Sabtu, 10 Juni 2017

Tetanggaku Nusantara

Oscar, Boy, dan Yohanis (dari kiri ke kanan)



Sudah hampir dua tahun ini saya menetap di Agats. Mungkin tidak terlalu banyak yang mengenal ibu kota Kabupaten Asmat – Papua ini. Tapi siapa yang pernah menyangka, komposisi penduduk kota kecil ini ternyata sangat beragam. Di Agats, penduduk asli Suku Asmat hidup berdampingan dengan para pendatang dari berbagai daerah, mulai dari Sumatera sampai Merauke.

Hal paling menyenangkan dari kenyataan ini adalah saya jadi punya pengalaman bertetangga dengan orang-orang baru. Mereka datang dari berbagai daerah yang belum terlalu saya kenal sebelumnya. Di Agats, saya tinggal di sebuah rumah kontrakan milik pasangan yang berasal dari daerah yang berbeda, Mama Antoneta yang berasal dari Tanah Merah, Boven Digul dan suaminya yang bersuku Timor. Rumah mereka masih dalam satu kompleks dengan kontrakan yang saya tinggali.

Saya dan teman serumah lebih akrab dengan Mama Antoneta karena beliau lah yang aktif mengelola kontrakan yang kami tinggali. Pada awal-awal berkenalan dengan perempuan berbadan dan bersuara besar ini, saya agak segan untuk sering-sering berbicara denganya. Saya ingat, bahkan untuk bertanya soal keperluan di dalam kontrakan saja saya harus mengumpulkan keberanian terlebih dahulu. Saat Mama Antoneta berbicara, saya selalu mengira ia sedang marah. Suaranya selalu besar. Mimiknya jarang menunjukkan senyum. Pasti mama ini orangnya pemarah, deh, pikir saya waktu itu.

Tapi di sini lah pepatah “don’t judge book by its cover” bekerja. Setelah sekian lama kenal, ternyata Mama Antoneta ini baik sekali. Nada bicaranya masih selalu keras (ya karena dari sananya memang begitu). Tapi mama selalu membantu saat dibutuhkan. Bahkan mama selalu berinisiatif menanyakan kebutuhan kami di kontrakan, mulai dari masalah listrik, air, sampai layanan tivi kabel.

Pernah suatu malam, kompleks kontrakan kami gaduh karena ada seorang penghuni yang mabuk lantas mengomel tidak jelas. Tidak menunggu terlalu lama, mama keluar kemudian berteriak menyuruh si pemabuk untuk diam. Seketika malam kembali menjadi hening saat itu juga. Akhirnya suara keras mama ada manfaatnya juga.

Saking sudah akrabnya, saya bahkan pernah bercanda sambil bertanya kepada mama: “Kenapa mama kalau bicara suaranya keras sekali?” Mama dengan enteng menjawab, “biar sa tidak bicara dua kali to. Biar ko langsung dengar.” Baik lah, mama. Hormat!

Baru beberapa bulan ini saya mulai bertetangga dengan seorang Polisi yang berasal dari Sumatera (kalau tidak salah ingat). Jabatannya mentereng: Wakapolres Asmat. Ia tinggal tepat di sebelah kontrakan kami bersama istrinya yang Orang Sunda. Mereka berdua sangat ramah. Kami selalu bertukar sapaan tiap berpapasan di teras rumah atau di jalan.

Sebenarnya sapaan “selamat pagi-siang-sore-malam” adalah hal lumrah di Agats. Saya rasa keramahan orang-orang di sini sungguh di atas rata-rata. Kita bisa mendapat sapaan tersebut bahkan dari orang yang belum kita kenal sama sekali. Tapi bertegur sapa dengan Bapak Polisi ini tentu beda. Saya selalu memanfaatkan baku tegur itu untuk menanyakan informasi terbaru yang berkembang di Agats atau Asmat. Tetangga saya ini selalu senang hati membagi cerita. Tidak selalu soal peristiwa kriminal, tapi juga soal remeh temeh, misalnya penyebab listrik padam dalam waktu lama atau informasi tentang jadwal transportasi yang masuk-keluar Asmat. Saya menobatkan Bapak Polisi kita satu ini sebagai tentangga yang sangat berjasa, baik dalam mengamanakan keamanan lingkungan kontrakan, juga kebaikan hati berbagi informasinya. Tapi sayang, saya belum sempat menanyakan nama beliau. Tetangga durhaka.

Tetangga saya lainnya adalah dua bersaudara Anjel dan Boy. Kedua teman cilik saya ini merupakan anak dari buguru (panggilan akrab untuk ibu guru, yang sialnya saya lupa namanya. Baik lah saya perlu menabung untuk cangkok otak.) dan Om Jefri yang juga merupakan rekan sekantor saya. Mereka adalah pasangan Biak-Merauke yang sama-sama bertugas kerja di Agats.

Anjel dan Boy, bersama beberapa sepupunya yang juga sering berkunjung, merupakan kenalan pertama kami di awal-awal masa tinggal di rumah kontrakan Mama Antoneta tersebut. Kami berkenalan atas inisiatif mereka yang mulai rajin mengunjungi kontrakan saat melihat kami memiliki beberapa permainan. Yang paling menarik minat mereka adalah ular tangga. Tenaga mereka sungguh berlimpah saat memainkan papan permainan tersebut.

Sejauh ini rekor bermain ular tangga mereka adalah enam jam non stop. Ini cerita sungguh. Pada suatu minggu pagi Anjel, Boy, bersama Yohanis dan Oscar mengunjungi kontrakan kami mengajak bermain ular tangga. Kami ladeni dengan senang hati tentu saja. Sekitar pukul satu, saya dan teman sekontrakan, pamit kepada mereka untuk makan siang dan beristirahat. Beberapa jam kemudian, saat bangun tidur siang, ternyata mereka masih terlihat bergantian melempar dadu di depan pintu kami. Mereka baru bubar sekitar pukul tiga sore. Saya cuma geleng-geleng memaklumi. Namanya juga anak-anak ya kan.

Namun, dari semua, tetangga terbaik saya selama hidup di Agats adalah Paguru Kosmas. Lelaki paru baya ini adalah seorang guru yang telah mengajar di beberapa sekolah di Kabupaten Asmat. Ia lahir di Ambon namun menghabiskan sebagian besar umurnya di Asmat untuk mengajar di Yayasan Pendidikan Keuskupan Agats. Ia kenyang pengalaman mengajar di daerah pedalaman, kampung-kampung, sampai di Kota Agats. Menjadi Kepala Asrama bagi anak-anak asli Asmat di Agats juga pernah Ia kerjakan.

Saat pertama kali kami berkenalan, Paguru Kosmas sedang dalam masa cuti sakit. Ia punya masalah pada jantungnya dan menjadi semakin parah beberapa tahun ini. Selain rutin check up ke rumah sakit, selama cuti tersebut Ia hanya menghabiskan waktu beristirahat di rumah. Saat itu lah saya rutin mengunjunginya di waktu senggang.

Paguru Kosmas adalah teman cerita yang baik. Usianya yang jauh lebih tua dari saya tidak lantas membuatnya dominan dalam obrolan kami. Ia kadang cerewet namun bisa pula menjadi pendengar dan penanggap yang baik. Bahan obrolan favoritnya adalah pengalaman pada saat menjadi Kepala Asrama Siswa Asmat yang pertama. Bagaimana saat itu Ia mengendalikan berbagai macam perilaku anak-anak yang menurutnya “kalau tidak sabar bisa bikin gila.”

Bahan obrolan lainnya yang menjadi favorit kami adalah pengalaman jalan-jalan. Saat masih berkuliah di Jawa, Paguru Kosmas mengaku rutin berkunjung ke beberapa kota saat waktu libur. Ia mengaku sangat menikmati keramaian serta menyukai makanan khas tiap-tiap daerah. Namun saat saya menanyakan kota favorinya, Ia dengan sangat yakin memilih Makassar. “Makassar itu makanannya enak-enak. Tidak terlalu jauh juga dari Papua. Makassar itu timur juga. Kita sebagai orang timur harus bangga karena punya kota yang berkembang.”

Dalam usia tuanya, Paguru Kosmas masih berharap punya kesempatan untuk jalan-jalan ke berbagai daerah. Pernah suatu waktu, mungkin sambil bercanda, Ia berseloroh, “mungkin enak e kalau kita sarapan di Jakarta, makan siang di Makassar, makan malam di Jayapura, baru pulang tidur ke Agats sini.” Sayang pertemanan kami hanya sebentar. Awal tahun 2017 Paguru Kosmas meninggal dunia. Semangatnya untuk terus berjalan terganggu oleh penyakit jantung yang akhirnya membuatnya menyerah.

#15harimenulis