Sabtu, 11 November 2017

Menyimak Kisah di Balik Ukiran


Pada sebuah siang yang cerah di rimba Asmat tersaji tiga fragmen cerita. Pada sisi kiri terlihat dua orang yang sedang membuat ci, perahu tradisional Suku Asmat. Ci tersebut berbahan satu buah pohon utuh berjenis ketapang yang baru saja mereka tebang dengan kapak batu. Pada bagian lain, terlihat seorang pria yang sedang mendayung ci mengarungi kali untuk menuju dusun. Dusun atau lokasi hutan keluarga adalah tempat mencari makan bagi masyarakat Asmat. Di sana mereka biasa memangkur sagu, berburu sampai menjerat binatang liar. Sedangkan pada bagian ujung kanan, sepasang suami istri sedang membawa pulang hasil buruan berupa babi hutan untuk dimasukkan ke dalam bivak. Masyarakat Asmat terbiasa membangun bivak atau rumah sementara di dalam hutan pada saat pergi mengumpulkan bahan makanan dalam waktu yang lama. Rumah sangat sederhana itu bisa mereka tempati selama berhari-hari bahkan sampai berbulan.

Ketiga fragmen cerita di atas terukir apik di atas sebuah papan kayu. Pengukirnya adalah Antonius Pompin dari Kampung Amanamkai, Distrik Atsj, Kabupaten Asmat, Papua. Ukiran berbahan kayu besi tersebut dipajang di Lapangan Yos Sudarso Kota Agats saat dihelatnya Pesta Budaya Asmat ke-32 tahun ini. Dengan cekatan pria yang berasal dari rumpun Betcbamu ini menceritakan kisah di balik ukirannya kepada setiap pengunjung yang datang menghampiri.

“tiga cerita di ukiran ini menggambarkan kegiatan utama orang Asmat di dalam dusun. Saya bikin dia berurutan. Mulai dari membuat perahu, lalu dipakai pergi mencari makan di dusun, sampai bawa pulang hasil ke dalam bivak. Orang Asmat begitu sudah. Kami masih lakukan itu sampai sekarang,” kata Antonius.

Antonius dan ratusan woyipits (sebutan untuk pengukir Asmat) lainnya sedang berkumpul di Kota Agats untuk memeriahkan Pesta Budaya Asmat yang tahun ini diselenggarakan pada 19 hingga 24 Oktober. Tidak hanya menampilkan keindahan estetis, ukiran-ukiran yang ditampilkan para pengukir di festival tahunan ini juga memiliki misi lain. Ada pesan-pesan tertentu atau tata hidup tradisional orang Asmat yang ingin terus diperkenalkan kepada masyarakat luas juga para generasi penerus.

Pada sudut lain arena Pesta Budaya Asmat, saya menemui Yeremias Onampits yang berasal dari Kampung Yepem, Distrik Agats. Tahun ini karya Yeremias berhasil masuk dalam daftar 200 ukiran yang akan dilelang. Status tersebut didapatkan setelah melalui proses kurasi oleh tim kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat di tingkat kampung dan distrik.

Ukiran Asmat milik Yeremias bergaya naturalis. Menggambarkan suasana di dalam sebuah rumah tradisional Asmat. Dengan beralas tapin (tikar yang terbuat dari daun pandan), bapak, mama, dan seorang anak sedang menyiapkan makan malam berupa ulat sagu yang dibakar di atas tungku api. Terlihat pula anjing peliharaan mereka yang sabar menunggu diberi makan.

Yeremian Onampits bersama ukiran ceritanya

“Di kampung saya sudah banyak yang lupa cara membangun rumah asli seperti di ukiran ini. Padahal itu tradisi yang diwariskan leluhur. Mereka tahunya menunggu dibangunkan rumah oleh pemerintah. Rumah bantuan itu sebenarnya tidak cocok dengan kami. Kalau siang rasanya panas sekali. Saya tidak betah tinggal di rumah seperti itu,” jelas lelaki paruh baya itu.

Pergeseran bentuk hunian masyarakat adat yang dijelaskan Yeremias memang sedang terjadi di berbagai kampung di Asmat. Fenomena tersebut terutama berlaku pada kampung-kampung yang dekat dengan pusat kabupaten. Pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah, khususnya program bantuan pembangunan rumah, kurang memperhatikan kebutuhan dan nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat. Bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri tidak terlalu bermasalah. Namun bagi yang lain, hal ini membuat mereka tidak betah. Dan yang lebih parah lagi, kemadirian mereka dalam membangun rumah tradisional yang semua bahannya didapat dari hutan menjadi tergerus.

Cerita lain yang terselip dari ukiran Yeremias adalah tentang berubahnya pola konsumsi masyarakat Asmat. Sagu sebagai makanan pokok turun-temurun kini mulai terganti oleh beras yang banyak dibawa oleh pendatang. Ketergantungan dan hilangnya kemandirian sekali lagi terjadi pada cerita ini. Yeremias yang tidak ingin melihat kampungnya terlalu jauh melupakan kebiasaan leluhur kemudian menyampaikan pesan lewat ukiran. “lihat itu (menunjuk ukiran) apa yang mereka makan? Sagu, ulat sagu. Itu sudah makanan kami orang Asmat. Sagu ini harta. Sagu memberi kami kehidupan sejak masih kecil,” lanjutnya.

Misi ganda sebagai benda seni yang bernilai estetis tinggi maupun media penyampai pesan kearifan leluhur membuat ukiran Asmat mendunia. Banyak kolektor seni maupun museum di Amerika dan Eropa menjadikan patung Asmat sebagai koleksi. Seorang pengumpul ukiran di Agats yang akrab disapa Om Bahar mengungkapkan keunggulan ukiran Asmat jika dibandingkan dengan ukiran dari daerah lain, misalnya Bali atau Jepara. Menurutnya ukiran Asmat banyak diburu oleh orang luar negeri karena adanya cerita di balik setiap ukiran. “ukiran Bali sama Jepara itu memang lebih halus, tapi ukiran Asmat punya unsur sakral. Ada cerita-cerita tentang leluhur pada setiap patung yang mereka (para pengukir Asmat) bikin.”

Hal ini dijelaskan pula oleh pemrakarsa Pesta Budaya Asmat, Mgr. Alphonse Sowada lewat buku “Asmat: Mencerap Kehidupan dalam Seni.” Menurut Uskup pertama Keuskupan Agats itu, ukiran Asmat tidak hanya indah dipandang mata, tapi juga memberikan gambaran tentang kejadian masa lalu. “Melalui media kayu, seniman Asmat membuat dunia roh dan kekuatan-kekuatan magisnya yang bekerja serasi menjadi kasat indra.”

Namun di balik semua cerita akan keindahan ukiran Asmat tersebut, pelestarian benda budaya ini sempat mendapat tantangan pada tahun 1960-an hingga 1970-an. Saat itu pemerintah setempat melarang segala kegiatan budaya Asmat termasuk mengukir. Rumah adat jew yang menjadi pusat kegiatan masyarakat adat dibakar habis. Proses pemusnahan dijalankan saat itu karena pemerintah menganggap aktivitas kebudayaan Orang Asmat berkaitan dengan pengayauan dan kebiasaan perang antar kampung.

Situasi ini efektif untuk membuat para woyipits menghentikan aktivitas mengukirnya. Kampung-kampung jadi sepi dari kegiatan adat dan budaya. Pihak Keuskupan Agats lewat Uskup Mgr. Alphonse Sowada kemudian menginisiasi kegiatan lomba mengukir bagi masyarakat Asmat. Upaya tersebut berhasil meyakinkan pemerintah untuk mencabut larangannya. Menurut sebuah keterangan yang tertulis di Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, “Mgr. Alphonse Sowada, Uskup pertama Keuskupan Agats, meyakinkan pemerintah bahwa perang antar kampung dan perburuan kepala (pengayauan) bisa dihentikan tanpa harus melarang kegiatan budaya.”

Inisiasi lomba mengukir tersebut kemudian menjadi cikal bakal dari Pesta Budaya Asmat yang diselenggaran setiap tahun sampai saat ini. Kegiatan ini merupakan upaya bersama Keuskupan Agats dan Pemerintah Kabupaten Asmat, bersama seluruh masyarakat Asmat untuk melestarikan budaya.

Tahun ini Pesta Budaya Asmat mengusung tema “Jangan Padamkan Api Wayir Demi Jati Diri Asmat.” Wayir adalah tungku api utama di dalam rumah adat jew yang menjadi pusat kegiatan sosial dan religi masyarakat adat Asmat. Wayir yang terus menyala adalah lambang semangat orang Asmat untuk terus melestarikan tradisinya.

Pesta Budaya Asmat 2017
Tahun ini Pesta Budaya Asmat terasa lebih meriah dengan dihadirkannya atraksi budaya yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Selain pameran ukiran dari seluruh distrik dan demo mengukir, dihadirkan pula beberapa peragaan pesta atau ritual adat Asmat. Pada hari pembukaan (20/10) dilaksanakan eksebisi tungku api wayir sebagai pertanda dimulainya festival. Tungku api tersebut dibiarkan terus menyala sampai hari terakhir Pesta Budaya Asmat.

Pada hari berikutnya eksebisi ritual perahu ci dan manuver perahu (ci mbi) di Kali Aswet menjadi sajian yang paling menyedot perhatian pengunjung. Atraksi budaya ini diawali dengan ritual berupa nyanyian adat dan pukulan tifa sebagai simbolisasi penyemangat prajurit sebelum menuju arena perang. Perahu-perahu kemudian diarak menuju kali. Di atas masing-masing perahu terlihat seorang kepala perang yang meniupkan fu (alat musik tiup tradisional yang terbuat dari bambu) untuk memberikan aba-aba kepada prajuritnya. Sampai di kali, sekitar 20 perahu bermanuver di Kali Aswet untuk menjadi yang tercepat. Sungguh atraksi yang meriah namun tetap terasa sakral.

Ukiran Asmat yang masyhur di penjuru dunia memang tidak bisa dilepaskan dari Pesta Budaya Asmat. Bisa dikatakan ajang tahunan inilah yang paling berperan memperkenalkan karya masyarakat adat yang mendiami pesisir selatan Papua tersebut. Sebaliknya, pameran ukiran merupakan bagian paling banyak menarik perhatian pengunjung festival. “ukiran-ukiran yang dipamerkan merupakan bagian terpenting dalam Pesta Budaya Asmat ini,” kata John Ohoiwirin, salah satu panitia inti Pesta Budaya Asmat.


*Sebelumnya terbit di Locita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar