Minggu, 29 Desember 2013

Album Indonesia 2013 Wajib Dengar Lainnya



Baru-baru ini, Achmad Nirwan, teman baru yang sungguh bersemangat di bidang musik, membuat sebuah artikel yang sangat menarik. Tulisan tersebut berisikan daftar “Album Indie Indonesia Wajib Dengar Sepanjang Tahun 2013”. Tak tanggung-tanggung, Nirwan memilih dua puluh rilisan untuk dimasukkan ke dalam daftar tersebut. Lebih dari sekedar sebuah bentuk apresiasi, bagi saya Nirwan telah melakukan hal penting dalam skena: menyebarkan informasi, dari musisi kepada pendengar/calon pendengar. Tulisan tersebut sangat informatif. Paling tidak bagi orang-orang yang malas untuk mencari informasi tentang musik-musik Indonesia yang lebih bermutu tapi bergerak mengalir di bawah permukaan.

Lewat tulisan ini, saya ingin menambah daftar panjang rilisan tahun 2013 wajib dengar yang telah disusun Nirwan tersebut. Tak banyak, hanya empat. Karena menurut saya keempat album ini juga sangat layak untuk didengarkan. Bukan berniat untuk menyaingi, daftar dari saya ini hanya semacam suplemen yang semoga dapat menambah khasanah pendengaran kita akan musik-musik menarik dari dalam negeri. Semoga berkenan.

Ini dia keempat album itu:



Pesona Frau berlanjut. Setelah begitu memukau di album perdana, Starlit Carousel, pendengar yang dibuatnya begitu jatuh hati, terpaksa harus menunggu selama lebih dari dua tahun untuk mendengar kelanjutan sihir musik Lani dan Oscar, pianonya. Album keduanya yang bertitel Happy Coda akhirnya dirilis pada pertengahan tahun ini. Lirik puitis nan imajinatif saya kira menjadi benang merah yang menjalin cerita di kedua album Frau tersebut.

Empat Satu, lagu yang membawa saya ke sebuah meja judi kartu yang terlihat mudah tapi sukar ketika dimainkan. Di lain waktu saya merasa lagu ini bercerita tentang cinta yang penuh intrik. “Perhatikan, Tuan, sebelum semua kartu ditukarkan. Kesempatan hanya sekali dan sekali itu tak mudah.” Sungguh cerita yang ingin mengajak kita untuk berangan.

Lain lagi dengan Tarian Sari. Lagu ini telah sempat saya saksikan versi live-nya di tahun 2011. Dan saya langsung jatuh cinta pada saat itu juga. Bercerita tentang rasa rindu yang mendalam dari seorang penari tua pada cucunya. Kisah ini berujung pada pertemuan yang sungguh mengharukan. Dengan ketukan piano yang mirip dengan bunyi-bunyian alat musik tradisional semakin membuat lagu ini menjadi istimewa.

Masih ada enam lagu yang menawarkan cerita menarik lainnya. Kesemuanya menyiapkan ruang imajinasi yang akan diisi oleh setiap pendengarnya. Jika dikatakan album kedua adalah sebuah pembuktian kualitas, Frau telah melakukannya dengan sangat baik lewat Happy Coda ini.


Banda Neira adalah Rara Sekar dan Ananda Badudu. Tempat tinggal mereka saling berjauhan. Rara menjadi pekerja sosial di Ubud, Bali. Sedangkan Nanda sehari-hari sibuk menulis berita untuk media Tempo di Jakarta. Namun jarak itu tak menghalangi mereka untuk menghasilkan musik sederhana  namun sangat menarik di bawah nama Banda Neira.

Bermula dari mini album berisikan empat lagu yang dirilis pada Agustus 2012, mereka berhasil menjadi perbincangan penikmat musik independen tanah air. Banda Neira memainkan musik minimalis yang hanya diisi dengan bebunyian gitar dan xylophone. Untuk divisi lirik, mereka bercerita tentang keseharian, baik suka cita ataupun kesedihan. Kesemuanya terangkum dalam lagu-lagu yang mereka sebut sebagai “Pop Nelangsa-Ceria”.

Pada bulan Mei lalu Banda Neira menggenapkan mini album mereka menjadi album penuh dengan tambahan enam lagu baru. Dibuka dengan lagu berjudul sama dengan titel albumnya, Berjalan Lebih Jauh. Lagu ini bercerita tentang semangat untuk berbuat lebih baik dari sebelumnya. Lalu ada lagu favorit saya, Di Atas Kapal Kertas. Lagu ini selalu saya dengarkan tiap bepergian menyeberangi laut, aktifitas yang rutin saya lakukan beberapa bulan lalu.

Yang juga menarik adalah lagu Senja di Jakarta. Nomor ini bercerita tentang pesepeda yang mengarungi jalanan Jakarta di sore hari. Dengan segala hal yang menjengkelkan di ibu kota, Banda Neira mencoba merekam keceriaan, yang lagi-lagi dengan cara yang sangat sederhana.
Mari berharap, semoga kesibukan Rara dan Nanda tidak terlalu menghalangi mereka untuk membuat musik menarik lainnya.


Setelah tak terlalu aktif di Zeke and The Popo, Leonardo Ringgo ternyata bergerak menghimpun teman-temannya untuk memainkan Jazz Swing dalam Leonardo and His Impecabble Six. Untuk perkenalan dan pemanasan menuju rekaman lagu sendiri, mereka melepas sebuah album cover yang berisi sepuluh lagu. Kesepuluh lagu tersebut diambil dari beberapa karya musisi legendaris yang memengaruhi musikalitas mereka. 

Dibuka dengan lagu klasik, Cheek to Cheek yang ditulis oleh komposer legendaris, Irving Berlin. Juga ada hits New York New York yang masyhur setelah dibawakan oleh Frank Sinatra di awal 1980-an. Lagu-lagu legendaris lainnya yang mereka remake adalah Rock Around The Clock (ditulis oleh Max Freedman dan James Myer), Just A Gigolo (Irving Caesar), Mr. Bojangles (Jerry Jeff Walker), In The Wee Small Hours of The Morning (David Man dan Bob Hillard), In The Mood/Getting’ In The Mood (Glenn Miller), Hit The Road Jack (Percy Mayfield), Anarchy In The UK (Sex Pistols) dan Peter Gun Theme (Henry Mancini).

Walaupun Mirror hanyalah sebuah album cover, ia menghadirkan sebuah ekspektasi yang cukup tinggi akan album pribadi band baru ini. Aksi panggung yang selalu act out dan improvisasi bernyanyi yang sering dilakukan oleh Leonardo Ringgo tentu menjadi alasan tambahan mengapa karya band ini layak dinanti.


Yogyakarta sepertinya tak akan pernah kehabisan stok seniman bermutu. Kota ini tak henti-hentinya menghasilkan musisi yang menghiasi khasanah scene musik nasional. Mulai dari band dengan jutaan penggemar, Sheila On 7 sampai si liar Zoo. Dari yang unik seperti Jogja Hip-Hop Foundation sampai sang pujangga, Jikustik. Bukti terbaru kualitas musik Kota Gudeg adalah Rabu, duo folk balada yang baru saja merilis album berjudul Renjana.

Tema besar Renjana ialah legenda mistika. Dibuka dengan instrumental misterius berjudul Dru. Entah apa maksud pembuka ini. mendengarnya, kita seperti berjalan dengan lambat di dalam kegelapan. Lalu ada Baung yang bercerita tentang sosok mengerikan yang hadir di malam hari. “Baung memanggil malam. Mendamba gelap. Mengutuk siang. Lolongan panjang. Memecah tenang. Tatapan tajam. Tanpa ampunan.

Lalu ada Kemarau, Bunda dan Iblis dengan lirik sadisnya. Dan yang menjadi favorit saya di album ini adalah Semayam. Bercerita tentang persinggungan cinta dan benci yang selalu hadir dalam “belantara hati” setiap manusia. Dibuka dengan beat monoton lalu mulai berwarna di bagian reffrain hingga akhir.

Album ini mengejutkan. Seperti temanya yang misterius, Renjana muncul secara tiba-tiba dari musisi yang baru terdengar. Jadi nikmati betul album ini. Sebelum mereka menghilang secara tiba-tiba pula. Semoga tidak demikian.

Catatan akhir:
Tulisan Achmad Nirwan yang dimaksud dapat dibaca di Majalah Opium edisi Desember atau di blog pribadinya dalam versi yang lebih lengkap.

Rabu, 25 Desember 2013

Tanakeke

Salah satu sudut Pulau Tanakeke


Apa kabar Tanakeke?

Saya terakhir kali kesana sekitar dua bulan lalu. Bersama Dede, kami menggantikan tugas Kak Winda untuk melakukan pendampingan terhadap lima kelompok usaha masyarakat pesisir disana. Tugas terakhir kami adalah memonitoring perkembangan usaha dan mendampingi kelompok untuk menyusun kalender musim juga penyusunan proposal.

Menurut kalender musim yang telah disusun di lima lokasi tersebut, Desember adalah waktu yang sangat baik untuk menjalankan usaha utama, yaitu bertani rumput laut. Saya membayangkan banyak petani yang sedang tersenyum senang melihat agara’ (sebutan warga lokal Pulau Tanakeke untuk salah satu jenis rumput laut) mereka yang tumbuh sehat. Akhir bulan ini sampai pertengahan Januari adalah waktu panen terbaik.

Kebahagian lain tentu hadir seiring dengan datangnya musim hujan. Persediaan air tawar masyarakat Pulau Tanakeke tentu akan melimpah. Mereka tak akan bersusah payah lagi mengangkut air tawar dari pulau seberang hanya untuk sekedar memasak dan mandi.

Jika tidak hujan, sangat sulit mendapatkan air tawar di Pulau Tanakeke. Pulau ini berdataran sangat rendah dan merupakan habitat utama tanaman Mangrove di selatan Pulau Sulawesi. Mata air yang menghasilkan air tawar sangat terbatas dan hanya terdapat di dusun tertentu saja. Bagi daerah yang terletak jauh dari sumber mata air, tidak ada jalan lain. Mereka harus rela membeli air tawar seharga 2500 Rupiah per jeregennya. Kita harus menghemat air tawar di pulai ini.

Sekali lagi saya membayangkan, tangki berukuran besar yang ada di setiap rumah warga pasti sedang terisi penuh akan air tawar segar yang baru saja turun dari langit.

Tapi kabar kurang baiknya adalah ombak di laut antara Takalar dan Pulau Tanakeke kemungkinan sedang sangat besar. Hampir semua kebutuhan pokok masyarakat disana didapatkan dari pasar di Takalar. Saya tak berani membayangkan jika laut sedang begejolak. Semoga ombak masih bisa dilalui oleh perahu penghubung Pulau Tanakeke dan Takalar.

Apa kabar Tanakeke? Semoga baji-baji ji. Pada salama’ ki’, Daeng Sua, Daeng Sugi dan semua kawan-kawan disana.