"These are the postcards from a young man. They may never be written or posted again." - Manic Street Preachers
Jumat, 19 Februari 2016
Jendela
kita mungkin jendela tak berengsel
di antara indahmu dan kagumku
ada pemisah yang tak terelakkan
tapi apa yang bisa menghalangi renjana?
tembok mengecil di hadapnya
Selasa, 09 Februari 2016
Pindah ke Asmat
Tugu Tangan yang menjadi pusat penanda Kota Agats, KabupatenAsmat. |
Penghujung Januari lalu akhirnya saya pindah ke Asmat,
setelah sebelumnya hanya berkunjung selama sepuluh hari. Pindah ke Asmat
seperti membawa saya pulang ke Tarakan pada pertengahan 1990-an. Saat pertama
kali datang ke Tarakan, keluarga saya memilih tinggal di sebuah kelurahan
bernama Karang Rejo. Karena berada di daerah pasang surut, hampir seluruh bangunan
di Karang Rejo berdiri di atas tiang-tiang pancang, termasuk juga jalan-jalan
penghubungnya yang berbentuk jembatan. Memori inilah yang menjadi kesan pertama
saat pertama kali sampai di Asmat.
Sampai menjelang berangkat ke Papua, Asmat masih menjadi
semacam teka-teki bagi saya. Informasi tentangnya yang saya dapat masih sangat
terbatas. Saya hanya tahu Asmat adalah nama salah satu suku di Papua. Saya
bahkan tidak tahu ia adalah nama sebuah kabupaten. Baru saat masuk masa
persiapan di Makassar dan Timika kabar tentang Asmat saya terima sedikit demi
sedikit. Bahan bacaan mulai terkumpul, mulai dari artikel online sampai
rancangan rencana pembangunan, dari data statistik sampai buku seperti Traveling the Asmat karya Marc Argeloo.
Kunjungan pertama ke Asmat memberikan kesan yang dalam bagi
saya. Selain karena menghidupkan lagi memori masa kecil di Tarakan, saya dibuat
terkagum dengan ukiran khas suku Asmat yang terdapat hampir di semua tempat. Di
Agats yang merupakan ibukota kabupaten, semua gedung memasang ukiran sebagai
ornament. Gedung pemerintahan, penginapan, gereja, sekolah, bahkan rumah-rumah
warga pasti ada ukiran kayu.
Saya, bersama dua teman lainnya, semakin terpesona dengan
Asmat saat mengunjungi Museum Budaya dan Kemajuan Asmat. Di tempat ini pengunjung
tidak hanya dapat melihat ukiran biasa, tapi semua karya terbaik maestro
pengukir dari dua belas Forum Adat Rumput (FAR) Asmat. Karya-karya tersebut
bisa dipajang di museum setelah meraih titel juara pada Pesta Budaya Asmat yang
diselenggaran setiap tahun sejak 1981. Suasana semakin menyenangkan karena kami
disambut dengan ramah sekali oleh Pak Erick Sarkol, Kepala sekaligus kurator
utama museum. Karena tidak ada pengunjung lain, kami seperti mendapat pendampingan
eksklusif. Pak Erick Sarkol sangat bersemangat menjelaskan semua hal tentang
museum tersebut kepada kami, juga sejarah budaya mengukir suku Asmat.
Tapi perjalanan tentu tak melulu menyenangkan. Saat akan
berlayar dari Pelabuhan Poumako, Mimika menuju Agats, Asmat, dompet saya
dicopet orang! Uang di dalamnya sih tidak seberapa, yang bikin celaka adalah
semua dokumen penting, KTP, ATM, kartu asuransi, foto gebetan, semuanya ikut raib. Lagipula
dompet tersebut adalah pemberian seorang teman akrab waktu SMA, dan belum
pernah saya ganti lebih dari sepuluh tahun karena belum juga rusak. Maafkan
saya, Chipa, eh Andry.
Akibat kehilangan dompet beserta isi-isinya, kehidupan dan
pekerjaan jadi sedikit terganggu. Saya beruntung punya teman-teman dan rekan
kerja yang sangat pengertian. Dan yang paling penting masih ada yang mau
meminjamkan uang karena rekening tidak bisa diakses sama sekali di Agats ini.
Terima kasih kepada Regis, Wawan, dan semua teman-teman kantor atas segala
bantuannya.
Kalau ditotal, hampir sebulan sudah saya tinggal di Asmat. Selama
itu saya masih terus beradaptasi, entah berapa lama sampai betul-betul membaur
dengan segala kebiasaan yang ada disini. Kegiatan yang paling sering saya
lakukan adalah menyapa dan bertanya kepala sebanyak-banyaknya orang. Untung di
dalam Kota Agats ini saling menyapa sudah menjadi rutinitas. Paling tidak saya
sudah memiliki beberapa teman akrab, selain rekan-rekan kerja tentunya.
Di kontrakan, anak-anak tetangga selalu kami ajak bermain
dengan beberapa permainan yang Regis bawa dari Makassar. Permainan favorit
mereka adalah ular tangga. Mungkin saking bersemangatnya, pernah mereka bermain
permainan ular tangga lebih dari enam jam, dari siang sampai menjelang maghrib.
Saat malam sebelum tidur kami dihibur dengan cerita mop (lelucon khas orang
Papua) oleh anak-anak tersebut. Kami selalu ikut tertawa lepas, walau harus sabar
mendengarkan cara berbicara mereka yang sangat cepat. Aih.
Sepertinya saya harus belajar mop untuk lebih mengakrabkan
diri dengan orang-orang sekitar dan masyarakat di kampung-kampung nantinya. Hehehe.
Itu sudah. Ndormom.
Langganan:
Postingan (Atom)