''Yang harus kita wariskan kepada generasi penerus adalah mata air, bukanlah air mata.''
Sejarah Kampung Yepem
di Kabupaten Asmat, Papua, adalah riwayat tentang penemuan sumber mata air. Saat
masih menetap di tepi Kali Jindiw, masyarakat kampung ini mengalami krisis
pangan dan air bersih. Untuk keluar dari pelik permasalahan tersebut, para
Tetua Adat dan masyarakat bersepakat melakukan ekspedisi untuk menemukan
wilayah dengan sumber daya yang lebih baik. Pencarian itu kemudian berakhir di
kepala Kali Yomoth, lahan yang kaya akan sagu dan memiliki sumber mata air rawa
yang dapat diminum.
Perkampungan pun mulai
terbangun di Kali Yomoth. Sumber mata air yang memberi kehidupan bagi manusia
dan makhluk sekitarnya tersebut dijaga agar terus mengalir. Pada “masa gelap”
di Asmat, pendatang yang memasuki sebuah kampung akan dianggap sebagai musuh
yang harus diperangi. Begitupun yang terjadi di Kampung Yepem kala itu. Untuk
melindungi sumber daya air yang terbatas di wilayah pesisir selatan Papua
tersebut, segalanya akan dilakukan, bahkan bila harus mengorbankan nyawa sekalipun.
Sumber air rawa Kali
Yomoth kemudian ditetapkan sebagai “tempat keramat” yang tidak boleh diakses
oleh orang luar. Konsep “tempat keramat” merupakan mekanisme konservasi
tradisional yang dipakai Orang Asmat untuk menjaga kelestarian tempat-tempat
tertentu yang dianggap penting. Mereka percaya, orang yang melanggar aturan adat
tersebut bisa celaka, sakit bahkan mati. Kearifan tersebut masih bertahan dan
dipegang teguh oleh masyarakat Asmat Kampung Yepem sampai sekarang.
“Masa terang” kemudian
datang bersama masuknya misionaris agama dan pemerintah di wilayah Asmat.
masyarakat di berbagai kampung mulai terbuka dengan peradaban pendatang.
Tradisi perang dan pengayauan mulai ditinggalkan. Kampung Yepem yang terletak
cukup dekat dengan Agats yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Asmat,
mendapat manfaat sekaligus tantangan dalam mempertahankan sumber daya alam
sekaligus kearifan adatnya.
Sebuah keluarga sedang memancing ikan di Kali Yomoth. Kali Yomoth sebagai sumber air bersih bagi Kota Agats dan Kampung Yepem juga dijadikan sebagai tempat mencari makan bagi masyarakat Asmat. |
Kabupaten Asmat yang
terletak di pesisir selatan Papua adalah daerah yang rentan terhadap bencana
krisis air tawar. sebenarnya wilayah yang merupakan pecahan dari Kabupaten
Merauke ini didonimasi oleh lahan gambut yang basah. Namun siklus air pasang
laut yang kerap merendam daratan Asmat menjadikan air tanah di daerah ini tidak
dapat dikonsumsi. Hanya beberapa kampung yang beruntung dianugerahi sumber mata
air tawar, salah satunya Kampung Yepem dengan mata air rawa Kali Yomoth-nya.
Sedangkan sebagian besar kawasan Asmat, termasuk Agats sebagai pusat kabupaten,
hanya mengandalkan air tadah hujan sebagai sumber air yang dapat dikonsumsi.
Sebenarnya curah hujan
Kabupaten Asmat tergolong tinggi, 3.000 sampai 4.000 mm per tahun. Namun tidak
jarang terjadi musim kemarau panjang sampai berbulan-bulan. Fenomena kekeringan
tersebut terakhir terjadi pada tahun 2015. Akibat pengaruh el nino, Kota Agats dan
sekitarnya tidak diguyur hujan selama lebih dari lima bulan, antara Agustus
hingga Desember. Akibatnya penduduk mengalami krisis air. Tidak sedikit
masyarakat pendatang yang memilih meninggalkan Asmat untuk sementara menuju ke
kota lain. Sedangkan bagi penduduk asli dengan kondisi perekonomian pas-pasan
tidak ada pilihan lain selain bertahan dalam kekeringan.
Bencana kekeringan
yang terus berulang tersebut kemudian mendorong pemerintah Kabupaten Asmat melirik
Kali Yomoth sebagai sumber air tawar alternatif bagi Kota Agats dan
kampung-kampung di sekitarnya. Sumber air rawa yang telah dimanfaatkan secara
tradisional Orang Asmat di Kampung Yepem selama ratusan tahun tersebut memang punya
potensi untuk itu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Asmat dan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2010, air rawa
Kali Yomoth sebagai sumber air bersih mempunyai kapasitas daya dukung sebesar
2.302.140 mᶟ. Kualitas air baik untuk dikelola sebagai sumber cadangan air
bersih, walaupun masih harus melalui proses penjernihan terlebih dahulu.
Rumah mesin air di tengah Kali Yomoth |
Proses
pemanfaatan air rawa Kali Yomoth oleh pemerintah Kabupaten Asmat sebenarnya
telah dilakukan sejak tahun 2005. Masyarakat Kampung Yepem juga telah mempersilakan setelah pemerintah memberikan kompensasi
kepada masyarakat. Namun karena tidak lancarnya komunikasi antara masyarakat
adat sebagai pemilik hak ulayat dan pemerintah sebagai pengelola, menyebabkan
tidak efektifnya pemanfaatan air rawa Kali Yomoth. Beberapa kali pemerintah
kabupaten lewat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Asmat membangun beberapa
fasilitas pendukung untuk mengalirkan air ke Kota Agats. Namun karena dilakukan
secara sepihak dan dianggap melanggar adat, masyarakat Kampung Yepem membongkar
fasilitas tersebut tanpa sepengetahuan pemerintah. Tindakan itu mengakibatkan
air tidak mengalir ke kota secara maksimal.
Untuk mengalirkan air dari Kali Yomoth ke Kota Agats, pemerintah
membangun rumah mesin di atas badan kali. Hal ini mengakibatkan bahan bakar
dari mesin menetes ke kali dan mencemari air di sekitar lahan tersebut.
Masyarakat Kampung Yepem sudah melayangkan protes. Namun tanggapan pemerintah
tidak kunjung menyelesaikan masalah. Pada akhir tahun 2016, Dinas PU membangun
bendungan di bagian atas Kali Yomoth untuk meningkatkan debit air di sekitar
rumah mesin. Karena hal itu, masyarakat dan para Tetua Adat Kampung Yepem
kembali dibuat marah besar. Tanpa memberi tahu pihak pemerintah, mereka
membongkar bendungan tersebut karena menghalangi air untuk sampai ke dalam
kampung.
Masih ada beberapa
tindakan sepihak yang dilakukan oleh masing-masing pihak, termasuk pengerusakan
jaringan pipa yang menyalurkan air ke rumah-rumah penduduk di Kota Agats.
tindakan-tindakan sepihak tersebut bukannya menyelesaikan masalah, bahkan
semakin memperumit kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat Kampung
Yepem.
Untuk meredam konflik
ini, sudah seharusnya kedua belah pihak membangun sebuah forum dialog dalam
bentuk kelembagaan bersama. Forum ini dapat digunakan sebagai wadah untuk
saling berkomunikasi, menyampaikan pendapat masing-masing pihak, dan membangun
sistem pengelolaan air lebih baik yang bisa diterima bersama. Niat baik
pemerintah untuk menyediakan sumber air alternatif bagi masyarakat tidak
sepantasnya melanggar kearifan tradisional masyarakat adat Asmat yang telah
bertahan selama ratusan tahun. Lagi pula pemanfaatan secara adat tersebut sudah
terbukti lestari dalam menjaga keberadaan sumber air rawa Kali Yomoth.
Jika ingin lebih
serius dan berkekuatan hukum, kedua belah pihak dapat membangun sebuah
kesepahaman kerja sama, misalnya dalam bentuk memorandum of understanding (MoU). Dalam MoU tersebut dapat
disepakati hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Masyarakat adat Kampung
Yepem sebagai pemilik hak ulayat harus memastikan kelestarian lokasi sumber air
rawa Kali Yomoth. Tidak boleh ada pemanfaatan eksploitatif yang mengakibatkan
rusaknya ekosistem di sekitar tempat tersebut. sedangkan untuk pemerintah
selaku pengelola harus menghadirkan manfaat bagi semua pihak. Masyarakat di
Kota Agats yang menikmati aliran air diwajibkan membayar retribusi yang akan
digulirkan untuk berbagai hal. Retribusi ini dapat dijadikan sebagai Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan sebagian lagi juga dinikmati oleh masyarakat Kampung Yepem
dalam bentuk subsidi di berbagai bidang, misalnya pendidikan, kesehatan, bahkan
dalam hal pelestarian adat-budaya dan lingkungan. Dengan begitu semua merasakan
manfaat dari anugerah bernama sumber air rawa Kali Yomoth ini.
Bukankah hal yang
paling penting dari anugerah sumber daya alam adalah manfaat yang
sebesar-besarnya dan kelestarian selama-lamanya. Kejernihan manfaat boleh
dirasakan generasi hari ini, tapi tentu keruh kerusakan tidak boleh dirasakan
generasi yang akan datang. Untuk sekedar mengingatkan, perkataan seorang bijak
ini mungkin boleh kita kutip kembali, “yang harus kita wariskan kepada generasi
penerus adalah mata air, bukanlah air mata.”