Senin, 24 Desember 2012

Terjebak di Pulau Cangke'


Lupakan kiamat yang benar-benar tidak-benar-terjadi. Tanggal 21 Desember yang lalu, saya bersama teman-teman asrama mengunjungi sebuah pulau cantik bernama Cangke’. Kalau Ray D’ Sky begitu bersyukur karena pernah terjebak di pulau yang indah, saya rasa sayapun telah merasakannya ketika berada tiga hari disana.



Pulau Cangke' terletak di gugusan pulau-pulau kecil Sulawesi Selatan. Daerahnya masih termasuk wilayah administrasi Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Demi efisiensi waktu dan ongkos kami memulai perjalanan melalui Pelabuhan Paotere Makassar. (Mungkin) satu-satunya moda transportasi yang dapat digunakan untuk mencapainya hanya dengan kapal penumpang tradisional. Belum ada jadwal transportasi reguler kesana. Jadi jika ingin berkunjung kita harus menyewa kapal beberapa hari sebelum keberangkatan. Itupun harus dalam rombongan berjumlah minimal lima orang, kalau saya tidak salah.

Langit sudah gelap ketika kami tiba di Pulau Cangke'. Namun, dari atas dermaga kami masih dapat melihat dasar laut yang tidak seberapa dalam. Bulan memang bersinar cemerlang malam itu. Kami langsung saja menyambangi rumah sang penjaga pulau, Daeng Abu namanya. Pulau ini hanya dihuni oleh empat orang yang sudah cukup berumur. Selain Daeng Abu dan istrinya, masih ada sepasang suami istri lainnya yang masih keluarga dekat Daeng Abu. Kesemua mereka bertugas secara sukarela untuk menjaga dan merawat pulau kecil tanpa tenaga listrik ini.

Hanya sebentar kami berbincang sebelum Daeng Abu menginzinkan kami mencari tempat untuk membangun tenda penginapan. Sisa malam kami lalui dengan menikmati kopi hangat sambil berbincang tentang keindahan pulau yang akan kami lihat esok pagi. Bahkan ada beberapa teman yang mengaku tak bisa tidur saking penasarannya.

Akhirnya pagi benar-benar datang. Langit tak begitu cerah, namun tak menghalangi kami untuk segera masuk ke dalam air. Hari Sabtu itu sungguh menjadi hari yang mewah. Kami serasa memiliki pulau pribadi. Tak ada pengunjung lain. Tak ada ribut ataupun polusi khas kota. Yang ada hanya pantai, matahari dan bersenang-senang.

Semua asyik dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang berenang, ada yang sibuk mengambil gambar dengan kameranya, sedang yang lain bersenang-senang di tengah laut sambil memancing ikan menggunakan perahu kecil. Semua akan kembali berkumpul pada waktu makan. Setelah itu, ya kembali bersenng-senang lagi dengan segala hal yang bisa dilakukan. Begitulah siklus kegiatan kami sampai begitu tak terasa langit berganti gelap.

Malam terakhir tak begitu menyenangkan. Langit mendung, angin kencang dan hujan datang menggangu. Beberapa teman mulai mengungsi ke rumah kosong yang dipinjamkan secara cuma-cuma oleh Daeng Abu. Sedang saya dan beberapa teman yang lainnya tetap kekeuh untuk tidur di dalam tenda. Pukul sepuluh malam kami sudah tertidur. Mungkin karena kecapaian karena aktifitas sepanjang siang sebelumnya.

Tapi sial bagi saya karena terbangun di tengah malam dalam keadaan kelaparan. Kacaunya tak banyak makanan yang tersisa. Ya sudalah, untuk membuang kebosanan karena belum bisa kembali tidur, saya memutuskan untuk berkeliling pulau sendirian. Agak takut juga sebenarnya. Tapi saya penasaran dengan cerita Daeng Abu yang mengatakan bahwa sekarang ini adalah musim bertelur bagi penyu sisik di pulau itu. Tapi setelah berkeliling pulau, yang hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit, saya tak mendapatkan penyu tersebut. Mungkin karena langit sedang tidak cerah.

Karena benar-benar telah kecapaian, saya kembali ke dalam tenda. Kali ini tidur saya pulas sampai pagi.


Bonus hari terakhir di Pulau Cangke’ adalah langit cerah yang menampakkan matahari yang begitu jingga. Sayang, kami harus berkemas karena kapal akan segera datang menjemput pagi itu juga. Kurang lebih pukul sembilan kapal tampak datang. Setelah berpamitan dengan Daeng Abu dan koleganya, kami pun menuju dermaga. Tak beberapa lama kemudian kapal mulai bergerak meninggalkan Pulau Cangke’. Lambaian perpisahan mengiringi kepulangan kami, tentu dengan harapan suatu saat kami akan kembali bertemu dengan keindahan pulau dan kebaikan hati orang-orang disana.

Tulisan ini juga dapat dibaca di Detik Travel

Selasa, 18 Desember 2012

Pusat Gema Unhas


Mungkin belum banyak yang tahu. Sebenarnya saya pun baru mengetahuinya, bahwa ada pusat gema di kampus Unhas. Letaknya tepat di tengah-tengah dermaga danau yang terdapat di depan Gedung Ipteks Unhas. Jika biasanya gema akan terjadi bila sedang berada di dalam gedung tertutup, tapi suara kita akan terdengar terpantul apabila berteriak tepat di titik tengah dermaga danau Unhas tersebut.

Penasaran? Sila coba sendiri. Saya, sejak mengetahuinya, sudah sangat sering singgah dan berteriak-teriak disana.

Kamis, 18 Oktober 2012

Akhirnya Soundrenaline

Panggung utama Road To Soundrenaline di Makassar

Yak, walaupun hanya sebuah rangkaian 'road to', akhirnya saya berhasil menyaksikan salah satu konser impian saya: Soundrenaline. Saya sudah memimpikannya sejak SMA, sekitar tahun 2005 lalu. Saya kira, semua pecinta dan penikmat musik bagus di Indonesia juga berhasrat untuk hadir pada pagelaran musik populer terbesar yang telah dilaksanakan sejak tahun 2002 ini.

Soundrenaline tahun ini mengusung tema Rhythm Revival. Sebelum big bang puncak dilaksanakan di Jakarta November nanti, lebih dulu diadakan rangkaian 'road to' ke tiga kota: Palembang, Surabaya dan Makassar. Untuk Makassar, panitia menghadirkan enam unit rock untuk memuaskan rasa penasaran jamaah musik keras kota Makassar. Mereka adalah Koil, Deadsquad, Seringai, Netral, Andra and The Backbone dan Slank.

Koil yang menjadi band pembuka sempat kecewa karena manusia di arena konser belum seberapa. "Sabar saja. ada kalanya kita menjadi band pembuka dan ada kalanya kita menjadi band pembuka untuk selamanya." dengan nada sedikit bercanda, Otong sang vokalis melontarkan kalimat pembukanya, setelah membawakan sebuah lagu. Kepuasan dari penonton juga kurang maksimal karena suara Otong "agak serak-serak drama". Penampilan mereka ditutup setelah Otong sukses menghacurkan gitarnya di penghujung lagu Kenyataan Dalam Dunia Fantasi.
Setelah Koil, konser break sholat maghrib-isya.

Soundrenaline "baru benar-benar dimulai" setelah rehat sholat. Venue langsung terisi padat ketika Deadsquad terlihat di panggung. Moshing sudah terjadi saat "Pasukan Mati" diteriakkan. Saya pun mulai terpancing. Hasrat hati ingin bergabung di moshpit, apa daya tenaga tak sampai. Siang sebelum menuju ke tempat acara, energi sudah terporsir untuk bermain futsal bersama teman-teman. Deadsquad menutup penampilan mereka dengan "Manufaktur Replika Baptis".

Setelah itu, giliran Seringai yang menggempur Makassar. Band ini adalah alasan utama saya menghadiri Road To Soundrenaline Makassar. Setelah batal menonton mereka di Malang bulan Juni lalu, kali ini rasa rindu saya terobati. "Dilarang di Bandung" menjadi pembuka. Moshpit semakin memanas. Saya semakin menyesal karena kurang bertenaga untuk bergabung. Hanya singing-along dan jejingkrakan kecil yang bisa dilakukan. Lagu-lagu kesayangan pun sukses dibawakan. "Berhenti di 15", "Mengadili Persepsi", "Citra Natural" dan juga hits dari album Taring, "Tragedi. Tenaga benar-benar saya habiskan dibagian Seringai ini.

Setelah itu saya sudah kurang bersemangat. Walau venue semakin ramai, namun penampil berikutnya sudah tidak terlalu menarik perhatian saya. Netral, Andra and The Backbone lalu Slank berlalu begitu saja. Saya dan teman-teman sempat dipersilahkan masuk ke snake pit pada sesi Andra and The Backbone. Saya berdiri tepat dihadapan Andra sang gitaris. Lumayan lah buat ambil gambar :)

Road To Soundrenaline di Makassar ditutup oleh penampilan band yang paling banyak ditunggu, Slank. Tak kurang dari dua puluh lagu dibawakan untuk memuaskan hati para Slanker yang datang dari berbagai daerah pada event tersebut. Saya sendiri sudah kurang memperhatikan. Saya sudah berada di booth makanan untuk menunggu teman-teman yang lain. Mereka mendadak jadi Slanker malam itu dengan ikut berbasah-basahan ria.

Selesai sudah. Saya dan Asdi beranjak pulang dengan vespa. Walau helm sempat dicuri dan dalam perjalanan tali gas sang vespa terputus, hati kami tetap bahagia karena konser impian sejak SMA akhirnya terwujud.



Jumat, 05 Oktober 2012

Tanggung Jawab

Sederhana saja sebenarnya. Saya adalah tipe orang yang akan akan sangat sulit untuk berkonsentrasi apabila sudah diperhadapkan pada banyak permasalahan ataupun tanggung jawab.

Mungkin sudah menjadi takdir bagi seorang mahasiswa semester tujuh yang baru saja pulang KKN, ia akan dicecar pertanyaan yang akan selalu mendebarkan: Kapan Sarjana? Kalau sudah begitu, dunia kampus pun segera berubah menjadi tempat yang sangat menakutkan. Seakan-akan ada ribuan zombie yang siap mencekik apabila kita tak segera menemukan pintu keluar. Sungguh mengerikan.

Sudah sebulanan ini saya melihat pemandangan itu. Beberapa teman seangkatan mulai sibuk menenteng map besar nan tebal berisi berkas-berkas persiapan proposal skripsi. Dari langkah mereka, sungguh terlihat perasaan yang tidak santai lagi. Semua serba dipercepat. Seakan-akan mereka memiliki tenaga ekstra untuk terus berjalan. Semua itu demi satu tujuan: Sesegera mungkin keluar dari arus menakutkan tersebut alias lulus.

Sungguh sial, saya pun sempat tertular sindrom itu. Jujur saja, saya juga sempat panik melihat perubahan tersebut. Beberapa langkah persiapan yang tentu saja menguras tenaga dan waktu tersebut sudah sempat saya lakoni. Larut dalam perlombaan Mengejar-Wisuda-Secepat-Mungkin tanpa sadar bahwa ada beberapa tanggung jawab yang telah diambil dan tentu saja perlu untuk ditunaikan.

Dari situ saya tersadar. Seperti bangun dari mimpi buruk, saya segera mencuci muka lalu memantapkan hati untuk menepikan dulu segala tetek-bengek tugas akhir. Judul skripsi yang sudah terlanjur diterima saya endapkan sementara di map besar dan tebal yang juga sudah terlanjur terbeli. Ada hal besar dan tak kalah penting yang harus diselesaikan. Organisasi masih membutuhkan saya.

Tanggung jawab yang pertama dan tentu saja yang paling utama terdapat di LP2KI. Organisasi ini sudah menjadi semacam rumah bagi saya selama masa kuliah tiga tahun di Fakultas Hukum Unhas. Dan setahun belakangan ini saya dipercayakan untuk memimpin rumah ini. walau pada awalnya tanggung jawab ini saya terima dengan berat hati, tapi dalam perjalanan saya terus berusaha seikhlas mungkin mengemban kepercayaan tersebut. Dan itu semua akan selesai di bulan November nanti, pada Musyawarah Besar LP2KI.

Sementara itu, saya juga masih punya pekerjaan dari ILSA Unhas. Olehnya saya dipercayakan untuk memimpin persiapan sebuah seminar yang bekerjasama dengan perwakilan PBB di Indonesia. Seminar tentang ‘Refugees’ ini akan kami laksanakan pada 17 Oktober nanti. Saya menerima tanggung jawab ini karena suka dengan tema kegiatannya. Selain juga sebagai bentuk terimakasih kepada lembaga ini karena mengajarkan banyak hal dan mempertemukan saya dengan orang-orang baik di dalamnya.

Yang lainnya, saya juga sedang terlibat pada sebuah penelitian beberapa dosen. Berdua dengan Chua, kami membantu mengumpulkan beberapa data penelitian yang dibutuhkan. Tapi sepertinya tanggung jawab saya di sektor ini sudah rampung. Penelitian tersebut sudah masuk pada tahap penyelesaian. Tentu saja ini kabar melegakan.

Ya, begitulah. Semua yang telah dimulai sudah semestinya diakhiri bukan.

Kamis, 06 September 2012

Keadilan

- Terbuka untuk para pembunuh Munir, siapapun kalian, dimanapun berada.
Sewindu sudah berlalu, selama itupun kami tak tahu. Entah sekarang sedang tertawa lepas atau kalian masih saja cemas. Tentang peristiwa peracunan di udara itu. Sungguh kami tak tahu.

Yang kami tahu adalah, kalian telah melenyapkan apa yang bermakna kekuatan dan keberanian bagi kami: Munir!

Ia tak pernah salah. Bahkan ia membela mereka yang terpaksa pasrah. Tapi ternyata, tindakan itu sungguh menakutkan. Semua tindak pembebasan adalah gelap di mata kalian.

Kemudian kalian atur sebuah konspirasi besar. Permufakatan jahat bersenjatakan beberapa tetes arsenik.

Tapi niat melumpuhkanlah yang sungguh beracun. Ia datang dari hati, lalu naik ke ubun-ubun. Meruntuhkan semua rasa kemanusiaan yang tersisa.

Apa mau dikata, jihad bernama Munir harus berhenti. Semua juga tahu, seorang pahlawan haruslah mati. Tentu di medan perjuangannya sendiri.

Beberapa waktu berlalu, keadilan sebenarnya tak juga datang. Kalian tetap bernapas lega di balik jubah hitam kebencian.

Kami pun mafhum, keadilan itu sungguh rumit. Kami sadar betul, kami berada di sebuah negara yang menampakkan keadilan seperti rembulan: indah terlihat namun sungguh jauh untuk diraih.

Tapi semangat sang pahlawan haruslah tetap menyala. Agar kebencian dan kemunafikan tak akan lama bertahta. Dengan begitu kengerian yang kalian sebar akan segera menemui ajalnya. Kami yakin, ia telah berada di ujung senjakalanya.

Dan ingatlah, sesungguhnya Munir tak pernah benar-benar mati. Ia tetap hidup, berlipat beribu-ribu kali, dalam tiap diri kami.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Banda Neira


Kali ini cuma mau bilang, saya lagi suka dengan Banda Neira. Banda Neira yang satu ini bukan nama pulau eksotis tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir di jaman kolonialisme dulu. Tapi Banda Neira yang ini adalah nama sebuah duo/band yang baru saja merilis album mini mereka. Musik mereka menarik saya kira. Folk sederhana namun mengena. Vokal Ananda Badudu apalagi Rara Sekar saya kira tidak bisa dianggap remeh, walau aku mereka proyek ini hanya iseng belaka. Isian lirik juga mantap untuk sebuah album perkenalan. 'Ke Entah Berantah' adalah lagu favorit saya di album mereka ini.

Lebih Lengkapnya, baca saja profil mereka di bawah ini:
Banda Neira adalah proyek iseng Rara Sekar & Ananda Badudu. Dulu ketika tinggal di Jakarta Rara Sekar adalah aktivis Hak Azasi Manusia di LSM Kontras. Kini ia hijrah ke Bali dan jadi pegiat sosial di organisasi non profit Kopernik. Kerjaanya, membagikan teknologi tepat guna untuk memberdayakan masyarakat di berbagai tempat. Sementara Ananda Badudu, dulu, kini, dan nanti adalah wartawan harian di Tempo. Kerjaanya, setiap hari keliling Jakarta mencari berita.

Siapapun tahu hidup di Jakarta akan terasa penat jika tak diselingi kegiatan-kegiatan menghibur diri. Oleh karena itu keduanya sepakat membentuk band. Formatnya sederhana saja, dua orang dan satu gitar. Kadang ada xylophone mainan nyempil. Atau impersonisasi terompet berhubung tak punya alat sesungguhnya. Meski formatnya dua orang, mereka menolak disebut duo, inginnya disebut band. Tak tahu pasti apa maksudnya.

Sejak terbentuk pada akhir Februari lalu, Banda Neira baru dua kali manggung dan sekali mengecap studio, yakni pada saat rekaman saja. Tapi latihan lumayan sering. Karena format sederhana, latihan pun bisa di mana saja. Bisa di atap kos-kosan, di ruang fitnes kedap suara, di warung sepi pengunjung, hingga rerumputan taman kota.

Tak disangka proyek iseng berlanjut terus. Pada suatu hari, sebelum Rara Sekar hijrah ke Bali, keduanya nekat menyewa studio Aru untuk merekam empat lagu yang mereka punya. Jadilah album EP (Extended Play) yang di kemudian hari dinamakan “Di Paruh Waktu”. Karena lirik lagu Banda Neira kebanyakan nelangsa, maka disebutlah genrenya nelangsa pop.

Kini Rara Sekar tinggal di Ubud, Bali, dan Ananda Badudu masih di Mampang Prapatan, Jakarta. Tapi katanya Banda Neira tidak vakum alias tetap jalan. Nanti mungkin ada lagu-lagu lain, yang kalau sudah PD akan ditaruh juga di soundcloud. Hehehe. Sekian ceritanya dan terimakasih telah berkunjung ke soundcloud kami.

Salam, Banda Neira
8 Agustus 2012

*NP: Banda Neira adalah nama pulau yang berada di Maluku, bagian Timur Indonesia. Pada masa perjuangan kemerdekaan, beberapa pejuang dan bapak penemu bangsa sempat dibuang oleh Belanda ke sana. Di antaranya Sjahrir dan Hatta. Banyak cerita menarik yang ditulis Sjahrir tentang Banda Neira. Dari catatan hariannya orang bisa tahu ia tak merasa seperti orang buangan ketika diasingkan ke sana. Barangkali karena pulaunya luar biasa indah dan masyarakatnya menarik. Sementara Hatta sibuk baca buku, Sjahrir asik bermain dan mengajar anak-anak setempat. ”Di sini benar-benar sebuah firdaus”, tulisnya di awal Juni 1936. Dari pulau dan cerita inilah kira-kira nama band ini diambil.
 Untuk menikmati lagu-lagu mereka, bisa disini

Jumat, 17 Agustus 2012

Indonesia Tanpa Kebebalan

Yang marah bila kaumnya dizalimi seharusnya juga tak diam bila kaumnya menzalimi. - Goenawan Mohamad

Hari ini Indonesia memperingati kemerdekaannya. Tepat enam puluh tujuh tahun yang lalu negara kita ini mencapai klimaks perjuangan, lepas dari penjajahan kolonialisme. Persis, di hari Jumat dan bulan Ramadhan seperti yang terjadi pada hari ini.  Tak salah kalau peringatan kemerdekaan tahun ini sungguh istimewa. Walau dibayangi oleh Lebaran yang tinggal dua hari lagi.

Namun beberapa hari yang lalu – atau beberapa minggu yang lalu, saya sempat dibuat jengkel oleh berita-berita yang sungguh menggangu bagi saya. Tak habis pikir, menjelang peringatan tujuhbelasan kok malah banyak orang-orang yang berniat memecah persatuan negara. Masih ada saja orang-orang berpikiran kerdil yang terus membesar-besarkan perbedaan. Yang paling menyedihkan, mereka melakukan itu bahkan dengan kekerasan yang mereka anggap telah didalilkan oleh agama.

Dimulai dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) berlabel Islam (sebut saja FPI) yang ada di Makassar. Atas dasar solidaritas terhadap etnis muslim Rohingya di Myanmar, mereka mendatangi lalu melempari Klenteng Xian Ma yang terletak di Jalan Sulawesi. Ini sungguh bodoh menurut saya. Kentara sekali teman-teman FPI ini tidak mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Logika yang mendasari tindakan mereka pun salah kebablasan menuru saya.

Organisasi ini memang terkenal sebagai biang kerusuhan. Organisasi berbasis Islam yang lebih mirip geng preman. Kalau sudah begitu kenapa masih dipertahankan? Negara melalui segenap perangkat peraturannya seharusnya sudah mengambil tindakan tegas. Bubarkan!!!

Beberapa hari sebelum insiden pelemparan klenteng di Makassar tersebut, terjadi penyebaran isu SARA di sebuah mesjid di Jakarta. Pelakunya -- dengan berat hati saya katakan, Haji Rhoma Irama. Dengan maksud membela Foke untuk jadi gubernur Jakarta, si Raja Dangdut ini menghimbau masyarakat untuk tidak memilih orang kandidat tertentu. Suatu kaum haram dipimpin oleh orang dari luar kaumnya. Begitulah kira-kira anjuran Bang Oma ini.

Mungkin Rhoma Irama sudah lupa bahwa ia pernah menyanyikan sebuah lagu yang liriknya begitu menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas. “Lebih dari dua ratus juta jiwa penduduk Indonesia//Terdiri dari banyak suku bangsa itulah Indonesia.” Kira-kira seperti itu lirik lagunya. Kini, entah atas dasar kepentingan apa, ia melupakan semua itu. Menjual keutuhan bangsa pun jadilah.

Belum lagi slogan “Pluralisme? Injak Saja!” yang baru-baru ini dikumandangkan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL. Saya sih tidak ada masalah dengan gerakan ini. toh saya pun bukan simpatisan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mereka tentang itu. Tapi slogan yang kalian gadang-gadang itu sungguh menyedihkan menurut saya. Apalagi maksud dari “Pluralisme? Injak saja!” itu kalau bukan “Suku-Agama-Ras-Antar golongan lain? Injak Saja!”

Pluralisme niscaya kita butuhkan untuk menyatukan Indonesia yang pluralis ini. bukannya perjuangan kemerdekaan negara kita tidak hanya dilakukan oleh satu Suku-Agama-Ras-Antar golongan saja? Sungguh payah kalau masih ada orang-orang yang terus membesar-besarkan perbedaan ditengah keindahan hidup berdampingan seperti hari ini.

Ketiga peristiwa sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia tersebut sungguh sebuah kebebalan yang masih saja terus dipelihara. Sikap yang tidak siap untuk berkembang menurut saya.

Semoga segelintir orang saja yang berpikiran seperti itu. Dan semoga penghasut dan biang keributan seperti itu segera pergi dari Indonesia.

Dirgahayu Indonesia-ku. Tetaplah utuh. Acuhkan jauh-jauh orang-orang yang ingin mengkotak-kotakkanmu. MERDEKA!!

Rabu, 08 Agustus 2012

Tulisan Musik Pertama: "Kamar Gelap - Efek Rumah Kaca"

Ternyata saya mulai coba-coba membuat tulisan musik sejak Agustus 2009. Hal ini saya sadari setelah membuka beberapa catatan di akun Facebook saya. Tulisan musik pertama saya waktu itu adalah tentang album Kamar Gelap milik Efek Rumah Kaca. Tulisan itu sungguh kacau. Saya sampai tertawa geli ketika membaca bagian di beberapa paragraf.

Tapi untuk mengenang tulisan musik pertama, saya akan me-repost tulisan tersebut disini. Selamat membaca. Selamat menertawai.

***

Sebenarnya album kedua dari Efek Rumah Kaca (ERK) ini udah rilis dari akhir 2008 kemarin, tapi aku masih selalu menikmati setiap mendengarkan lagu2 dari album ini. Aku juga masih slalu menemukan hal2 baru dan mendapatkan kenikmatan setiap kali mendengar lagu2 di album ini.

Album kedua ini hanya berselang kurang lebih stahun dengan album perdana mereka. Di dalam album Kamar Gelap ini terdapat 12 lagu yang terdiri dari tema2 yang sangat variatif.

Dibuka oleh "Tubuhmu Membiru Tragis". Kita akan disuguhi lagu yang misterius namun menenangkan. Dengan balutan jazzy yang lembut di awalnya, suara gitar yang monoton membawa kita ke akhir lagu.

Jangan sampai anda tertidur saat mendengarkan "Tubuhmu Membiru Tragis". Karena anda pasti akan dibangunkan oleh lagu "Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa". Ya di lagu ini musik rock akan dimainkan oleh ERK yang mengaku pure pop.

Meneriaki para pemegang kekuasaan lewat "Mosi tidak percaya". Di lagu ini kita diajak untuk menumpahkan sgala kegelisahan ketidakadilan. Menuntut pembebasan kebodohon, kejujuran, perubahan serta teriakan putus asa dari kaum yang tertindas.

"Lagu Kesepian" adalah curahan hati tentang rasa rindu yang mengganggu dan tak kunjung terobati. Dengan lirik yang tidak cengeng serta sangat mewah. Tidak seperti ode pengusir rindu murahan yang sedang bertebaran di negara ini.

"Hujan Jangan Marah" adalah sebuah teriakan minta tolong akan sgala sesuatu yang terjadi di negara kita ini. Negara yang sedang terpuruk. Berharap ada semangat yang masih tersisa untuk bangkit.

Menyinggung kaum puberitas yang terperangkap di tengah era canggihnya informatika lewat lagu "Kenakalan Remaja di Era Informatika". Betapa para remaja seenaknya berbuat negatif tanpa memikirkan sebabnya. Di lagu ini juga ERK ingin menunjukkan diri mereka yang pure pop.

Menggugah semangat nasionalisme yang mulai payah lewat lagu "Menjadi Indonesia". Di lagu ini dijelaskan bahwa masih banyak cara untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah kebanggaan.

"Kamar Gelap" mengajak kita untuk tidak pernah melupakan sejarah hidup. Tapi menjadikan sejarah itu sebagai bagian dari komposisi hidup sekarang. Dengan musik low beat di awal dan mulai bertenaga di tengah sebelum kembali melemah di akhir.

"Jangan Bakar Buku" Menggambarkan musnahnya minat terhadap buku. Buku sebagai pembuka jendela dunia dianggap sudah habis dan hangus terbakar. Distorsi di tengah lagu ini seakan mengajak kita kembali untuk mencintai benda ilmu itu.

Harapan2 semu di kota diceritakan di lagu "Banyak Asap di Sana". Lewat lagu ini pula digambarkan nyatanya diskriminasi. Yang kaya smakin kaya, yang miskin smakin miskin lah ceritanya.

Lagu cinta yang belum pernah terungkap diceritakan di lagu "Laki-Laki Pemalu". Betapa seorang lelaki yang menyukai seorang gadis namun tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Hanya bisa terus memuja di dalam rahasia sambil berharap sang gadis mengerti hatinya.

"Balerina" menutup album ini dengan sempurna. Kehidupan manusia diibaratkan seperti seorang balerina yang riang dan gembira.
Kamar Gelap - Efek Rumah Kaca
1. Tubuhmu Membiru Tragis.
2. Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa.
3. Mosi Tidak Percaya.
4. Lagu Kesepian.
5. Hujan Jangan Marah.
6. Kenakalan Remaja di Era Informatika.
7. Menjadi Indonesia.
8. Kamar Gelap.
9. Jangan Bakar Buku.
10. Banyak Asap di Sana.
11. Laki-Laki Pemalu.
12. Balerina.
*Diambil dari catatan Facebook pribadi, disini

Minggu, 05 Agustus 2012

Celoteh Pinggir


Tarakan, 1 Agustus 2012

Yak, akhirnya saya menginjak rumah di Tarakan lagi, setelah dua tahun tak pulang.

Sebelum benar-benar sampai di rumah saya menyempatkan diri singgah di Gramedia terlebih dulu. Sekalian menemani Atri membeli buku untuk teman perjalanan yang masih dua hari lagi sebelum sampai di Makassar. saya sendiri membeli dua buku siang itu. Pertama, Celoteh Soleh, buku yang berisi kumpulan tulisan yang diambil dari blog pribadi pengarangnya, Soleh Solihun. Kedua, Catatan Pinggir 8. Juga kumpulan tulisan, milik Goenawan Mohamad (GM). Tapi ini diambil dari Majalah Tempo yang terbit antara Juli 2005-Juli 2007. Kedua buku inilah yang akan menemani saya selama di Tarakan. Juga sebagai pengganti rasa tidak enak karena belum tergugah untuk membaca Al-Qur’an sepanjang bulan Ramadhan ini.

Selain sama-sama diambil dari kumpulan tulisan yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya, persamaan kedua buku ini adalah pengarang keduanya merupakan penulis favorit saya. Walau karakteristik tulisan diantara Soleh dan GM jelas berbeda.

Tulisan Soleh, sejauh yang saya baca di blog pribadinya atau di Majalah Rolling Stone, bersifat santai. Kekuatan tulisannya terletak pada alur cerita yang mengalir. Membaca tulisan Soleh, kita seperti sedang mendengar seseorang yang bercerita. Penggunaan istilah tulisan, pada bidang musik misalkan (Soleh Solihun adalah seorang Jurnalis Musik) beragam tapi masih bisa dimengerti. Ditambah sesekali selipan lelucon segar membuat tulisan yang dihasilkannya selalu menarik untuk dibaca.

Kalau GM lain lagi. Tulisannya selalu istimewa bagi saya. Oleh Bambang Sugiharto yang menulis catatan pengantar pada Catatan Pinggir 7, GM dijuluki sebagai Dukun Bahasa. Tentu karena kata dan bahasa dalam setiap tulisan GM mempunyai kekuatan, yang “nyaris magis”, kata Bambang Sugiharto. Yak, itulah ciri khas dari tulisan GM. Bagi yang sudah sering membaca tulisannya, pembaca tersebut akan tahu bahwa tulisan yang sedang ia baca adalah milik GM, bahkan sebelum ia melihat nama penulisnya. Saking gaya menulis seperti GM memang sulit mencari padanannya.

Dan, sambil menunggu teman-teman SMA yang belum sampai di Tarakan, Celoteh Soleh dan Catatan Pinggir 8 akan menemani saya.

Jumat, 03 Agustus 2012

Yang Akan Dirindukan Di Sei Pancang #1

Oleh:
Muhammad Tajrim (Akuntansi FEB/2009)

Lagu-Lagu Pengantar Pulang

Sungguh tidak terasa, sudah lebih dari dua tahun saya tidak menginjak rumah di Tarakan. Terakhir saya melakukannya pada sebuah libur semester di tahun 2010. Selama kuliah ini, pulang rumah bukan lagi sebuah kebiasaan. Ia sudah menjadi semacam ritual yang begitu sulit dilakukan.
 
Setiap tahun, di waktu-waktu yang memberikan kesempatan untuk kembali ke rumah, selalu saja ada alasan pembenaran untuk tidak pulang dulu. Pekerjaan di organisasi kampus. Kegiatan sosial bersama kawan-kawan. Yang paling klasik, duitnya terlalu mubazir dihabiskan hanya untuk terlalu sering pulang rumah.

Tapi jujur saja, keinginan itu selalu muncul hampir setiap tahun. Antiklimaks memang dengan keinginan menggebu-gebu untuk meninggalkan rumah selepas SMA dulu.

Dan tengah tahun ini saya tak dapat mengelak lagi. Saya harus pulang! Ego besar di luar rumah harus dikesampingkan dulu. Jarak pun tak memungkinkan lagi bagi saya untuk mengelak. Selepas mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Sebatik, Kal-Tim, ternyata belum ada rencana follow up di Makassar. Jadilah kapal mengantar saya hanya sampai di Pulau Tarakan. Rombongan yang lain akan berlanjut sampai Pare-Pare dan Makassar.

Untuk perjalanan pulang tahun ini saya memilih lima buah lagu yang semakin memantapkan setiap langkah saya menuju rumah. Sebenarnya lagu-lagu ini pulalah yang membuat saya semakin rindu keluarga setiap kali mendengarnya.

Ah, tanpa panjang lebar lagi, berikut lagu-lagu pengatar pulang dari dan bagi saya;

·     Andien – Pulang

Memang tema besar lagu ini adalah tentang kerinduan kepada pasangan. Namun, bagi saya lagu ini sangat mampu untuk membangkitkan romantisme kebersamaan dengan keluarga. Setiap kali mendengarnya, ingin rasanya langsung berada di rumah. Kehangatan kebersamaan dengan orang-orang terkasih sangat terbangun di nomer ini.

Pop-jazzy menambah syahdu tembang Pulang. Suara emas Andien, yang memang salah satu solois wanita terbaik di genre-nya melengkapkan daya tarik lagu ini.
Hari ini sayang aku akan pulang
Berlabuh di dekap cintamu
Karna pelukmu akan selalu
Membuat diriku jatuh cinta

·     Dialog Dini Hari – Ku Kan Pulang

Jika berbicara tentang waktu, terkadang memang tidak pernah terasa, ternyata sudah cukup lama kita pergi dari rumah. Tiba-tiba saja kita akan sampai pada satu titik dan terbersit rasa untuk kembali. Ku Kan Pulang bercerita tentang itu. Tentang bagaimana rasa rindu tiba-tiba saja datang dan terus memanggil kita untuk pulang. Tapi tetap saja kita akan selalu harus mencari waktu yang tepat. Dan waktu yang tepat bagi saya ya saat ini.

Dialog Dini Hari sangat pintar meramu musik dan lirik menjadi sebuah lagu yang begitu menyentuh. Dengan balutan folk minimalis, Ku Kan Pulang dapat menjadi lagu yang memiliki daya bunuh maksimal. Trio asal Bali ini mulai menjadi salah jaminan mutu bagi musik Indonesia saya kira.
...Lamakah aku pergi
Hingga tak sadar beribu kisah ingin ku bagi
Berilah aku waktu sebentar lagi
Ku kan pulang
Pulang ke rumah
Berilah waktu
Sabar menunggu...

·     Quasi – For Mom and Dad & Lazy Room – Take Me Home

Impian terbesar saya selepas lulus SMA dulu adalah pergi sejauh mungkin dari rumah. Rasa bosan dan ingin belajar mandiri menjadi alasan utama. Gayung bersambut, orang tua mengizinkan niatan saya tersebut. “Bebaslah saya”, pikir saya waktu itu.

Namun tak cukup lama sebelum tembok pertahanan saya runtuh. Saya memang bebas untuk melakukan segala kegiatan secara mandiri. Tapi rasa-rasanya kok ada yang hilang. Tak lain hal itu adalah kehangatan keluarga.

Saya rasa hal tersebut juga menjadi latar terciptanya For Mom and Dad dan Take Me Home ini. Dua lagu ini setipikal sebenarnya. Sama-sama bercerita tentang kerinduan dalam kesederhanaan, namun sangat jujur saya kira. Pada divisi lirik dua lagu ini hanya bercerita tentang kerinduan yang mendalam kepada kedua orang tua. Tak bisa dipungkiri, memang orang tua akan selalu menjadi alasan terkuat kita untuk pulang.
I come to the stars
Where are you mom
How are you? How are you?
I come to the sun
Where are you dad
 I miss you. I love you

·     Float – Pulang

Nah, lagu inilah yang menjadi racun bagi saya belakangan ini. Tapi saya selalu saja memutarnya berulang-ulang. Di kala sendiri atau sebelum tidur lagu ini saya mainkan. Dan saat itu pula bayangan rumah beserta semua yang ada di dalamnya langsung tampak jelas.

Pulang versi Float ini bercerita tentang kerinduan yang tak tertahankan lagi. Dengan alunan musik folk-pop khas Float, lagu ini akan menambah keinginan untuk pulang berkali-kali lipat.
Jelajahi waktu
Ke tempat berteduh hati kala biru

Dan lalu...
Sekitarku tak mungkin lagi kini
Meringankan lara
Bawa aku pulang, rindu
Segera  Jelajahi wakt
*Ditulis sambil mendengarkan bapak yang sedang mengaji dan mamak yang sedang mempersiapkan menu berbuka puasa.
Ah, hangatnya rumah...
Jelajahi waktu
Ke tempat berteduh hati kala biru

Dan lalu...
Sekitarku tak mungkin lagi kini
Meringankan lara
Bawa aku pulang, rindu!
Segera!