuk membawa donasi berupa buku, majalah, dan bahan bacaan lainnya yang dikirim dari berbagai tempat. Sudah sejak April 2017, kami, tim Blue Forests yang bertugas di Asmat, Papua, bersama masyarakat Kampung Yepem, sedang menginisiasi pembangunan sebuah rumah baca di kampung tersebut. Dan setelah melalui proses pengiriman donasi yang cukup rumit akhirnya buku-buku tersebut bisa sampai juga di Kampung Yepem untuk menemui para pembacanya.

Setelah prosesi penyerahan kepada Kepala Kampung Yepem, segera saja anak-anak mengerubuni boks-boks yang kami bawa. Mereka memilih bahan bacaan masing-masing kemudian tenggelam pada halaman demi halamannya. Tidak semua anak-anak Asmat di Kampung Yepem bisa membaca. Tapi hari itu semua tampak bersemangat memilih buku atau majalah. Mereka seperti bocah yang mendapatkan mainan baru.

Anak-anak di Kampung Yepem memiliki tenaga yang sangat melimpah untuk bermain sepanjang hari. Mereka seperti tidak pernah kehabisan daya untuk terus berlari, menyemplung ke kali, berenang, sampai mendayung ci (perahu tradisional Asmat). Bahkan pada saat ikut mencari makan bersama orang tua di laut atau di hutan, kreatifitas mereka untuk bermain tetap berlanjut. Di dalam hutan, anak-anak ini malah memperoleh bahan yang melimpah untuk mencipta peranti permainannya sendiri.

Energi yang melimpah dari anak-anak itulah yang mendorong kami untuk membuat semacam rumah baca atau perpustakaan di Kampung Yepem. Berawal dari obrolan santai saat saya menginap di rumah adat jew, gerakan ini kemudian menjadi sedikit lebih serius. Dari obrolan tersebut lahirlah kemudian gerakan bernama Buku untuk Kampung Yepem. Kiki, rekan kami di Makassar, membuat lalu menyebarkan poster daring untuk menggalang donasi berupa bahan bacaan dan keperluan rumah baca lainnya. Kiki juga yang mengkoordinasi pengiriman donasi yang berasal dari berbagai daerah tersebut. Titik kumpulnya di Makassar kemudian dikirimkan ke Asmat lewat rekan yang kebetulan berkunjung ke Papua. Cukup ribet, tapi tiap kali ada donasi yang masuk rasanya menyenangkan sekali.

Tanggapan atas ajakan berdonasi lewat dunia maya tersebut cukup ramai. Tidak hanya dari Makassar dan sekitarnya, donasi berupa buku, majalah, sampai seragam sekolah berdatangan dari berbagai daerah di Jawa. Adapula yang mentransfer dana dengan amanah dibelanjakan bahan bacaan dan keperluan lainnya. Sumber dana yang masuk bahkan ada yang berasal dari luar negeri. Kalau saya tidak salah ingat, dari teman-teman PPI Utrech di Belanda dan PPI Inggris. Sungguh ajaib rasanya upaya kecil ini direspon begitu luas. Tentu kami berterima kasih sekaligus merasa bertanggung jawa untuk melaporkan kegiatan Buku untuk Kampung Yepem secara regular. Kami pun kemudian membuat akun media sosial untuk melaporkan jumlah donasi dan perkembangan kegiatan. Dengan begitu kami juga bisa terus berinteraksi dengan para donatur.

Respon yang tidak kalah serius juga datang dari masyarakat Kampung Yepem itu sendiri. Lewat Leonardus Jiwem, Kepala Kampung yang sudah menjadi rekan kami sejak pertama kali berkegiatan di kampung tersebut, menjanjikan pembangunan fisik rumah baca dengan menggunakan dana desa. Sedangka  untuk proses pengerjaannya dilakukan secara swadaya oleh penduduk kampung.

“pembangunan rumah baca ini su jadi sa pu cita-cita sejak sebelum jadi Kepala Kampung. Jadi rumah baca ini harus jadi sebelum Desember (tahun 2017). Biar sudah, pakai dana pembangunan sa pu rumah saja dulu. Sa pu rumah bisa bangun nanti saja,” kata Pak Leo, sapaan akrab pria yang juga mahir mengukir ukiran Asmat ini.

Tentu tanggapan dari Kepala Kampung dan masyarakat Kampung Yepem tersebut adalah kabar baik, bukan hanya untuk kami tapi juga untuk Kampung Yepem itu sendiri. Keswadayaan masyarakat dalam turut aktif pada sebuah program adalah bukti sebuah penerimaan. Keterlibatan langsung mereka menjadi pertanda bahwa program pembangunan rumah baca di Kampung Yepem adalah kerja bersama. Saat ini tiang pancang rumah baca sudah berdiri. Setelah Pesta Budaya Asmat akhir Oktober nanti, masyarakat sudah akan menyelesaikan perpusatakaan berbentuk rumah tradisional Asmat tersebut. Kami juga sudah mempersiapkan beberapa nama yang nantinya akan dipajang di plang rumah baca. Kesepakatan kami, nama rumah baca Kampung Yepem nantinya sebaiknya dalam Bahasa Asmat. Semoga segera rampung dan kami bisa membagikan kabar-kabar menyenangkan selanjutnya.

suasana belajar bersama di teras yang berhadapan langsung dengan kali (foto oleh Regista)

Sembari menunggu rumah baca Kampung Yepem tersebut rampung, saat ini kami melakukan proses belajar bersama di rumah rekan kami lainnya, yaitu Mama Fransina dan Mama Katarina. Mama berdua mempersilakan teras belakang rumahnya untuk dipakai sebagai tempat berkumpul kami. Posisi teras yang dipinjamkan sangat menyenangkan karena berhadapan langsung dengan Kali Jomboth dan diteduhi oleh pohon kelapa. Tempat yang sangat nyaman untuk menghabiskan halaman-halaman bacaan.

Pada pengiriman donasi tahap pertama ke Kampung Yepem, kami sekalian menggelar beberapa buku bacaan anak-anak di teras rumah mama tersebut. Kemudian kami memanggil beberapa anak yang terlihat sedang bermain. Awalnya malu-malu, lapakan berubah menjadi riuh beberapa saat kemudian. Anak-anak lain yang sebelumnya tidak kami lihat juga turut datang. Rumah Mama Fransina ramai betul sore itu. Tapi saat buku dan beberapa majalah sudah di tangan, suasana berubah menjadi hening seketika. Semua menjadi asyik sendiri dengan bahan bacaan masing-masing.

Ada anak yang terlihat memegang buku bercerita “Mangrove Si Pohon yang Menakjubkan” dan mengamatinya dengan serius. Entah membaca atau sekedar memperhatikan gambarnya, tapi sepertinya buku tersebut begitu menarik baginya karena cerita dan gambar yang disajikan sangat akrab dengannya. Kampung Yepem yang terletak di pesisir selatan Papua adalah ekosistem hutan mangrove yang sangat sehat. Anak-anak sudah terbiasa berinteraksi dengan tanaman yang biasa mereka sebut dengan pohon-pohon mangi-mangi tersebut.

Di sudut lain ada yang sedang sibuk membuka halaman demi halaman Majalah Bobo. Walaupun hanya majalah bekas, informasi dan cerita yang ia dapatkan sore itu saya kira sangat berkesan. Pada beberapa halaman majalah, anak tersebut sesekali mengajak temannya untuk turut melihat apa yang ia temukan. Seperti tidak rela untuk melihat sendiri sesuatu yang baru pertama kali ia lihat.

Buku cerita bergambar seperti seri menjelajah samudra atau tentang sejarah manusia purba menjadi bacaan paling laris pada hari itu. Tentu saja karena buku-buku jenis tersebut bisa diterima oleh banyak anak, bahkan bagi mereka yang masih terbata-bata atau tidak bisa membaca sama sekali. Tapi bagi anak yang sudah lancar membaca, ada pula yang memilih buku dongeng yang berasal dari berbagai daerah. Cerita-cerita rakyat semacam itu, terutama yang berkaitan dengan asal-usul leluhur, sering mereka dengarkan di dalam rumah. Tradisi Orang Asmat yang masih bertahan di Kampung Yepem adalah proses pengajaran adat yang berlangsung di masing-masing keluarga.

Belajar bersama sore itu berakhir bersamaan dengan terbenamnya matahari. Sebelum pulang ke rumah masing-masing beberapa anak berinisiatif untuk merapikan kembali posisi buku yang telah ditinggal pembacanya. Pemandangan sepanjang sore tersebut tentu membuat kami bahagia. Teman-teman bisa turut merasakan kebahagian yang kami rasakan lewat video berikut:

Video oleh Regista

Sekian dulu cerita perdana dari kegiatan Buku untuk Kampung Yepem ini. Semoga cerita menyenangkan selanjutnya akan datang dalam waktu dekat.

Ndormom.

Selasa, 26 September 2017

Bertemu Pater Vins


Minggu lalu saya bersama teman berkunjung ke Distrik Sawaerma, Asmat. Di sana kami bertemu Pater Vincent Cole. Sudah hampir 40 tahun Pastor yang akrab disapa Pater Vins ini mengabdi melayani umat Katolik di distrik tersebut. Ia menyiarkan agama lewat cara menyatu dengan masyarakat adat Asmat. Lebih dari 20 tahun lalu Ia mulai menekuni seni ukir Asmat. Kemampuannya tersebut membuatnya mendapat pengakuan sebagai laki-laki Asmat. Selain itu pria asal Amerika ini juga menginisiasi pembangunan Gereja Kristus Amore. Gereja ini unik sekali. Desainnya dibuat semirip mungkin dengan je, rumah adat suku Asmat. Di dalamnya dibangun tungku-tungku yang mewakili fam-fam yang hidup di Kampung Sa dan Kampung Er, dua kampung tempat gereja berdiri. Beberapa ukiran dan benda-benda adat juga dipajang sebagai ornamen. Orang-orang biasa menyebut gereja ini sebagai gereje, gabungan dari kata gereja dan je.

Selain untuk pelaksanaan misa, gereje biasa juga dipakai oleh masyarakat untuk membicarakan urusan adat. "Kalau bisa masyarakat mengenal agama dengan mudah tanpa melupakan adat mereka," kata Pater Vins.

Kamis, 17 Agustus 2017

Menjaga Sang Pelindung Taman Nasional Lorentz

Paulus Animamea (8 tahun) sedang menyelam mencari ikan di Kali Muanapea, Kampung Nayaro. Kampung Nayaro yang didiami masyarakat Kamoro berperan penting sebagai daerah penyangga bagi Taman Nasional Lorentz dari ancaman tailing atau sisa tambang PT. Freeport.
Salah satu kampung yang menjadi daerah dampingan Lorentz Lowland Landscape LESTARI saat ini adalah Kampung Nayaro yang terletak di Distrik Mimika Baru, kabupaten Mimika, Papua. Kampung ini merupakan salah satu kampung yang masuk dalam wilayah konsesi PT. Freeport Indonesia (PTFI). Jaraknya cukup dekat dari Kota Timika. Namun dibutuhkan waktu sekitar satu setengah hingga dua jam perjalanan dengan bus untuk sampai kampung ini. Dari Kota Timika, kita harus menuju arah utara kemudian menyeberangi Sungai Otomona yang dijadikan daerah aliran tailing atau material sisa pasir tambang PTFI, lalu memutar kembali ke arah selatan, sebelum sampai di daerah pemukiman Kampung Nayaro. Untuk memudahkan akses masyarakat, PTFI menyediakan dua buah bus yang setiap hari mengantar masyarakat keluar masuk kampung.

Wilayah Kampung Nayaro yang dimilki secara adat oleh masyarakat Suku Kamoro membentang mulai dari pesisir selatan Papua sampai daerah dataran tinggi di Mile 50 PTFI. Letaknya sangat penting karena berbatasan langsung dengan Sungai Otomona yang menjadi daerah aliran tailing PTFI juga dengan Taman Nasional Lorentz di sebelah timur. Jadi, walaupun belum ditetapkan, Kampung Nayaro dapat dikatakan merupakan daerah penyangga (buffer zone) bagi Taman Nasional Lorentz di bagian dataran rendah hingga pesisir. Terjaganya kualitas alam Kampung Nayaro berarti kabar baik bagi kelestarian Taman Nasional Lorentz. Sebaliknya, degradasi kawasan yang terjadi di Kampung Nayaro merupakan ancaman bagi keberlangsungan taman nasional terluas di Asia Tenggara tersebut.

Letaknya yang strategis dan kualitas alam yang masih baik membuat program LESTARI memilih Kampung Nayaro menjadi salah satu daerah dampingan. Menurut hasil kajian resilian (resilience assessment) yang LESTARI lakukan pada tahun 2016, sistem ekologi Kampung Nayaro masih dalam fase konservatif. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi alam di kampung ini masih terjaga dengan baik. Hutannya yang masih alami dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat untuk pemenuhan pangan dan ekonomi keluarga.

Dengan kondisi alam Kampung Nayaro yang masih konservatif, kajian resilian kemudian merekomendasikan intervensi yang sifatnya membangun atau mempertahankan ketahanan. Dirancang kemudian dua kegiatan aksi, yaitu, Fasilitasi dan Pendampingan Masyarakat untuk Pengelolaan Hutan dan Lahan Secara Berkelanjutan serta Penguatan dan Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat. Kedua kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. selain itu, melalui proses inventarisasi masyarakat hukum adat, diidentifikasi pula kelembagaan adat serta nilai-nilai kearifan masyarakat dalam memanfaatkan alam secara turun-temurun.

Pemetaan partisipatif dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat Kampung Nayaro juga dilakukan dalam rangkaian dua kegiatan tersebut. Lokasi-lokasi penting masyarakat dimasukkan di dalam sketsa peta wilayah kampung, mulai dari dusun sagu (wilayah hutan tempat mencari makan), tempat berburu, lokasi pemukiman, sampai yang paling penting, tempat-tempat keramat. Tempat keramat adalah suatu wilayah yang dilindungi secara khusus oleh masyarakat adat di Kampung Nayaro. Menurut Kepala Suku Kampung Nayaro, Paulinus Yamiro, lokasi yang ditetapkan sebagai tempat keramat merupakan lokasi-lokasi yang menjadi bagian dari sejarah leluhur mereka di masa lalu, seperti kampung lama dan pemakaman. “Tempat keramat ini tidak boleh diganggu. Ini bagian dari sejarah kami. Kalau tempat keramat rusak leluhur bisa marah, kita bisa celaka,” kata Paulus Yamiro dalam pertemuan yang dilakukan di Kampung Nayaro.

Dalam peta partisipatif Kampung Nayaro, masyarakat juga membagi wilayah mereka dalam beberapa zonasi tradisional. Dari penyusunan tersebut dihasilkan enam wilayah zonasi tradisional Kampung Nayaro: Zonasi Lindung Kaki Gunung, Zonasi Lindung Keramat Sejarah, Zonasi Pemanfaatan Kayu, Zonasi Pemanfaatn Pemukiman, Zonasi Pemanfaatan Perikanan, Zonasi Pemanfaatan Sagu dan Berburu. Penyusunan zonasi tradisional ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat Kampung Nayaro dalam mengelola sumber daya alam sesuai dengan peruntukannya.

“Peta dan zonasi (tradisional) ini sangat membantu kami di dalam kampung. Ini bisa dipakai untuk menyatukan pemahaman masyarakat dalam mengelola alam dengan lestari. Orang-orang tidak boleh lagi melepas tanah sembarangan,” kata Samuel Betaubun, tokoh pemuda Kampung Nayaro.

Pada bulan Mei 2017, kedua kegiatan pendampingan di Kampung Nayaro tersebut telah memasuki proses akhir. Dalam pertemuan yang berjalan beberapa bulan dihasilkan dokumen Rencana Pengelolaan Sumber Daya Alam (RPSDA) serta profil masyarakat hukum adat Kampung Nayaro. Dokumen RPSDA berisi gambaran situasi kampung (sejarah dan wilayah kampung), potensi, serta kelembagaan dan peluang kemitraan. Sementara profil masyarakat hukum adat menyediakan informasi tentang kelembagaan adat serta nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kampung Nayaro dalam memanfaatkan alam. Kedua dokumen ini nantinya dapat dipakai oleh Kampung Nayaro sebagai bahan advokasi dalam menyusun program lanjutan di dalam kampung.

Dari lima kampung yang LESTARI dampingi di Mimika dan Asmat, saat ini Kampung Nayaro menjadi prioritas dalam program collaborative management. Konsep co-management merupakan suatu proses yang bertujuan mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, melaksanakan, hingga mengevalusi program di suatu wilayah. Selain masyarakat kampung, pihak pemerintah dan swasta sebagai stakeholder utama di Kampung Nayaro juga diharapkan pro aktif dalam menjaga kelestarian sumber daya alam sekaligus menjamin kesejahteraan masyarakat. Tentu saja dibutuhkan keinginan untuk saling berkolaborasi dalam kedudukan yang setara untuk mewujudkan hal tersebut.

Dengan peran penting yang diemban Kampung Nayaro sebagai benteng pertahanan Taman Nasional Lorentz, sudah seharusnya semua pihak mengambil peran dalam menjaga kelestariannya. Segala potensi juga ancaman bagi keberlangsungan hutan di wilayah kampung ini haruslah dikelola bersama. Alam dan masyarakat dengan segala kearifannya tentu tidak bisa bertahan sendirian dari bahaya kerusakan. Dibutuhkan dukungan dari para pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan ruang hidup masyarakat Nayaro ini tetap lestari.

Minggu, 13 Agustus 2017

Semalam di Asei


Selepas hingar bingar tiga hari Festival Lembah Baliem di Wamena, saya melanjutkan perjalanan ke Pulau Asei di Danau Sentani yang hening. Menyinggahi pulau ini sungguh sangat tidak terencana. Sebelum ke Wamena saya hanya berniat untuk melihat Danau Sentani dari dekat, setelah hanya menyaksikan keindahannya saat pesawat yang saya tumpangi mendarat atau lepas landas di Bandara Sentani.
Tidak ada petunjuk yang terlalu jelas dari teman-teman yang saya tanyai tentang kampung-kampung di sekitar Danau Sentani. Atau mungkin saja saya yang tidak terlalu fokus dengan penjelasan mereka. Informasi mereka selalu ditekankan pada legenda berbalut ngeri: "tapi ko hati-hati e. Disana banyak orang mabuk. Dong biasa minta uang atau pukul orang." Mamayo.
Tapi cerita itu sungguh tidak terbukti. Paling tidak sampai malam ini.
Selepas keluar dari Bandara Sentani pagi tadi, saya langsung bertanya kepada beberapa orang bagaimana caranya menjangkau kampung-kampung di tepian Danau Sentani. Oleh seorang ibu penjual nasi pecel, saya disarankan menuju Dermaga Khalkote dengan menumpangi angkot panjang. Di dalam angkot saya bertemu mama-mama yang akan ke pasar baru. Ia menyarankan saya untuk sekalian menyeberang ke pulau jika ingin melihat suasana perkampungan di Danau Sentani. "Lebih baik ke Ayapo atau Asei Pulo. Di Khalkote tidak ada apa-apa. Waktu festival (maksudnya Festival Danau Sentani yang dihelat pada Juni lalu) boleh ramai. Kalo sekarang sepi."
Mama baik di dalam angkot (sungguh sial saya lupa menanyakan namanya) itu pula yang menjelaskan soal ongkos angkot dan ojek menuju Dermaga Khalkote. "Jangan mau ditipu e. (Bersikap) biasa saja. Jangan seperti orang baru."
Memang betul, google map terbaik adalah warga setempat.
Setelah melanjutkan perjalanan dengan ojek, saya pun sampai di Dermaga Khalkote atau sering juga masyarakat sebut sebagai Expo. Sebuah jembatan panjang dengan panorama jajaran bukit hijau terpampang di antara Danau Sentani yang tenang. Tidak terlalu jauh, nampak sebuah pulau kecil dengan jejeran rumah di tepi dan sebuah gereja di puncak bukitnya. "Itu sudah Pulau Asei," kata seorang pengunjung disitu. Baiklah, saya memilih menyeberang kesana saja.
Tidak lama kemudian ada sebuah kapal kecil bermotor yang akan menyeberang ke Pulau Ayapo. Beruntunglah saya karena pengemudinya bersedia mengantar saya ke Pulau Asei terlebih dulu. Tidak terlalu merepotkan buat dia, karena Pulau Asei dan Pulau Ayapo berada dalam satu lintasan perjalanan kapal tersebut.
Hanya sekitar lima menit saya sudah menginjakkan kaki di Pulau Asei. Saya langsung berkenalan dengan Rei, pemuda lokal yang sangat ramah. Bersama beberapa rekannya, ia sedang menikmati sopi, tuak tradisional orang timur. Tak lama berbincang saya pamit untuk melihat suasana kampung di pulau tersebut. Rei dan rekan mempersilakan sambil merekomendasikan Gereja Tua Asei yang terletak di atas bukit untuk saya kunjungi.
Dalam perjalanan menuju Gereja Tua Asei, saya menyaksikan mama-mama yang sedang membuat kerajinan kulit pohon. Menurut mereka, aktifitas tersebut merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat Pulau Asei selain sebagai nelayan. Produk seni kulit kayu Pulau Asei sudah mendapat pasar di Sentani Kota sampai di Jayapura.
Sedikit mendaki ke atas bukit, saya sampai di Gereja Tua Asei. Situs cagar budaya ini sudah ada sejak tahun 1928 dan menjadi penanda sejarah masuknya Kristen yang dibawa oleh misionaris Belanda ke pulau kecil tersebut. Bangunan berbahan kayu tersebut masih difungsikan hingga saat ini. Ibadah misa rutin dilaksanakan saban minggu. "Kadang ada pastor dari Sentani yang datang kesini memimpin ibadah," kata seorang bapak yang saya temui tidak jauh dari tempat itu.
Puas berkeliling pulau dan mengambil foto, saya kembali ke bale-bale tempat nongkrong Rei dan rekan-rekannya di tepi dermaga tadi. Saya bertanya, apakah ada kapal yang bisa saya tumpangi untuk kembali ke Dermaga Khalkote sebelum malam. Tapi Rei memberikan penawaran yang terdengar lebih menarik. "Ah, mas bermalam di sa pu rumah sudah. Besok pagi sa antar ke sebelah."
Jadilah saya bermalam di Pulau Asei malam ini.
Rei (sampai sekarang dia enggan menyebut nama panjangnya) tinggal bersama orang tua dan dua adiknya. Mereka semua seperti Rei, sangat ramah. Sesaat setelah matahari tergelincir, kami makan malam. Santapannya adalah sagu dan ikan bakar segar yang saya beli dari nelayan di dermaga tadi sore. Sedap betul.
Saat menulis jurnal perjalanan ini, saya sedang di dermaga bersama Rei dan beberapa pemuda Pulau Asei. Malam ini langit sedang cerah. Hamparan Danau Sentani tampak tenang sekali. Sedangkan di hadapan kami ada sopi dan kopi yang menemani percakapan tak tentu tema. "Untuk kasi hangat badan, kawan." Semoga demikian.
Saya berharap besok pagi Rei tidak terlalu mabuk untuk mengantar saya menyeberang.


Danau Sentani, 12 Agustus 2017

Senin, 31 Juli 2017

Makan Siang Santai Tapi Asyik di Aseng


Makan siang santai tapi asyik di Tarakan di mana? di Aseng aja yuk!

Kedai kopi bergaya vintage ini terletak di daerah Jembatan Besi, berseberangan jalan dengan Hotel Grand Taufik. Buka dari pagi hingga sore, Aseng mencapai puncak sibuknya pada jam makan siang. Menunya beragam. Bagi yang lapar tersedia makanan berat berbahan nasi dan mie. Namun jika sedang santai, cobalah kopi susu dengan cemilan bakpao, roti selai, atau berbagai jenis kue lainnya.

Pengunjung Kedai Kopi Aseng datang dari berbagai sudut Kota Tarakan. Ada pekerja yang mungkin sedang menghindar sesaat dari kerjaan di kantor. Ada pula mereka yang seperti memiliki waktu luang berlebih karena terlihat seperti enggan beranjak dari kursinya.



Rabu, 19 Juli 2017

Hari Pasar di Patalassang


“Hari apa ini, Ajji?”

“Hari Pasar, nak.”

***

Jangan langsung jengkel saat mendapati jalan raya Patalassang, Takalar, Sulawesi Selatan, tidak dapat dilewati kendaraan karena berubah fungsi menjadi pasar. Masuklah ke dalam untuk melihat aktivitas penjual dan pembeli yang mungkin saja bisa menyengarkan mata dan hati.

Pasar Patalassang hanya buka empat hari sekali. Hari saat pedagang menggelar dagangan di Pasar Patalassang disebut sebagai Hari Pasar. Hari Pasar adalah hari istimewa. Pada hari itu jalan raya di Patalassang yang menghubungkan Takalar Kota dengan Takalar Lama akan ditutup untuk dipakai sebagai areal memajang dagangan. Hari Pasar di Patalassang juga selalu ramai dibanjiri oleh pembeli yang datang dari Patalassang, daerah-daerah di Kecamatan Mappakasunggu, juga masyarakat dari Kepulauan Tanakeke.

Barang dagangan yang dijual di Pasar Patalassang sangatlah beragam. Namun yang menarik perhatian saya adalah sayur-sayuran dengan warna-warni yang mencolok dan segar. Menurut penjualnya, sayuran tersebut didatangan langsung dari Malino, Kabupaten Gowa. Bagi yang pernah berkunjung ke Malino pasti tahu kualitas kesegaran buah dan sayuran yang dihasilkan di daerah dataran tinggi tersebut.

Dagangan lain yang membuat saya langsung membelinya adalah paket rumput laut yang dicampur dengan mangga muda. Penganan ini sungguh membuat saya penasaran. Dua tahun lebih saya bekerja bersama petani rumput laut di Tanakeke, belum sekalipun saya mencoba rasanya rumput laut mentah. Apalagi ini dicampur mangga muda pula. Saat menyantap rumput laut campur mangga muda tersebut, ternyata rasanya mirip seperti mangga yang ditabur garam; asam, asin, dengan sensasi segar di mulut. Rasa asin berasal dari rumput laut yang juga kenyal saat digigit. Potongan cabai saya kira akan melengkapi rasa kudapan santai ini.


Selain menjual kebutuhan dapur, dagangan unik di Pasar Patalassang adalah tembikar dan keranjang untuk keperluan ritual adat. Menurut penjualnya, benda-benda tersebut dibutuhan saat seseorang akan membangun rumah baru. Tembikar yang terbuat dari tanah liat tersebut dijadikan wadah untuk membakar dupa pada saat akan memulai membangun rumah baru. Kepercayaan ini masih dijalankan oleh cukup banyak orang di Takalar ataupun masyarakat suku Makassar pada umumnya.

Menjelang siang, jalan raya yang dijadikan pasar di Patalassang kembali dibuka. Sampai berjumpa empat hari lagi di Hari Pasar Patalassang.




Takalar, 7 Juli 2017

Sabtu, 10 Juni 2017

Tetanggaku Nusantara

Oscar, Boy, dan Yohanis (dari kiri ke kanan)



Sudah hampir dua tahun ini saya menetap di Agats. Mungkin tidak terlalu banyak yang mengenal ibu kota Kabupaten Asmat – Papua ini. Tapi siapa yang pernah menyangka, komposisi penduduk kota kecil ini ternyata sangat beragam. Di Agats, penduduk asli Suku Asmat hidup berdampingan dengan para pendatang dari berbagai daerah, mulai dari Sumatera sampai Merauke.

Hal paling menyenangkan dari kenyataan ini adalah saya jadi punya pengalaman bertetangga dengan orang-orang baru. Mereka datang dari berbagai daerah yang belum terlalu saya kenal sebelumnya. Di Agats, saya tinggal di sebuah rumah kontrakan milik pasangan yang berasal dari daerah yang berbeda, Mama Antoneta yang berasal dari Tanah Merah, Boven Digul dan suaminya yang bersuku Timor. Rumah mereka masih dalam satu kompleks dengan kontrakan yang saya tinggali.

Saya dan teman serumah lebih akrab dengan Mama Antoneta karena beliau lah yang aktif mengelola kontrakan yang kami tinggali. Pada awal-awal berkenalan dengan perempuan berbadan dan bersuara besar ini, saya agak segan untuk sering-sering berbicara denganya. Saya ingat, bahkan untuk bertanya soal keperluan di dalam kontrakan saja saya harus mengumpulkan keberanian terlebih dahulu. Saat Mama Antoneta berbicara, saya selalu mengira ia sedang marah. Suaranya selalu besar. Mimiknya jarang menunjukkan senyum. Pasti mama ini orangnya pemarah, deh, pikir saya waktu itu.

Tapi di sini lah pepatah “don’t judge book by its cover” bekerja. Setelah sekian lama kenal, ternyata Mama Antoneta ini baik sekali. Nada bicaranya masih selalu keras (ya karena dari sananya memang begitu). Tapi mama selalu membantu saat dibutuhkan. Bahkan mama selalu berinisiatif menanyakan kebutuhan kami di kontrakan, mulai dari masalah listrik, air, sampai layanan tivi kabel.

Pernah suatu malam, kompleks kontrakan kami gaduh karena ada seorang penghuni yang mabuk lantas mengomel tidak jelas. Tidak menunggu terlalu lama, mama keluar kemudian berteriak menyuruh si pemabuk untuk diam. Seketika malam kembali menjadi hening saat itu juga. Akhirnya suara keras mama ada manfaatnya juga.

Saking sudah akrabnya, saya bahkan pernah bercanda sambil bertanya kepada mama: “Kenapa mama kalau bicara suaranya keras sekali?” Mama dengan enteng menjawab, “biar sa tidak bicara dua kali to. Biar ko langsung dengar.” Baik lah, mama. Hormat!

Baru beberapa bulan ini saya mulai bertetangga dengan seorang Polisi yang berasal dari Sumatera (kalau tidak salah ingat). Jabatannya mentereng: Wakapolres Asmat. Ia tinggal tepat di sebelah kontrakan kami bersama istrinya yang Orang Sunda. Mereka berdua sangat ramah. Kami selalu bertukar sapaan tiap berpapasan di teras rumah atau di jalan.

Sebenarnya sapaan “selamat pagi-siang-sore-malam” adalah hal lumrah di Agats. Saya rasa keramahan orang-orang di sini sungguh di atas rata-rata. Kita bisa mendapat sapaan tersebut bahkan dari orang yang belum kita kenal sama sekali. Tapi bertegur sapa dengan Bapak Polisi ini tentu beda. Saya selalu memanfaatkan baku tegur itu untuk menanyakan informasi terbaru yang berkembang di Agats atau Asmat. Tetangga saya ini selalu senang hati membagi cerita. Tidak selalu soal peristiwa kriminal, tapi juga soal remeh temeh, misalnya penyebab listrik padam dalam waktu lama atau informasi tentang jadwal transportasi yang masuk-keluar Asmat. Saya menobatkan Bapak Polisi kita satu ini sebagai tentangga yang sangat berjasa, baik dalam mengamanakan keamanan lingkungan kontrakan, juga kebaikan hati berbagi informasinya. Tapi sayang, saya belum sempat menanyakan nama beliau. Tetangga durhaka.

Tetangga saya lainnya adalah dua bersaudara Anjel dan Boy. Kedua teman cilik saya ini merupakan anak dari buguru (panggilan akrab untuk ibu guru, yang sialnya saya lupa namanya. Baik lah saya perlu menabung untuk cangkok otak.) dan Om Jefri yang juga merupakan rekan sekantor saya. Mereka adalah pasangan Biak-Merauke yang sama-sama bertugas kerja di Agats.

Anjel dan Boy, bersama beberapa sepupunya yang juga sering berkunjung, merupakan kenalan pertama kami di awal-awal masa tinggal di rumah kontrakan Mama Antoneta tersebut. Kami berkenalan atas inisiatif mereka yang mulai rajin mengunjungi kontrakan saat melihat kami memiliki beberapa permainan. Yang paling menarik minat mereka adalah ular tangga. Tenaga mereka sungguh berlimpah saat memainkan papan permainan tersebut.

Sejauh ini rekor bermain ular tangga mereka adalah enam jam non stop. Ini cerita sungguh. Pada suatu minggu pagi Anjel, Boy, bersama Yohanis dan Oscar mengunjungi kontrakan kami mengajak bermain ular tangga. Kami ladeni dengan senang hati tentu saja. Sekitar pukul satu, saya dan teman sekontrakan, pamit kepada mereka untuk makan siang dan beristirahat. Beberapa jam kemudian, saat bangun tidur siang, ternyata mereka masih terlihat bergantian melempar dadu di depan pintu kami. Mereka baru bubar sekitar pukul tiga sore. Saya cuma geleng-geleng memaklumi. Namanya juga anak-anak ya kan.

Namun, dari semua, tetangga terbaik saya selama hidup di Agats adalah Paguru Kosmas. Lelaki paru baya ini adalah seorang guru yang telah mengajar di beberapa sekolah di Kabupaten Asmat. Ia lahir di Ambon namun menghabiskan sebagian besar umurnya di Asmat untuk mengajar di Yayasan Pendidikan Keuskupan Agats. Ia kenyang pengalaman mengajar di daerah pedalaman, kampung-kampung, sampai di Kota Agats. Menjadi Kepala Asrama bagi anak-anak asli Asmat di Agats juga pernah Ia kerjakan.

Saat pertama kali kami berkenalan, Paguru Kosmas sedang dalam masa cuti sakit. Ia punya masalah pada jantungnya dan menjadi semakin parah beberapa tahun ini. Selain rutin check up ke rumah sakit, selama cuti tersebut Ia hanya menghabiskan waktu beristirahat di rumah. Saat itu lah saya rutin mengunjunginya di waktu senggang.

Paguru Kosmas adalah teman cerita yang baik. Usianya yang jauh lebih tua dari saya tidak lantas membuatnya dominan dalam obrolan kami. Ia kadang cerewet namun bisa pula menjadi pendengar dan penanggap yang baik. Bahan obrolan favoritnya adalah pengalaman pada saat menjadi Kepala Asrama Siswa Asmat yang pertama. Bagaimana saat itu Ia mengendalikan berbagai macam perilaku anak-anak yang menurutnya “kalau tidak sabar bisa bikin gila.”

Bahan obrolan lainnya yang menjadi favorit kami adalah pengalaman jalan-jalan. Saat masih berkuliah di Jawa, Paguru Kosmas mengaku rutin berkunjung ke beberapa kota saat waktu libur. Ia mengaku sangat menikmati keramaian serta menyukai makanan khas tiap-tiap daerah. Namun saat saya menanyakan kota favorinya, Ia dengan sangat yakin memilih Makassar. “Makassar itu makanannya enak-enak. Tidak terlalu jauh juga dari Papua. Makassar itu timur juga. Kita sebagai orang timur harus bangga karena punya kota yang berkembang.”

Dalam usia tuanya, Paguru Kosmas masih berharap punya kesempatan untuk jalan-jalan ke berbagai daerah. Pernah suatu waktu, mungkin sambil bercanda, Ia berseloroh, “mungkin enak e kalau kita sarapan di Jakarta, makan siang di Makassar, makan malam di Jayapura, baru pulang tidur ke Agats sini.” Sayang pertemanan kami hanya sebentar. Awal tahun 2017 Paguru Kosmas meninggal dunia. Semangatnya untuk terus berjalan terganggu oleh penyakit jantung yang akhirnya membuatnya menyerah.

#15harimenulis