Jumat, 25 September 2015

Mengerti untuk Melawan: Upaya Masyarakat Kepulauan Tanakeke Mencegah Korupsi


Banyak kasus tindak pidana korupsi yang terjadi karena ketidaktahuan, baik ketidaktahuan masyarakat tentang proses penganggaran yang dilakukan oleh pemerintah, juga ketidaktahuan aparat dalam menggunakan anggaran negara. Lemahnya kapasitas pengetahuan kedua unsur ini kemungkinan disebabkan oleh rasa apatisme yang lahir dari buruknya sistem yang selama ini berjalan. Hal tersebutlah yang selama lima tahun belakangan ini ingin diubah oleh masyarakat dan aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Pulau Tanakeke terdiri dari lima desa dengan sumber daya alam yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pulau ini juga dikenal sebagai penopang keseimbangan lingkungan pesisir Sulawesi Selatan karena memiliki kawasan bakau (mangrove) yang sangat luas. Sampai tahun 1980-an luas hutan bakau di Pulau Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian hutan bakau menjadi lahan tambak atau empang secara besar-besaran. Luasan hutan bakau Kepulauan Tanakeke berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar saja saat ini. Setelah sekitar 30 tahun berlalu, tambak-tambak yang tadinya berjaya kini menjadi lahan-lahan mati karena perubahan ekosistem dan terdegradasinya kualitas lahan. Keuntungan hanya dirasakan segelintir orang saja. Kebanyakan masyarakat Kepulauan Tanakeke masih hidup dalam kerentanan ekonomi, bahkan semakin sulit karena lingkungan mulai terganganggu. Ketidaktahuan menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan!

Belajar dari kejadian masa lalu tersebut, masyarakat juga aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke kini berbenah. Sejak tahun 2010, dengan didampingi oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Oxfam Indonesia Tmur, mereka mulai membangun kembali tata kelola kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik. “Baik” dalam artian pengelolaan desa yang partisipatif, responsif gender dan pro pada masyarakat yang rentan secara ekonomi.

Pengelolaan desa yang partisipatif penting diwujudkan agar pembangunan desa tidak dimonopoli oleh segelintir orang saja. Semua harus terlibat agar proses sumbang saran bisa berjalan efektif dan nantinya manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Penyadaran itulah yang mula-mula diberikan kepada masyarakat serta aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke. Aparat pemerintah desa dilatih tentang manajemen pengelolaan desa yang baik, masyarakat didorong untuk lebih aktif terlibat dalam pengawasan. Dalam tiga tahun belakangan ini hal tersebut sudah bisa berjalan, walaupun masih perlu terus ditingkatkan.

Kini Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) di lima desa di Kepulauan Tanakeke tidak sepi lagi seperti dulu. Masyarakat diizinkan, bahkan diundang untuk datang memberikan masukan dalam pengelolaan dana desa. Apalagi saat ini desa mengelola dana yang cukup besar setelah Undang-Undang Desa mulai berlaku. Masyarakat dan aparat pemerintah desa harus menyadari bahwa pengelolaan dan pengawasan penggunaan dana desa haruslah berjalan dengan baik. Jika tidak begitu, manfaat tidak akan didapatkan dan bisa saja akan terjadi penyalahgunaan anggaran.

Selain itu perspektif pembangunan desa yang lebih peka gender juga sudah mulai terlihat. Misalnya pembangunan beberapa fasilitas umum diharuskan memenuhi kebutuhan yang setara antara perempuan dan laki-laki. Dorongan untuk menyekolahkan anak minimal hingga SMA terus dilakukan di semua desa. Bahkan di Desa Maccini Baji dan Desa Tompo Tana, aparat pemerintah desa melarang perkawinan di bawah umur untuk menghindarkan anak-anak pada dampak buruk di usia dini.

Alokasi Dana Desa yang cukup besar tidak hanya diperuntukan untuk pembangunan fisik saja, tetapi juga untuk pembangunan kapasitas masyarakat. Masyarakat yang rentan secara ekonomi diberikan pelatihan berwirausaha dengan jalan memanfaatkan potensi lokal Kepulauan Tanakeke. Hal ini dilakukan untuk melepaskan masyarakat dari praktek Punggawa-Sawi (semacam praktek rentenir yang berlaku di wilayah pesisir Sulawesi Selatan) yang sangat memberatkan masyarakat. Kesemua hal tersebut dilakukan semata untuk mendistribusikan manfaat pembangunan yang lebih adil.


Secara perlahan kini masyarakat Kepulauan Tanakeke terus membangun kapasitas pengetahuan tentang pengelolaan desa mereka. Karena pengetahuan adalah gerbang menuju kesejahteraan dan portal penghalang bagi terjadinya penyalahgunaan dan tindak pidana korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar