Minggu, 19 November 2017

Menanam Sagu di Kepala

Foto oleh Regista

Malam baru saja dimulai di Kampung Yepem. Di rumah Mama Katarina dan Mama Fransina, kami sedang menunggu matangnya sagu bola dan ikan duri yang sedang dibakar di tungku api. Penganan sederhana yang dimasak dengan cara sangat sederhana tersebut menjadi pengisi perut kami malam itu.

“Ambas akat ooo, sagu enak.”

Jawaban Mama Katarina sesingkat itu saat saya tanya tentang makan malam kami yang baru saja meluncur ke lambung. Kami semua tertawa. Walaupun saya tahu persis alasannya lebih dari itu. Bagi masyarakat suku Asmat, sagu bukanlah sekedar makanan. Ia sudah menjadi bagian dari laku kebudayaan yang mengakar sejak masa leluhur.

Dalam banyak cerita leluhur atau mitologi orang Asmat, sagu sering disebut sebagai bagian dari sejarah pertumbuhan suku di pesisir selatan Papua ini. Misalnya saja Beworpit, leluhur yang paling sering disebut dalam cerita adat. Berworpit dikisahkan adalah penemu tanaman sagu di dalam rimba Asmat. Ia pula yang mengorbankan dirinya dengan berubah wujud menjadi pohon sagu agar tanaman rawa tersebut bisa terus ada bagi generasi penerusnya. Heroisme Beworpit itu terus hidup sebagai leluhur penyedia kehidupan bagi orang Asmat.

Dalam cerita lain, sagu merupakan makanan utama bagi kepala perang beserta prajuritnya pada masa pengayauan. Mereka percaya dengan memakan sagu badan bisa menjadi lebih kuat. Tenaga bertempur bisa tahan lama. “Kalau makan (makanan) yang lain, misalnya ikan sembilang, pisang doaka (pisang gepok), itu badan bisa jadi lemas. Tidak kuat ikut perang,” kata Felix Owom, Ketua Adat Asmat di Kampung Suwruw.

Dalam tatanan sosial, sagu sudah dianggap sebagai harta benda utama bagi masyarakat Asmat. Pada ritual pernikahan Asmat, sagu menjadi seserahan wajib bersama kapak batu. Kedua benda itu menjadi simbol perbekalan bagi sepasang mempelai yang baru akan mengarungi rumah tangga. Selain itu, ulat sagu menjadi penganan wajib dalam banyak ritual adat Asmat. Biasanya bakal kumbang sagu ini akan disantap bersama pada puncak helatan pesta.

Potensi sagu versus ambisi buta ketahanan pangan

Asmat bersama daerah di dataran rendah di Papua memang dikenal sebagai lumbung sagu sejak dahulu. Menurut penelitian Nadirman Haska, seorang profesor riset di bidang bioteknologi dan agroteknologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Papua tercatat memiliki 1,2 juta hetare lahan yang ditumbuhi pohon sagu. 95 persen diantaranya tumbuh alami di hutan dataran rendah dan belum dimanfaatkan.

“Papua berpotensi menghasilkan delapan juta ton sagu per tahun dari pohon yang tumbuh alami dan belum dimanfaatkan tersebut. Tapi karena kita tidak memanfaatkannya, potensi pangan tersebut hilang begitu saja,” Kata Nadirman.

Masih menurut Nadirman, sebagai sumber pangan potensial, sagu memiliki keunggulann tersendiri. Sagu dalam wujud tepung bisa diolah menjadi berbagai produk makanan. Karbohidrat yang terkandung di dalam sagu juga cukup tinggi dan mudah dicerna. “Sagu itu tidak memerlukan lahan yang luas dan mampu tumbuh tanpa perawatan intensif. Kalau mau serius, sagu bisa menjadi pendukung upaya Indonesia mewujudkan swasembada pangan,” jelasnya.

Sayangnya segala potensi itu masih kabur dari penglihatan pemerintah Indonesia. Program swasembada pangan yang dimulai sejak masa orde baru hanya mengandalkan beras semata. Pangan lokal yang tersebar di berbagai daerah dan menjadi bagian identitas keberagaman nusantara dilupakan begitu saja. Awalnya program ini terlihat gilang-gemilang mengantarkan Indonesia menyandang predikat sebagai salah satu negara yang mampu mencukupi pangan dalam negeri. Tapi tanpa upaya diversifikasi jenis pangan, swasembada pangan (lebih tepatnya swasembada beras) hanyalah program yang rapuh. Akibat korupsi besar-besaran, ia ikut runtuh bersamaan dengan berakhirnya orde baru.

Pemerintah penerus kemudian seolah gugup dan gagap dalam menyikapi masalah pangan ini. Mereka seperti tidak bisa berpikir banyak saat melihat masyarakat yang telah mengalami ketergantungan beras. Demi meneruskan program ketahanan pangan, ribuan lahan diubah menjadi sawah. Di Papua hutan dibuka untuk ditanami padi. Masyarakat pemburu peramu didorong (atau dipaksa) menjadi petani. Ya, tentu saja salah sasaran. Mana bisa orang-orang yang terbiasa hidup dengan memanfaatkan hutan seketika disuruh berbudi daya.

Tetangga Asmat yaitu Kabupaten Merauke kini sedang merasakan kegagapan pemerintah itu. Lewat proyek nasional bernama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), ratusan ribu hektare hutan masyarakat adat dibabat. Wilayah kelola masyarakat Marind yang biasa menjadi tempat mereka mengumpulkan sagu, buah-buahan, sampai daging disulap menjadi lahan persawahan raksasa. Tidak sampai di situ, oleh Presiden Jokowi, MIFEE diproyeksikan akan memanfaatkan lahan seluas 4,6 juta hektare. Bisa dibayangkan, betapa gilanya proyek ini.

Cilakanya, kebijakan buka-membuka sawah ini nyatanya salah kaprah. Masyarakat Papua yang butuh dikembangkan pangan lokalnya malah dihancurkan hutannya. Sementara itu sawah-sawah yang subur di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah malah ingin dirusak sumber airnya. Petani-petani di banyak tempat dikriminalisasi. Lain lagi di Sumatera. Ada petani yang mempertahankan sawahnya dari jerat pembangunan malah ditangkap atas tuduhan menyebarkan paham komunisme. Kurang gila apa lagi pemikiran pengembang ketahanan pangan kita ini.

Sementara itu, di berbagai tempat, termasuk juga di Asmat, alam bawah sadar masyarakat terus dipengaruhi oleh kebijakan beras-isasi. Masyarakat yang dikategorikan tidak mampu disuplai beras miskin alis raskin oleh negara. Beras dengan kualitas rendah ini tidak pernah cukup menghidupi masyarakat dalam sebulan. Mereka harus tetap berusaha mencari tambahan makanan untuk menyambung hidup.

Menanam harapan pada yang lokal

Sudah saatnya pemerintah membuka mata untuk mulai memaksimalkan potensi pangan lokal kita, terutama sagu. Sudah terlalu lama potensi kita ini disia-siakan. Mimpi ketahanan pangan sangat riskan bila hanya dibebankan pada beras semata. Bukankah keragaman kita juga bersumber dari beranekanya pangan lokal kita?

Cobalah turun ke masyarakat untuk melihat (sekaligus belajar) betapa kearifan lokal yang selama ini diterapkan berhasil membuat masyarakat adat hidup selaras dengan alam. Saya rasa pemerintah lewat konsultan-konsultannya yang pandai-pandai itu harus melepaskan sedikit ego mereka. Nilai-nilai dalam kearifan lokal masyarakat adat perlu dihormati bahkan dirangkul dalam proses modernisasi sistem produksi pangan. Perpaduan antara yang modern dan yang lokal saya kira akan memberikan hasil maksimal sekaligus meningkatkan kepercayaan diri masyarakat tradisional.

Saya pernah beberapa kali mengikuti masyarakat Asmat memangkur sagu di dalam hutan keluarga mereka. Pekerjaan yang dijalankan dengan sangat tradisional ini menampilkan kekayaan tradisi yang erat dengan penghormatan pada alam. Tidak sembarangan pohon sagu yang boleh ditebang. Pada beberapa lokasi hutan, suku Asmat menerapkan metode konservasi tradisional bernama dusun keramat. Penetapan dusun keramat dilakukan untuk melindungi hutan yang menjadi bagian dari sejarah leluhur mereka. Tidak boleh ada yang merusak ekosistem di tempat keramat. Bagi yang berani melanggar, sanksinya tidak main-main: kematian.

“pelanggaran itu termasuk teser (jenis pamali paling berat dalam sistem hukum adat Asmat),” kata Walter Ewenmanam, salah satu Tetua Adat Asmat di Kampung Yepem.

Wilayah hutan yang bukan termasuk tempat keramat adalah tempat masyarakat Asmat mencari makan, mulai dari memangkur sagu sampai berburu binatang. Namun hanya hutan keluarga, atau yang biasa disebut dusun, yang boleh mereka garap. Selain itu mereka sangat memperhatikan keadaan dusun. Saat kondisi dusun dianggap mulai gundul, mereka akan menerapkan ritual pisis. Lokasi yang diberi pisis tidak boleh digarap dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada dusun yang gundul tadi untuk tumbuh kembali secara alami. Hal ini mirip dengan tradisi sasi di daerah Maluku.

Namun di balik kekayaan pengetahuan tradisional masyarakat Asmat dalam memanfaatkan hutan, teknik tradisional dalam memangkur sagu yang mereka terapkan sangatlah terasa berat. Mereka bisa menghabiskan tenaga sepanjang hari untuk menebang pohon sagu, menguliti, memangkur, sampai menyaring pati menjadi tepung sagu. Lagi pula dengan cara tersebut hasil yang didapatkan tidak terlalu maksimal. Dalam sehari dua orang hanya mampu menggarap satu buah pohon sagu. Hasil tepung sagu yang bisa dihasilkan dari satu pohon itu sekitar dua sampai tiga noken (seukuran karung beras 25 kilogram).

Di sinilah intervensi pemerintah lewat penerapan teknologi dibutuhkan. Sudah seharusnya sentra-sentra pengelolaan dibangun di lokasi yang memiliki potensi sagu yang besar. Bersamaan dengan itu pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan mereka dalam proses produksi juga harus berjalan. Dengan begitu kepercayaan diri masyarakat turut terbangun karena melihat potensi dan pengetahuan mereka ikut dilibatkan.

Pemerintah kita sudah harus mulai berpikir ulang tentang konsep “menanam” yang selama ini terus mereka paksakan dalam program ketahanan pangan. Jangan hanya membuka lahan raksasa tapi mengabaikan tata hidup yang selama ini masyarakat bangun. Kepala masyarakat perlu ditanamkan imajinasi tentang kesejahteraan lewat potensi mereka sendiri. Sumber daya alam kita sudah sangat melimpah. Hari ini waktunya menanam harapan, demi menuai kebaikan di masa depan.


*Tulisan ini terinspirasi oleh lagu Menanam milik band folk Makassar, Kapal UdaraSebelumnya dimuat di sini.


Sabtu, 11 November 2017

Menyimak Kisah di Balik Ukiran


Pada sebuah siang yang cerah di rimba Asmat tersaji tiga fragmen cerita. Pada sisi kiri terlihat dua orang yang sedang membuat ci, perahu tradisional Suku Asmat. Ci tersebut berbahan satu buah pohon utuh berjenis ketapang yang baru saja mereka tebang dengan kapak batu. Pada bagian lain, terlihat seorang pria yang sedang mendayung ci mengarungi kali untuk menuju dusun. Dusun atau lokasi hutan keluarga adalah tempat mencari makan bagi masyarakat Asmat. Di sana mereka biasa memangkur sagu, berburu sampai menjerat binatang liar. Sedangkan pada bagian ujung kanan, sepasang suami istri sedang membawa pulang hasil buruan berupa babi hutan untuk dimasukkan ke dalam bivak. Masyarakat Asmat terbiasa membangun bivak atau rumah sementara di dalam hutan pada saat pergi mengumpulkan bahan makanan dalam waktu yang lama. Rumah sangat sederhana itu bisa mereka tempati selama berhari-hari bahkan sampai berbulan.

Ketiga fragmen cerita di atas terukir apik di atas sebuah papan kayu. Pengukirnya adalah Antonius Pompin dari Kampung Amanamkai, Distrik Atsj, Kabupaten Asmat, Papua. Ukiran berbahan kayu besi tersebut dipajang di Lapangan Yos Sudarso Kota Agats saat dihelatnya Pesta Budaya Asmat ke-32 tahun ini. Dengan cekatan pria yang berasal dari rumpun Betcbamu ini menceritakan kisah di balik ukirannya kepada setiap pengunjung yang datang menghampiri.

“tiga cerita di ukiran ini menggambarkan kegiatan utama orang Asmat di dalam dusun. Saya bikin dia berurutan. Mulai dari membuat perahu, lalu dipakai pergi mencari makan di dusun, sampai bawa pulang hasil ke dalam bivak. Orang Asmat begitu sudah. Kami masih lakukan itu sampai sekarang,” kata Antonius.

Antonius dan ratusan woyipits (sebutan untuk pengukir Asmat) lainnya sedang berkumpul di Kota Agats untuk memeriahkan Pesta Budaya Asmat yang tahun ini diselenggarakan pada 19 hingga 24 Oktober. Tidak hanya menampilkan keindahan estetis, ukiran-ukiran yang ditampilkan para pengukir di festival tahunan ini juga memiliki misi lain. Ada pesan-pesan tertentu atau tata hidup tradisional orang Asmat yang ingin terus diperkenalkan kepada masyarakat luas juga para generasi penerus.

Pada sudut lain arena Pesta Budaya Asmat, saya menemui Yeremias Onampits yang berasal dari Kampung Yepem, Distrik Agats. Tahun ini karya Yeremias berhasil masuk dalam daftar 200 ukiran yang akan dilelang. Status tersebut didapatkan setelah melalui proses kurasi oleh tim kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat di tingkat kampung dan distrik.

Ukiran Asmat milik Yeremias bergaya naturalis. Menggambarkan suasana di dalam sebuah rumah tradisional Asmat. Dengan beralas tapin (tikar yang terbuat dari daun pandan), bapak, mama, dan seorang anak sedang menyiapkan makan malam berupa ulat sagu yang dibakar di atas tungku api. Terlihat pula anjing peliharaan mereka yang sabar menunggu diberi makan.

Yeremian Onampits bersama ukiran ceritanya

“Di kampung saya sudah banyak yang lupa cara membangun rumah asli seperti di ukiran ini. Padahal itu tradisi yang diwariskan leluhur. Mereka tahunya menunggu dibangunkan rumah oleh pemerintah. Rumah bantuan itu sebenarnya tidak cocok dengan kami. Kalau siang rasanya panas sekali. Saya tidak betah tinggal di rumah seperti itu,” jelas lelaki paruh baya itu.

Pergeseran bentuk hunian masyarakat adat yang dijelaskan Yeremias memang sedang terjadi di berbagai kampung di Asmat. Fenomena tersebut terutama berlaku pada kampung-kampung yang dekat dengan pusat kabupaten. Pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah, khususnya program bantuan pembangunan rumah, kurang memperhatikan kebutuhan dan nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat. Bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri tidak terlalu bermasalah. Namun bagi yang lain, hal ini membuat mereka tidak betah. Dan yang lebih parah lagi, kemadirian mereka dalam membangun rumah tradisional yang semua bahannya didapat dari hutan menjadi tergerus.

Cerita lain yang terselip dari ukiran Yeremias adalah tentang berubahnya pola konsumsi masyarakat Asmat. Sagu sebagai makanan pokok turun-temurun kini mulai terganti oleh beras yang banyak dibawa oleh pendatang. Ketergantungan dan hilangnya kemandirian sekali lagi terjadi pada cerita ini. Yeremias yang tidak ingin melihat kampungnya terlalu jauh melupakan kebiasaan leluhur kemudian menyampaikan pesan lewat ukiran. “lihat itu (menunjuk ukiran) apa yang mereka makan? Sagu, ulat sagu. Itu sudah makanan kami orang Asmat. Sagu ini harta. Sagu memberi kami kehidupan sejak masih kecil,” lanjutnya.

Misi ganda sebagai benda seni yang bernilai estetis tinggi maupun media penyampai pesan kearifan leluhur membuat ukiran Asmat mendunia. Banyak kolektor seni maupun museum di Amerika dan Eropa menjadikan patung Asmat sebagai koleksi. Seorang pengumpul ukiran di Agats yang akrab disapa Om Bahar mengungkapkan keunggulan ukiran Asmat jika dibandingkan dengan ukiran dari daerah lain, misalnya Bali atau Jepara. Menurutnya ukiran Asmat banyak diburu oleh orang luar negeri karena adanya cerita di balik setiap ukiran. “ukiran Bali sama Jepara itu memang lebih halus, tapi ukiran Asmat punya unsur sakral. Ada cerita-cerita tentang leluhur pada setiap patung yang mereka (para pengukir Asmat) bikin.”

Hal ini dijelaskan pula oleh pemrakarsa Pesta Budaya Asmat, Mgr. Alphonse Sowada lewat buku “Asmat: Mencerap Kehidupan dalam Seni.” Menurut Uskup pertama Keuskupan Agats itu, ukiran Asmat tidak hanya indah dipandang mata, tapi juga memberikan gambaran tentang kejadian masa lalu. “Melalui media kayu, seniman Asmat membuat dunia roh dan kekuatan-kekuatan magisnya yang bekerja serasi menjadi kasat indra.”

Namun di balik semua cerita akan keindahan ukiran Asmat tersebut, pelestarian benda budaya ini sempat mendapat tantangan pada tahun 1960-an hingga 1970-an. Saat itu pemerintah setempat melarang segala kegiatan budaya Asmat termasuk mengukir. Rumah adat jew yang menjadi pusat kegiatan masyarakat adat dibakar habis. Proses pemusnahan dijalankan saat itu karena pemerintah menganggap aktivitas kebudayaan Orang Asmat berkaitan dengan pengayauan dan kebiasaan perang antar kampung.

Situasi ini efektif untuk membuat para woyipits menghentikan aktivitas mengukirnya. Kampung-kampung jadi sepi dari kegiatan adat dan budaya. Pihak Keuskupan Agats lewat Uskup Mgr. Alphonse Sowada kemudian menginisiasi kegiatan lomba mengukir bagi masyarakat Asmat. Upaya tersebut berhasil meyakinkan pemerintah untuk mencabut larangannya. Menurut sebuah keterangan yang tertulis di Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, “Mgr. Alphonse Sowada, Uskup pertama Keuskupan Agats, meyakinkan pemerintah bahwa perang antar kampung dan perburuan kepala (pengayauan) bisa dihentikan tanpa harus melarang kegiatan budaya.”

Inisiasi lomba mengukir tersebut kemudian menjadi cikal bakal dari Pesta Budaya Asmat yang diselenggaran setiap tahun sampai saat ini. Kegiatan ini merupakan upaya bersama Keuskupan Agats dan Pemerintah Kabupaten Asmat, bersama seluruh masyarakat Asmat untuk melestarikan budaya.

Tahun ini Pesta Budaya Asmat mengusung tema “Jangan Padamkan Api Wayir Demi Jati Diri Asmat.” Wayir adalah tungku api utama di dalam rumah adat jew yang menjadi pusat kegiatan sosial dan religi masyarakat adat Asmat. Wayir yang terus menyala adalah lambang semangat orang Asmat untuk terus melestarikan tradisinya.

Pesta Budaya Asmat 2017
Tahun ini Pesta Budaya Asmat terasa lebih meriah dengan dihadirkannya atraksi budaya yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Selain pameran ukiran dari seluruh distrik dan demo mengukir, dihadirkan pula beberapa peragaan pesta atau ritual adat Asmat. Pada hari pembukaan (20/10) dilaksanakan eksebisi tungku api wayir sebagai pertanda dimulainya festival. Tungku api tersebut dibiarkan terus menyala sampai hari terakhir Pesta Budaya Asmat.

Pada hari berikutnya eksebisi ritual perahu ci dan manuver perahu (ci mbi) di Kali Aswet menjadi sajian yang paling menyedot perhatian pengunjung. Atraksi budaya ini diawali dengan ritual berupa nyanyian adat dan pukulan tifa sebagai simbolisasi penyemangat prajurit sebelum menuju arena perang. Perahu-perahu kemudian diarak menuju kali. Di atas masing-masing perahu terlihat seorang kepala perang yang meniupkan fu (alat musik tiup tradisional yang terbuat dari bambu) untuk memberikan aba-aba kepada prajuritnya. Sampai di kali, sekitar 20 perahu bermanuver di Kali Aswet untuk menjadi yang tercepat. Sungguh atraksi yang meriah namun tetap terasa sakral.

Ukiran Asmat yang masyhur di penjuru dunia memang tidak bisa dilepaskan dari Pesta Budaya Asmat. Bisa dikatakan ajang tahunan inilah yang paling berperan memperkenalkan karya masyarakat adat yang mendiami pesisir selatan Papua tersebut. Sebaliknya, pameran ukiran merupakan bagian paling banyak menarik perhatian pengunjung festival. “ukiran-ukiran yang dipamerkan merupakan bagian terpenting dalam Pesta Budaya Asmat ini,” kata John Ohoiwirin, salah satu panitia inti Pesta Budaya Asmat.


*Sebelumnya terbit di Locita