Mungkin saja 2014 terbuat dari keadaan yang sangat
menjengkelkan. Mulai dari proses pemilu yang menguras emosi hampir sepanjang
tahun juga waktu yang tak juga berjodoh untuk mempertemukan saya dengan Dosen
Pembimbing Skripsi. Masya Allah, malah curhat. Untung saja masih ada musisi
kesayangan yang tahun lalu terus menghasilkan lagu-lagu yang enak didengar.
Untuk itu, saya pilihkan beberapa yang menjadi favorit saya.
Kalau sedang lowong
silahkan dibaca dan ikut mendengarkan. Tabe’
Tentang Rumahku – Dialog Dini Hari
Dialog Dini Hari adalah cinta pertama saya terhadap musik
folk Indonesia. Rasa suka itu semakin bertambah lewat Tentang Rumahku. masih dengan kekuatan yang sama, musik sederhana
nan menenangkan dan lirik puitis yang begitu menyenangkan. Yang berbeda adalah
album ini terasa lebih berenergi, baik dari beat
dan cerita yang diusung. “Gurat Asa” misalnya, selalu memberikan begitu
banyak semangat bagi saya. Sangat enak didengarkan di pagi hari menjelang
beraktifitas. “Hiduplah Hari Ini” lain lagi. Lagu ini adalah ajakan untuk
selalu bersyukur. Dengan segala tantangan hidup yang kita hadapi sudah
seharusnya kita selalu berusaha untuk “damaikan
diri…”. “Lahirkan keajaiban dari
tanganmu” pada penutup lagu ini adalah favorit saya. Coba pula dengarkan
“Tentang Rumahku” dan “Lagu Cinta” yang dinyanyikan bersama Kartika Tjahja,
maka album ini adalah teman yang ampuh untuk menghadapi hari.
Alkisah – Theory Of Discoustic
Sungguh bukan karena band ini berasal dari Makassar hingga
saya memasukkannya di daftar ini. Saya mendengarkan mereka pertama kali pada
akhir 2010 saat menjadi band pembuka The Trees and The Wild di Unifa. Lama tak
terdengar, mereka muncul kembali dengan membawa Dialog di Ujung Suar, mini album yang begitu matang. Belum terlalu
bosan dengan Dialog di Ujung Suar, mereka
kembali merilis EP Alkisah. Masih
dengan interpretasi atas budaya Bugis-Makassar, namun mini album ini terasa
lebih serius, baik dari segi musikalitas juga proses penggarapannya. Jika Dialog di Ujung Suar hanya disebarkan
via internet, Alkisah dirilis dalam
bentuk fisik, walau sangat sederhana.
Lagu favorit saya di album ini adalah “Satu Haluan” dan
“Lengkara”. “Satu Haluan” bercerita
tentang para pelaut ulung yang katanya nenek moyang orang Indonesia. Lagu ini
jelas adalah bentuk lain dari semboyan kuno pelaut Bugis-Makassar: Le’ba kusoronna biseangku, kucampa’na
sombalakku, tammamelokka punna teai labuang (telah ku kembangkan layarku,
telah ku pasang kemudiku, lebih baik tenggelam daripada melangkah surut). Sedangkan
“Lengkara” adalah penerjemahan atas tradisi Mappalili,
ritual kepercayaan yang dilaksanakan setiap awal masuk musim tanam. “Seruan awal hari bernyanyi merasuk
pusaka/Sambut awal masa berganti merayu musim kesuburan”, Lirik lagu ini
sangat menggambarkan bagaimana semangat masyarakat petani dalam menyambut
ritual tersebut.
Tak pernah mudah menulis lirik berbahasa Indonesia. Tapi
Theory of Discoustik kembali membuat lagu berlirik Bahasa Indonesia yang
menyenangkan. Lewat EP Alkisah ini
mereka membuktikan bahwa paduan musik dan lirik yang menarik bukanlah hal yang
mustahil. Keduanya tentu harus digarap serius untuk menghasilkan lagu yang
baik. Saya sepakat dengan seorang teman, album ini sangat enak didengarkan
dalam sebuah perjalanan jauh. Musik dan liriknya akan menyatu dengan
pemandangan alam yang kita lewati.
Gajah – Tulus
Karir Tulus begitu mulus sebagai solois pendatang baru di
jagat musik Indonesia. Tentu saja bukan sebuah keberuntungan, karena memang
Tulus sangat bertalenta di bidang ini. mendapat begitu banyak perhatian di
album perdan, Tulus memantapkan posisinya sebagai salah satu solois sekaligus
singer-song writer terbaik di negeri ini lewat album Gajah. Dibuka dengan ”Sepatu” yang lansung menjadi hits sejak
diputar serentak di radio seluruh Indonesia. Lagu ini memberikan perumpamaan
yang begitu pas pada cerita cinta yang tidak bisa bertemu. “Kita adalah sepasang sepatu selalu bersama
tak bisa bersatu.” Sadis! Lalu ada “Gajah”, lagu yang terinspirasi dari
masa kecil Tulus. Tema cinta yang berbeda hadir dari “Jangan Cintai Aku Apa
Adanya”. Lagu ini semacam bantahan atas gombal murahan “cintai aku apa adanya”.
“Jangan cintai aku apa adanya. Jangan/Tuntutlah
sesuatu biar kita jalan kedepan.”
Album pertama adalah pembuktian, album kedua adalah ujian
atas eksistensi. Tulus melaluinya dengan mulus dalam waktu singkat.
Fateh – Morgue Vanguard x Still
Rapper paling berbahaya di Indonesia kembali! Pasca bubarnya
Homicide pada tahun 2007, Herry Sutresna a.k.a Morgue Vanguard begitu
dirindukan. Setelah hanya menjadi “tamu” di lagu “Abrasi” milik BRNDLS dan berkolaborasi dengan EyeFeelSix di lagu “Mimpi
Basah Pembangkang Sipil”, Morgue Vanguard akhirnya kembali dalam sebuah album utuh.
Bersama Still Ia melontarkan kemuakannya (tentu juga kemuakan banyak orang)
lewat sebuah Collabo EP, Fateh.
Secara garis besar album ini bercerita tentang permasalahan
akut yang masih terjadi hingga saat ini: konflik agraria dan penindasan oleh aparat.
Dibuka dengan “Volume 1, Bagian 8, Bab 32” yang menampilkan beberapa aksi
demonstrasi sebagai latarnya. Lalu disusul kemudian oleh “Fateh” dan “Kondor Terjaga”
yang melontarkan bait yang begitu panas secara bertubi-tubi. Favorit saya di
album ini adalah “Dol Goldur”. Tak seperti biasanya, Morgue Vanguard terdengar
lebih birirama di bagian ini.
Fateh adalah
sebuah comeback yang cukup menendang. Semoga berlanjut, Bung Ucok.
Sneakerfuzz – Morfem
Tentu menyenangkan mendapati band kesukaan sangat produktif
menghasilkan karya-karya berkualitas. Itulah yang terjadi pada Morfem. Tak berjarak
begitu jauh dari album Hey, Makan Tuh
Gitar!, unit fuzz-rock ibukota ini kembali merilis Sneakerfuzz, sebuah mini album berisi enam lagu. Hal ini terjadi
setelah Morfem memenangi sebuah kompetisi yang diadakan oleh Converse. Hadiah
dari kompetisi tersebut ya pembiayaan penuh atas pembuatan EP Sneakerfuzz ini.
Kesemua lagu di album ini begitu menyenangkan. Perpaduan musik
90-an kesukaan Pandu fuzztoni dan 70-an andalan Jimi Multazham berpadu
menghantam telinga yang mendengarkannya. “Kubikal Rock” adalah pembukaan yang
langsung mengajak untuk berjingkrak. Disusul dengan “Planet Berbeda” yang
liriknya membuat saya berdecak kagum. Lirik story-telling
yang dibangun oleh Jimi adalah kekuatan lagu ini. “Kami dari planet berbeda/Berjumpa di tengah samudra/Aku memilih Bob
Dylan/Sedang dia Mumford and Son/Namun kita tak terpisahkaní”.
Favorit lainnya adalah “Tak Punya Rasa Ketakutan” dengan
sound yang terpapar punk 70-an. Kemudian ditutup oleh nomor anthemic “Rayakan
Pemenang”, sebuah lagu yang didedikasikan untuk para pejuang hidup, siapapun
dia saya rasa.
Panjang umur, Morfem.
***
Selamat tahun baru. Semoga musik Indonesia tetap keren tahun
ini!