Secara turun-temurun masyarakat adat di
nusantara Indonesia hidup bersama dengan alam. Di banyak tempat di wilayah
pesisir, masyarakat adat dan ekosistem mangrove hidup berdampingan dan saling
menghidupi. Hal tersebut tergambar dalam diskusi daring #NgobrolBarengTimYHB
yang dilaksanakan oleh Blue Forests.
#NgobrolBarengTimYHB adalah seri diskusi daring
yang diadakan oleh Blue Forests selama masa pandemi Covid-19 ini. Pada seri
“Mangrove dan Masyarakat Adat” yang diselenggarakan pada Selasa, 2 Juni 2020,
diskusi ini turut menghadirkan Paskalis Wakat, seorang seniman ukir dan tokoh
masyarakat adat dari Kampung Yepem, Asmat, Papua.
Dari obrolan Tim Blue Forests dengan
Paskalis Wakat terungkap arti penting ekosistem mangrove bagi masyarakat adat
Asmat. ekosistem mangrove yang terjaga kelestariannya memberikan manfaat bagi
masyarakat adat. Sebaliknya, praktik kearifan lokal masyarakat adat turut
menjaga keberlangsungan ekosistem mangrove.
Manfaat yang diberikan oleh ekosistem
mangrove dirasakan oleh masyarakat adat dalam aspek sosial, ekonomi, dan
ekologis. Keadaan ini terwakili dengan baik lewat frasa yang disampaikan oleh
Paskalis Wakat, yaitu “hutan mangrove adalah ibu bagi Orang Asmat.” Maksudnya
adalah mangrove telah melakukan semua tindakan seperti yang dilakukan oleh
seorang ibu kepada anaknya. Merawat, memberi makan, menjaga, melindungi, hingga
menyokong kehidupan mereka. Semua hal tersebut dirasakan oleh masyarakat adat
Asmat dalam interaksinya dengan ekosistem mangrove di pesisir selatan Papua.
Dari aspek sosial, hutan mangrove merupakan
identitas yang sangat penting bagi masyarakat adat Asmat. Beberapa lokasi di
dalam areal mangrove merupakan daerah sakral atau keramat bagi mereka. Guna
melindungan daerah tersebut masyarakat Asmat menetapkan larangan atau
pembatasan aktivitas pemanfaatan. “Kami menerapkan yang namanya pisis,
tetre, karu, dan teser,” kata Paskalis menjelaskan beberapa kearifan
lokal yang dijalankan oleh masyarakat untuk melindungi ekosistem mangrove.
Pisis dan tetre
merupakan tindakan konservasi tradisional yang diterapkan pada lokasi
tertentu, misalnya pada areal hutan yang mulai kritis. Hutan yang telah
dikenakan ritual Pisis dan tetre tidak boleh dimanfaatkan dalam
jangka waktu tertentu. Pembatasan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
pada alam untuk tumbuh kembali atau beregenerasi secara alami. Praktik kearifan
lokal ini mirip dengan sasi yang dilaksanakan di daerah Maluku dan
sekitarnya.
Sementara itu, karu dan teser adalah
bentuk hukum dalam sistem kepercayaan masyarakat adat Asmat. sanksi dari kedua
pelanggaran hukum ini dipercaya diturunkan langsung oleh leluhur kepada para
pelanggarnya. Karu adalah pelanggaran hukum yang masih dianggap ringan.
Sanksinya dapat berupa teguran atau kesialan. Sedangkan bentuk pelanggaran adat
yang paling berat adalah teser. Pelanggaran atas hukum ini bisa
berakibat celaka bahkan meninggal dunia. Hukum adat ini sangat dipegang oleh
masyarakat adat Asmat, termasuk dalam mengelola sumber daya alam mereka.
Hutan mangrove juga menjadi penyedia bahan
baku untuk pembagunan rumah adat jew. Jew merupakan pusat kegiatan
sosial bagi masyarakat adat Asmat. di rumah tradisional berbentuk bangunan
panggung yang memanjang tersebut, banyak aktivitas masyarakat, mulai dari
berinterkasi, perhelatan ritual adat, hingga musyawarah pengambilan keputusan
dilaksanakan. Itulah sebabnya mengapa masyarakat adat Asmat sangat melindungi
hutan mangrove. ”Kalau (hutan) mangrove ini rusak, kita mau dapat bahan untuk
bangun jew dari mana? Kalau sudah begitu bisa-bisa adat akan hilang.
Orang Asmat pasti akan hilang juga,” terang Paskalis.
Jaring Pengaman Sosial Masa Pandemi
Ekosistem mangrove yang lestari juga
memberi manfaat bagi masyarakat adat dari aspek ekonomi. Seperti yang telah
diketahui bersama, mangrove yang sehat merupakan tempat berpijah dan mencari
makan bagi berbagai biota perairan. Hasil perikanan di ekosistem mangrove yang
melimpah dimanfaatkan oleh masyarakat adat untuk memenuhi perekonomian rumah
tangganya. Di kampung Paskalis contohnya, sebagian besar warga berprofesi
sebagai nelayan yang memanfaatkan melimpahnya hasil alam di sekitar ekosistem
mangrove. Diantaranya adalah berbagai jenis ikan, udang, kerang, hingga karaka
atau kepiting bakau yang terkenal sebagai hidangan mewah di
restoran-restoran berbagai kota dan negara.
Hasil tangkapan para nelayan tradisional
Asmat sebagian besar didistribusikan ke pasar di pusat kabupaten untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat lainnya. Hasil penjualan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari hingga biaya sekolah dan kuliah anak. “Di kampung kami
sudah cukup banyak anak yang lanjut kuliah keluar kota karena hasil dari hutan
mangrove ini,” kata Paskalis sambil tersenyum.
Bahkan perekonomian masyarakat adat yang
bebasis pengelolaan sumber daya alam ini terbukti lebih tangguh (resilience)
bahkan di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Saat perekonomian sedang
kepayahan karena Covid-19, resesi hampir tidak dirasakan oleh masyarakat adat
di Asmat. mereka yang masih menggantungkan hidup pada alam tetap bekerja seperti
biasa. Selain aktivitas di pesisir seperti yang disebutkan di atas, masyarakat
adat Asmat juga masih bisa memanfaatkan hutan untuk memangkur sagu dan
mengumpulkan hasil hutan lainnya. Ada pula yang berkebun dengan menanam
sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian.
Masyarakat adat di Asmat membentuk jaring
pengaman sosial mereka sendiri lewat pengelolaan sumber daya alam yang lestari.
Dengan begitu alam memberikan jaminan ketersediaan mata pencaharian yang terus
ada. Cukup dan berkelanjutan.
Selain dari aspek sosial dan ekonomi,
manfaat ekologis dari ekosistem mangrove yang masih terjaga turut dirasakan
oleh masyarakat adat. Pohon-pohon mangrove yang hidup di sepanjang pesisir
berfungsi sebagai pengikat tanah hingga mengurangi resiko abrasi. Fungsi sabuk
hijau (green belt) dari ekosistem mangrove juga dirasakan oleh
masyarakat adat yang hidup di perkampungan pesisir. Mangrove menjadi semacam
benteng alami yang melindungi perkampungan dari terjangan badai dan ombak
besar.
“setiap akhir sampai awal tahun daerah kami
menghadapi yang namanya angin barat. Saat itu angin dan ombak besar biasa
mengancam kita di laut. Tapi karena ada hutan mangrove kami bisa hidup dengan
tenang di kampung,” kata Paskalis menjelaskan.
Beberapa Ancaman
Ekosistem mangrove dengan aktivitas
pemanfaatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat saat ini mendapat
ancaman yang berpotensi mengganggu kelestarian. Selain karena tekanan dari
masuknya sistem yang lebih modern, ancaman terbesar datang dari proses alih
fungsi lahan di kawasan mangrove. Alih fungsi lahan diperuntukan guna membuka
pemukiman baru, kawasan perkantoran, dan fasilitas infrastruktur lainnya dalam
skema pembangunan oleh pemerintah. Selain itu pembukaan lahan secara
besar-besaran juga terjadi dengan masuknya industri perkebunan monokultur
berskala besar seperti kelapa sawit juga aktivitas pertambangan, baik yang
legal maupun ilegal.
Hal ini mulai dirasakan dampaknya oleh
tetangga Kabupaten Asmat, seperti Mimika, Mappi, Boven Digul, dan Merauke. Alih
fungsi kawasan masyarakat adat secara besar-besaran juga berarti alih rupa
sistem sosial bagi mereka. Hutan yang hilang menyebabkan terkikisnya nilai
identitas kebudayaan masyarakat adat, yang dulunya berburu-meramu dan
pemanfaatan tradisional kini dipaksa beralih pada sistem perekonomian yang
lebih modern. Mereka yang tidak punya cukup bekal menghadapi perubahan tersebut
akan hidup dalam kondisi yang sangat rentan.
Guna mengantisipasi dampak tersebut sampai
di kampung-kampung di Asmat, masyarakat adat mulai melakukan upaya pengamanan
hutan di tingkat kampung. Dengan dukungan berbagai pihak, mereka melakukan
program aksi untuk meningkatkan pengelolaan berbasis masyarakat. Kegiatan yang
dilaksanakan diantaranya pemetaan wilayah kelola masyarakat adat, pembentukan
kelompok jaga hutan yang melibatkan pemuda dan tokoh adat, penyusunan peraturan
kampung yang mengadopsi hukum adat atau kearifan lokal yang masih dijalankan
oleh masyarakat adat, serta pengembangan mata pencaharian yang berkelanjutan.
Penguatan sistem pengelolaan hutan yang
berbasis masyarakat diharapkan akan menjadi proteksi ketika ancaman tersebut
sampai di kampung. Mengadopsi apa-apa yang selama ini dijalankan oleh
masyarakat adat untuk diadaptasi ke dalam sistem pengelolaan tersebut akan
menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat dalam mengelola wilayahnya. Saat godaan
alih fungsi kawasan datang mereka sudah punya modal dalam bentuk kesadaran
bahwa hutan adalah aset penting bagi penghidupan. Saat hutan rusak, kehidupan
akan terancam.
Beberapa Peluang
Kata kunci yang paling kuat dalam upaya
peningkatan sistem pengelolaan kawasan hutan adalah kolaborasi. Kolaborasi
pengelolaan (co-management) dalam suatu kawasan hutan akan menghimpun
semua kekuatan dan kepentingan para pihak. Kolaborasi pengelolaan akan
mengurangi ego sektoral dan tumpang tindih program serta kebijakan. Para stakeholder
akan saling mengisi dalam upaya mendorong peningkatan pengelolaan kawasan
hutan. Hal inilah yang sedang didorong untuk dilakukan di Asmat dan beberapa
kabupaten lainnya di Papua.
Selain itu masyarakat adat dengan dukungan
para pihak perlu menyambut kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
terkait pengelolaan hutan adat. Pada tahun 2015 Mahkamah Konstitusi telah
menetapkan bahwa Hutan Adat telah dinyatakan sebagai bukan Hutan Negara. Selain
itu pemerintah juga telah menetapkan pelaksanaan skema Perhutanan Sosial yang
termasuk di dalamnya adalah Hutan Adat. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan
melakukan proses inventarisasi dan penetapan wilayah Hutan Adat di seluruh
Indonesia termasuk di tanah Papua. Penetapan Hutan Adat adalah upaya legal
formal untuk mengamankan kawasan hutan yang dikelola secara mandiri oleh
masyarakat adat.