Selasa, 25 Oktober 2016

Terluka Berguna

yang terlihat terluka
yang masih berguna
serupa waktu sia-sia
tapi tetap menghitung mundur usiamu
atau karet gelang mengikat sayuran layu
atau kaos kaki busuk yang meminta dicuci
bertahanlah!
setidaknya kau masih bisa murung
dan tentu saja menunggu

Agats, 21 Oktober 2016

Rabu, 19 Oktober 2016

Perayaan Pesona Budaya Asmat

Peserta Pawai Pesta Budaya Asmat 2016
Tidak mudah bagi Mama Mariana Kaisma dan rekan-rekannya untuk datang ke Agats. Dari tempat tinggalnya di Kampung Yefhu, Distrik Awyu, paling tidak Ia harus menghabiskan dua hari perjalanan dengan kapal viber untuk mencapai ibukota Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Tersebut. Berangkat pagi dari Kampung Yefhu, sekitar pukul tiga sore mereka harus singgah bermalam di Kampung Atsj, sebelum melanjutkan perjalanan ke Agats keesokan paginya. Terlalu beresiko bagi kapal viber untuk menembus malam di laut dan kali-kali Asmat.

Resiko perjalanan dua hari ditambah ongkos kapal yang cukup mahal tidak menghalangi Mama Mariana untuk hadir di Pesta Budaya Asmat tahun 2016. Ia dan banyak masyarakat Kabupaten Asmat yang berasal dari berbagai kampung rela bersusah payah demi turut merasakan kemeriahan pesta tahunan ini. “Kami tetap harus datang ke sini (Pesta Budaya Asmat). Ini pesta kami juga. Kami juga masih bagian dari Kabupaten Asmat,” cerita Mama Mariana saat saya temui di lapak pasar seninya.

Setelah tertunda pada tahun 2015, Pesta Budaya Asmat edisi ke-31 sukses digelar pada tahun 2016 ini.  Berpusat di Lapangan Yos Sudarso Kota Agats, pesta ini dihelat selama seminggu penuh, mulai Kamis, 6 Oktober hingga Rabu, 12 Oktober. Keuskupan Agats dan Pemerintah Daerah Kabupaten Asmat selaku penyelanggara, merancang kegiatan ini dengan berbagai penampilan, mulai dari atraksi budaya, ritual adat dan keagamaan, perlombaan, hingga pasar seni bagi para pengunjung. Bagian yang paling mendapat perhatian adalah pameran ukiran dan anyaman dari para finalis yang telah lolos seleksi ketat oleh para kurator Museum Asmat.

Hari pertama Pesta Budaya Asmat 2016 digunakan oleh panitia untuk meregistrasi karya-karya para finalis. Tahun ini ada sebanyak 207 ukiran dan 60 produk anyaman yang lolos proses kurasi dan akan dipamerkan kemudian dilelang pada tiga hari terakhir pesta. Setelah proses registasi, karya kemudian dipajang di panggung utama. Para pengunjung yang berasal dari berbagai daerah hingga manca negara mulai dapat mengakses karya-karya terbaik tersebut. Untuk memudahkan para pengunjung, panitia menyediakan buku panduan yang memuat semua informasi tentang Pesta Budaya Asmat 2016, termasuk cerita di balik karya yang dipamerkan.

Panggung utama
Acara pembukaan baru dilakukan pada Jumat, 7 Oktober 2016. Dalam sambutannya, Bupati Kabupaten Asmat, Eliza Kambu, mengajak semua masyarakat untuk melestarikan dan menghargai warisan budaya Asmat.  menurutnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengembangkan pemasaran agar kerja-kerja kesenian ini tetap diminati. “Para pengukir dan mama-mama pembuat noken (anyaman) harus sejahtera, supaya mereka tetap semangat melestarikan budaya ini. Pemasaran produk seni Asmat perlu untuk kita kembangkan. Itu makanya tahun ini saya mengundang beberapa pengusaha, termasuk anggota DPR RI dan Provinsi agar mereka mendengar langsung aspirasi kita. Bandara baru harus sudah selesai dalam waktu dekat. Biar orang-orang (pembeli) gampang datang ke Asmat sini,” Jelas Bupati Asmat.

Pesta Budaya Asmat 2016 kemudian dibuka secara resmi oleh Uskup Keuskupan Agats, Aloysius Murwito. Kemeriahan pun dimulai. Pawai keliling Kota Agats oleh para peserta dan pengunjung menjadi sajian pembuka keramaian. Setelah iringan pawai kembali berkumpul di Lapangan Yos Sudarso, acara dilanjutkan dengan pesta goyang. Disinilah puncak kemeriahan Pesta Budaya Asmat. Semua yang berkumpul di lapangan larut dalam keriaan. Mama-mama dengan kostum dan aksesoris adat terus bergoyang indah seperti tanpa lelah. Pukulan tifa dari para lelaki Asmat menjadi penguasa irama. Mereka mengatur tempo dan jeda agar pesta goyang terus berlangsung dalam suasana gembira namun tetap sakral.

Pria Asmat dengan Hiasan kepala kulit kus kus dan ukiran tombaknya
Asmat cepes dengan kalung manik-manik biji buah hutan dan taring anjing
Fatcin (hiasan kepala) kulit kus kus dan bulu kasuari
Wowpits, ke pesta budaya gaya harus maksimal
Manuver perahu tradisional Asmat atau ci-mbi menjadi sajian paling menarik perhatian pada hari berikutnya. Sejak pagi para pengunjung telah memadati Pelabuhan Feri Kota Agats. Kali Aswet yang berada di depannya menjadi arena ci-mbi. Ada total tujuh belas perahu yang masing-masing dikendarai oleh lima orang pendayung. Mereka menunjukkan skil mendayung perahu melawan arus kali dan beradu cepat untuk sampai ke garis finish. Kostum adat dan seruan kepada leluhur yang didendangkan sepanjang perlombaan menambah eksotisme atraksi budaya ini.


Adu cepat Ci-mbi
Pertunjukan yang tidak kalah menarik pada hari ketiga adalah demonstrasi mengukir dari para wowpits (sebutan lokal bagi pengukir Asmat). Para peserta berkumpul di tengah lapangan, di bawah terik matahari siang, untuk mempertontonkan keahlian mengukir mereka. Yang istimewa adalah waktu yang diberikan untuk menyelesaikan sebuah ukiran sangatlah singkat. Di tangan para pengukir terbaik ini, kayu yang awalnya masih berbentuk batangan sudah mewujud patung manusia hanya dalam tempo tiga jam.

Lomba mengukir cepat
Demonstrasi mengukir
Bagi penyuka seni tari, setiap malam dipentaskan atraksi tarian Asmat yang dibawakan oleh grup budaya dari berbagai kampung. Tarian Asmat memadukan gerakan yang merupakan simbolisasi kisah-kisah leluhur dengan iringan tifa dan nyanyian adat. Hikayat perang antar suku ditampilkan oleh penari dari Kampung Waras, Distrik Fayit. Gerakan dan tempo yang meraka mainkan sangat dinamis. Cepat dan menegangkan di awal, kemudian berubah lambat dengan aura sedih menjelang akhir. Sebaliknya, pesan perdamaian disampaikan oleh para penari dari Kampung Yasiw, Distrik Atsj. Sepanjang gerakan tarian para pemukul tifa juga melantunkan kidung sendu. Terasa sakral namun tetap indah untuk dinikmati.

Hari kelima, Senin 10 Oktober, adalah hari yang paling ditunggu oleh para pengukir yang telah lolos seleksi. Ini waktunya pengumuman siapa yang berhak menyandang gelar sebagai wowpits terbaik pada enam kategori. Gelar ini selalu menjadi incaran. Selain memperebutkan hadiah sebesar dua puluh juta rupiah di masing-masing kategori, rasa bangga juga akan mengiringi karena karya terbaik akan terpajang abadi di Museum Asmat. setelah melalui penilaian selama tiga hari oleh tiga orang pakar, tiba saatnya panitia menyampaikan pengumuman.

Pada kategori patung kecil, Yakobus Kakewernam dari Kampung Youw, Distrik Betcbamu, berhasil mempertahankan statusnya sebagai yang terbaik pada Pesta Budaya Asmat edisi sebelumnya. Ia dengan sangat detail menampilkan ritual pesta ulang sagu lengkap dengan visualisasi para tetua adat dan jew, rumah adat Suku Asmat. Kategori patung sedang dimenangi oleh Sabinus Tambo dari Kampung Uwus, Distrik Agats dengan ukiran tetua adat yang yang memegang tifa. Sedangkan pemenang untuk kategori patung besar diraih oleh Benediktus Fokoyew dari Kampung Biwar Laut, Distrik Betcbamu. Ia menciptakan ukiran setinggi dua meter dengan desain tiga figur leluhur lengkap dengan hiasannya masing-masing.

Para pemenang dari tiga kategori spesial lainnya adalah Teodorus Kom dari Kampung Yow, Distrik Betcbamu untuk kategori patung cerita, Markus Mbes dari Kampung Er, Distrik Sawaerma, untuk kategori panel, dan Aloysius Ari Bainepe dari Kampung Kairin, Distrik Safan, untuk kategori ukiran tradisional. Jika tiga kategori awal adalah kategori yang mengandalkan inovasi dalam mengukir, maka tiga kategori berikutnya adalah penghargaan bagi para pengukir yang tetap setia dengan kekhasan dan cerita warisan leluhur. Keenam ukiran tersebut semakin istimewa karena merupakan enam koleksi pertama Museum Asmat yang baru. Pesta Budaya Asmat tahun ini juga menjadi penanda berpindahnya Museum Asmat ke gedung baru yang lebih besar dan modern.


Para pemenang
Para pengukir yang gagal menang juga mama-mama pembuat anyaman tidak lantas berkecil hati karena tidak memperoleh hadiah dari panitia. Selepas pengumuman pemenang, karya yang tidak masuk museum kemudian dilelang di hadapan para pengunjung. Dipandu langsung oleh Ketua Panitia, Erick Sarkol, sesi lelang ini berlangsung alot dan seru selama tiga hari. Ini waktunya ukiran-ukiran dan anyaman terbaik bertemu dengan para pembelinya yang kebanyakan adalah pengusaha dan pejabat. Harga terendah dalam sesi lelang ini adalah sebesar lima juta rupiah. Sedangkan untuk harga tertinggi tahun ini diberikan kepada ukiran karya Edoardus Jokpit dari Kampung Yepem, Distrik Agats. Patung yang bercerita tentang lima leluhur yang pergi berperang dengan mengendarai perahu tradisional tersebut laku terjual sebesar tiga puluh satu juta rupiah. Harga yang seragam dengan angka edisi Pesta Budaya Asmat tahun ini.

Penutupan Pesta Budaya Asmat tahun 2016 dirayakan dalam suasana meriah dengan pesta goyang bersama. Guyuran hujan yang turun tepat setelah pukulan tifa dari Bupati Asmat dan Uskup Agats, tidak dianggap sebagai penghalang, melainkan berkah atas kesuksesan penyelenggaran pesta tahunan masyarakat Asmat ini. Upaya bersama untuk terus mempertahankan eksistensi warisan leluhur ini juga menjadi ajang berkumpulnya masyarakat dari seluruh penjuru Kabupaten Asmat untuk merayakan pesona kekayaan budaya mereka.

*Semua foto oleh Regista

Senin, 17 Oktober 2016

Setahun di Papua


Tanggal 14 Oktober lalu menjadi penanda satu tahun sudah saya tinggal di Papua. Senang rasanya bisa sampai di tanah yang sejak masa awal kuliah ingin saya datangi. Dulu saya sangat berharap bisa mengunjungi Papua walau sehari saja. Tapi semesta mengatur lain. Saya harus tinggal dan bekerja disini dalam waktu yang lama. Dan sungguh sangat tidak terasa, ternyata sudah setahun saja.

Bagi saya, memilih hidup di Papua berarti harus meniggalkan segala kenyamanan yang telah saya temukan selama tinggal di Kota Makassar. Mei 2015 kuliah saya akhirnya selesai. Dua tahun sebelumnya saya malah sudah diterima bekerja di tempat yang sangat menyenangkan. Kak Rappung dan teman-teman di Yayasan Konservasi Laut Indonesia memberi saya kesempatan untuk bekerja sambil belajar langsung bersama komunitas masyarakat di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar. Tanakeke sudah seperti sekolah yang mengajari saya banyak sekali hal; pertemanan, perjuangan, hingga perspektif baru dalam menjalani hidup.

Kenyamanan lain yang mesti ditinggalkan untuk hidup di Papua adalah hobi-hobi dan rutinitas akhir pekan bersama teman-teman. Tinggal di Papua, apalagi di Kabupaten Asmat, berarti harus jauh dari toko buku. Kalau ada buku yang sangat ingin dibaca berarti harus memesan secara online dengan ongkos kirim ke Papua yang bisa setara dengan harga dua buku. Alternatif lainnya, menitip kepada teman yang sesekali datang ke Papua. Saat akhir pekan datang, saya menikmati waktu untuk bertemu dengan teman-teman kuliah atau mengunjungi kegiatan-kegiatan komunitas. Biasanya bermain futsal menjadi pilihan. Tapi tentu menghadiri acara musik menjadi kesukaan saya. Beberapa tahun belakangan, akhir pekan di Makassar semakin meriah dengan kegiatan semacam ini. Tidak selalu konser besar, micro gig dengan balutan kumpul-kumpul atau diskusi semakin aktif dilaksanakan. Anak muda Makassar dari berbagai komunitas seperti punya tenaga berlebih untuk saling bahu-membahu, bergantian menjadi penyelenggara. Menyenangkan sekali.

Rutinitas lain yang mesti ditinggalkan sejak pindah ke Papua adalah menonton pertandingan klub kesayangan, AS Roma. Jika dulu saya selalu rela menunggu hingga subuh untuk melihat aksi Francesco Totti dan kolega bertanding, kini, bisa mengakses hasil pertandingan semalam via youtube saja sudah bersyukur. Harga televisi dan ongkos memasang antena berlangganan sangat mahal di Kabupaten Asmat. Saya bersama teman rumah, Regis dan Wawan, sepakat untuk tidak membeli kotak ajaib itu karena tidak terlalu mendesak juga. Kami lebih sering menonton film bersama di laptop. Walau jika persedian film sudah habis jadi bingung juga mau lihat hiburan apa lagi sebelum tidur. Hehehe.

Tapi segala kenyamanan yang ditinggalkan tadi tentu tergantikan dengan pengalaman dan pelajaran-pelajaran baru selama setahun ini. Paling tidak itu yang saya rasakan saat ini. Kesempatan tinggal di Papua mengantarkan saya bertemu dengan orang-orang baru, rekan-rekan kerja, dan komunitas masyarakat yang semakin memperkaya pengalaman.

Setahun ini saya tinggal di Kabupaten Asmat dan bekerja bersama dengan masyarakat adat disini. Saya langsung dibuat takjub saat pertama kali menginjakkan kaki di daerah pesisir selatan Papua ini. Bagaimana bisa ada sebuah kabupaten yang sebagian besar wilayahnya tidak bisa dipijak. Seluruh jalanan di Agats, ibukota Kabupaten Asmat, terbuat dari jembatan kayu dan beton komposit karena daratan wilayah ini adalah lumpur dan rawa, habitat hutan mangrove. Maka lahir kemudian julukan “kota sejuta papan” atau “kota lumpur” bagi Asmat dari orang-orang yang pernah datang ke tempat ini. Waktu seperti berjalan mundur. Saya teringat masa kecil saat saya bersama keluarga masih tinggal di Karang Rejo, Kota Tarakan, Kalimantan Utara, yang seluruh jalannya juga terbuat dari jembatan papan.

Penyesuaian diri di tempat baru ini berjalan cukup cepat. Tidak terlalu lama saya sudah punya beberapa kenalan diluar teman-teman kantor. Tuntutan kerja juga mengarahkan saya untuk berkenalan dengan banyak orang, termasuk dengan pegawai dinas dan masyarakat dari beberapa kampung yang menjadi lokasi kerja kami.  Pada masa awal menetap di Agats, bertanya tentang apa saja kepada siapa saja terus saya lakukan. Dari para kenalan baru tersebut saya mulai mendapat gambaran tentang kondisi tempat ini. Informasi yang saya dapatkan dari berbagai sumber sebelum sampai ke Kabupaten Asmat mulai tergambar nyata.

Pengalaman paling menyenangkan selama setahun pertama tinggal di Papua adalah persentuhan saya dengan masyarakat adat Asmat. Selama di Papua saya berinteraksi langsung dengan mereka, baik dalam urusan pekerjaan maupun urusan hidup sehari-hari. Dari masyarakat adat Asmat saya lebih belajar lagi tentang kearifan dan kesederhanaan dalam menjalani hidup. Cara mereka memanfaatkan alam sangat mengagumkan. Kaya akan filosofi keberlanjutan. Karena menganggap alam raya adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, mereka lebih menekankan cara-cara pemanfaatan dengan merawat. Mungkin itu sebabnya cara masyarakat adat dalam memanfaatkan alam tidak banyak dilirik oleh orang-orang yang begitu menggilai cara-cara instan yang eksploitatif.

Belum lagi budaya orang Asmat yang terus memesona saya sampai sekarang. Saya tidak menyangka karya-karya seni kelas tinggi lahir dari tempat yang terlanjur mendapat stigma sebagai daerah terbelakang dalam hal peradaban ini. Ukiran, anyaman, tarian, ritual, dan berbagai ragam kesenian Asmat lainnya ternyata telah bertahun-tahun lalu dilirik dan mengukir nama di dunia. Saya merasa bodoh sekali baru mengetahui informasi ini setelah sampai di tempat ini. Kita memang bangsa yang pemalas mencari tahu jati diri kita.

Lebih dari semua yang telah saya dapatkan selama setahun di Papua, saya ingin berterima kasih kepada semua yang telah memberi saya kesempatan untuk tinggal dan bekerja di tempat ini. Terima kasih kepada Kak Uccang dan rekan-rekan di Blue Forests yang telah percaya dan memberikan pengalaman yang sangat menyenangkan ini. Saya sungguh menikmati semua proses yang telah berjalan. Selama disini saya banyak belajar dan semakin meneguhkan prinsip tetap “berjalan perlahan” ketika kebanyakan orang sedang “berlari kencang” di luar sana. Saya akan bercerita lebih banyak tentang hal ini pada hari saya-sedang-tidak-malas.

Saya belum tahu pasti sampai kapan saya akan berada di Papua. Saya berharap diberi waktu yang cukup untuk lebih mengenal tempat ini. Tolong bantu saya untuk terus betah disini dengan tidak terlalu sering memposting foto nasi lalap atau sop sodara di sosial media kalian. Tolong jangan kabari saya kalau gigs di Makassar atau di Tarakan atau bahkan di Pinrang sedang ramai dan meriah. ditolong ya. Hehehe.


Itu sudah. Ndormom.