Sabtu, 18 Maret 2017

Mencari Jernih Mata Air Kali Yomoth


''Yang harus kita wariskan kepada generasi penerus adalah mata air, bukanlah air mata.''

Sejarah Kampung Yepem di Kabupaten Asmat, Papua, adalah riwayat tentang penemuan sumber mata air. Saat masih menetap di tepi Kali Jindiw, masyarakat kampung ini mengalami krisis pangan dan air bersih. Untuk keluar dari pelik permasalahan tersebut, para Tetua Adat dan masyarakat bersepakat melakukan ekspedisi untuk menemukan wilayah dengan sumber daya yang lebih baik. Pencarian itu kemudian berakhir di kepala Kali Yomoth, lahan yang kaya akan sagu dan memiliki sumber mata air rawa yang dapat diminum.

Perkampungan pun mulai terbangun di Kali Yomoth. Sumber mata air yang memberi kehidupan bagi manusia dan makhluk sekitarnya tersebut dijaga agar terus mengalir. Pada “masa gelap” di Asmat, pendatang yang memasuki sebuah kampung akan dianggap sebagai musuh yang harus diperangi. Begitupun yang terjadi di Kampung Yepem kala itu. Untuk melindungi sumber daya air yang terbatas di wilayah pesisir selatan Papua tersebut, segalanya akan dilakukan, bahkan bila harus mengorbankan nyawa sekalipun.

Sumber air rawa Kali Yomoth kemudian ditetapkan sebagai “tempat keramat” yang tidak boleh diakses oleh orang luar. Konsep “tempat keramat” merupakan mekanisme konservasi tradisional yang dipakai Orang Asmat untuk menjaga kelestarian tempat-tempat tertentu yang dianggap penting. Mereka percaya, orang yang melanggar aturan adat tersebut bisa celaka, sakit bahkan mati. Kearifan tersebut masih bertahan dan dipegang teguh oleh masyarakat Asmat Kampung Yepem sampai sekarang.

“Masa terang” kemudian datang bersama masuknya misionaris agama dan pemerintah di wilayah Asmat. masyarakat di berbagai kampung mulai terbuka dengan peradaban pendatang. Tradisi perang dan pengayauan mulai ditinggalkan. Kampung Yepem yang terletak cukup dekat dengan Agats yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Asmat, mendapat manfaat sekaligus tantangan dalam mempertahankan sumber daya alam sekaligus kearifan adatnya.

Sebuah keluarga sedang memancing ikan di Kali Yomoth. Kali Yomoth sebagai sumber air bersih bagi Kota Agats dan Kampung Yepem juga dijadikan sebagai tempat mencari makan bagi masyarakat Asmat.
Kabupaten Asmat yang terletak di pesisir selatan Papua adalah daerah yang rentan terhadap bencana krisis air tawar. sebenarnya wilayah yang merupakan pecahan dari Kabupaten Merauke ini didonimasi oleh lahan gambut yang basah. Namun siklus air pasang laut yang kerap merendam daratan Asmat menjadikan air tanah di daerah ini tidak dapat dikonsumsi. Hanya beberapa kampung yang beruntung dianugerahi sumber mata air tawar, salah satunya Kampung Yepem dengan mata air rawa Kali Yomoth-nya. Sedangkan sebagian besar kawasan Asmat, termasuk Agats sebagai pusat kabupaten, hanya mengandalkan air tadah hujan sebagai sumber air yang dapat dikonsumsi.

Sebenarnya curah hujan Kabupaten Asmat tergolong tinggi, 3.000 sampai 4.000 mm per tahun. Namun tidak jarang terjadi musim kemarau panjang sampai berbulan-bulan. Fenomena kekeringan tersebut terakhir terjadi pada tahun 2015. Akibat pengaruh el nino, Kota Agats dan sekitarnya tidak diguyur hujan selama lebih dari lima bulan, antara Agustus hingga Desember. Akibatnya penduduk mengalami krisis air. Tidak sedikit masyarakat pendatang yang memilih meninggalkan Asmat untuk sementara menuju ke kota lain. Sedangkan bagi penduduk asli dengan kondisi perekonomian pas-pasan tidak ada pilihan lain selain bertahan dalam kekeringan.

Bencana kekeringan yang terus berulang tersebut kemudian mendorong pemerintah Kabupaten Asmat melirik Kali Yomoth sebagai sumber air tawar alternatif bagi Kota Agats dan kampung-kampung di sekitarnya. Sumber air rawa yang telah dimanfaatkan secara tradisional Orang Asmat di Kampung Yepem selama ratusan tahun tersebut memang punya potensi untuk itu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Asmat dan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2010, air rawa Kali Yomoth sebagai sumber air bersih mempunyai kapasitas daya dukung sebesar 2.302.140 mᶟ. Kualitas air baik untuk dikelola sebagai sumber cadangan air bersih, walaupun masih harus melalui proses penjernihan terlebih dahulu.

Rumah mesin air di tengah Kali Yomoth
Proses pemanfaatan air rawa Kali Yomoth oleh pemerintah Kabupaten Asmat sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2005. Masyarakat Kampung Yepem juga telah mempersilakan setelah pemerintah memberikan kompensasi kepada masyarakat. Namun karena tidak lancarnya komunikasi antara masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat dan pemerintah sebagai pengelola, menyebabkan tidak efektifnya pemanfaatan air rawa Kali Yomoth. Beberapa kali pemerintah kabupaten lewat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Asmat membangun beberapa fasilitas pendukung untuk mengalirkan air ke Kota Agats. Namun karena dilakukan secara sepihak dan dianggap melanggar adat, masyarakat Kampung Yepem membongkar fasilitas tersebut tanpa sepengetahuan pemerintah. Tindakan itu mengakibatkan air tidak mengalir ke kota secara maksimal.

Untuk mengalirkan air dari Kali Yomoth ke Kota Agats, pemerintah membangun rumah mesin di atas badan kali. Hal ini mengakibatkan bahan bakar dari mesin menetes ke kali dan mencemari air di sekitar lahan tersebut. Masyarakat Kampung Yepem sudah melayangkan protes. Namun tanggapan pemerintah tidak kunjung menyelesaikan masalah. Pada akhir tahun 2016, Dinas PU membangun bendungan di bagian atas Kali Yomoth untuk meningkatkan debit air di sekitar rumah mesin. Karena hal itu, masyarakat dan para Tetua Adat Kampung Yepem kembali dibuat marah besar. Tanpa memberi tahu pihak pemerintah, mereka membongkar bendungan tersebut karena menghalangi air untuk sampai ke dalam kampung. 

Masih ada beberapa tindakan sepihak yang dilakukan oleh masing-masing pihak, termasuk pengerusakan jaringan pipa yang menyalurkan air ke rumah-rumah penduduk di Kota Agats. tindakan-tindakan sepihak tersebut bukannya menyelesaikan masalah, bahkan semakin memperumit kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat Kampung Yepem.

Untuk meredam konflik ini, sudah seharusnya kedua belah pihak membangun sebuah forum dialog dalam bentuk kelembagaan bersama. Forum ini dapat digunakan sebagai wadah untuk saling berkomunikasi, menyampaikan pendapat masing-masing pihak, dan membangun sistem pengelolaan air lebih baik yang bisa diterima bersama. Niat baik pemerintah untuk menyediakan sumber air alternatif bagi masyarakat tidak sepantasnya melanggar kearifan tradisional masyarakat adat Asmat yang telah bertahan selama ratusan tahun. Lagi pula pemanfaatan secara adat tersebut sudah terbukti lestari dalam menjaga keberadaan sumber air rawa Kali Yomoth.

Jika ingin lebih serius dan berkekuatan hukum, kedua belah pihak dapat membangun sebuah kesepahaman kerja sama, misalnya dalam bentuk memorandum of understanding (MoU). Dalam MoU tersebut dapat disepakati hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Masyarakat adat Kampung Yepem sebagai pemilik hak ulayat harus memastikan kelestarian lokasi sumber air rawa Kali Yomoth. Tidak boleh ada pemanfaatan eksploitatif yang mengakibatkan rusaknya ekosistem di sekitar tempat tersebut. sedangkan untuk pemerintah selaku pengelola harus menghadirkan manfaat bagi semua pihak. Masyarakat di Kota Agats yang menikmati aliran air diwajibkan membayar retribusi yang akan digulirkan untuk berbagai hal. Retribusi ini dapat dijadikan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sebagian lagi juga dinikmati oleh masyarakat Kampung Yepem dalam bentuk subsidi di berbagai bidang, misalnya pendidikan, kesehatan, bahkan dalam hal pelestarian adat-budaya dan lingkungan. Dengan begitu semua merasakan manfaat dari anugerah bernama sumber air rawa Kali Yomoth ini.


Bukankah hal yang paling penting dari anugerah sumber daya alam adalah manfaat yang sebesar-besarnya dan kelestarian selama-lamanya. Kejernihan manfaat boleh dirasakan generasi hari ini, tapi tentu keruh kerusakan tidak boleh dirasakan generasi yang akan datang. Untuk sekedar mengingatkan, perkataan seorang bijak ini mungkin boleh kita kutip kembali, “yang harus kita wariskan kepada generasi penerus adalah mata air, bukanlah air mata.”