Kumulai sajak ini dengan menjawab tanyamu.
Perihal "cinta yang tak pernah sederhana".
Meski aku harus bersusah payah.
Kau harus tahu,
Menjelaskan hal yang tak sederhana tentu tak akan pernah sederhana pula.
Untuk itu, kugali semua ingatanku.
Tentang bagaimana negara ini dibentuk dan dibangun.
Mengemukalah "kecewa" dan "gerak" sebagai pemicunya.
Dua bumbu utama,
yang menghadirkan hidangan tak sedap bernama Indonesia.
Lalu hadir empat nama sebagai penyantapnya.
Tan Malaka, Soe Hok Gie, Wiji Thukul dan Munir Thalib.
Kau pun tentu mengenal keempatnya.
Mereka menikmati betul suap demi suap kesakitan pada tiap zamannya.
Tan lahir di ufuk kemapanan.
merangkak menuju siang,
menemui kenyataan getir bangsanya terjajah.
Sejenak tergelincir ke timur,
menggenggam kemerdekaan yang tak pernah Ia tahu.
Sebelum akhirnya tenggelam di ujung senapan republiknya sendiri.
Gie pemuda yang menolak menjadi biasa.
Ia penentang bapak bangsa yang berubah menjadi tiran.
Baginya, tak boleh ada kotak dalam kotak besar Indonesia.
Sayang, ia terlalu muda untuk berakhir.
Di puncak Jawa dalam kesepian,
Ia menukar nafas terakhirnya dengan kesakitan yang lain.
Wiji tak punya tenaga raksasa.
Tapi ia punya puisi panas yang siap menampar.
Kesemenaan rezim yang lapar kuasa.
Saat kemerdekaan dijalankan dengan keterjajahan,
baginya, "hanya ada satu kata: LAWAN!"
Munir bukan yang terbaik di dalam kelas.
Maka Ia lahirkan medannya sendiri.
Jalan kemanusiaan Ia lalui untuk menjadi berarti.
Memancing jiwa kebinatangan untuk menyerbunya.
Pada akhirnya, Ia menyerah di langit yang bukan negaranya.
Meninggakan hati dan pikiran yang berikrar untuk menjadi humanis.
Tan, Gie, Wiji dan Munir terlahir dari rasa kecewa.
Pada kenyataan yang bermufakat dengan kejahatan.
Tan, Gie, Wiji dan Munir berontak lewat gerak.
Menerabas kelam, menghidupkan lilin harap.
Diantara "kecewa" dan "gerak" Tan, Gie, Wiji dan Munir,
Kuyakin ada mantra ajaib bernama "cinta".
Kalau tak begitu, Aku tak percaya mereka bisa melawan.
"Cinta" yang membuat mereka kuat.
"Cinta" yang telah meneguhkan mereka.
Bukankah kita pun seperti itu?
Generasi masokis yang semakin mencintai ketika tersakiti.
Negara ini menyiksa kita sebegitu jadinya.
Tapi kita selalu punya alasan untuk terus membelanya.
Melalui gerak-gerak kecil yang semoga berguna.
Mungkin itu pembelaanku atas pertanyaanmu.
Semoga kau mengerti,
dengan sederhana.