Pagi di Kampung Yepem diawali dengan
kokok ayam dan suara burung-burung dari hutan sekitar. Bunyi-bunyian itu
menjadi semacam alarm yang membangunkan penduduk. Sebelum fajar benar-benar
terbit, aktifitas sudah mulai terlihat di sekeliling kampung; anak-anak mandi
di sungai, nelayan mendayung atau menyalakan mesin perahunya, dan atap-atap rumah
yang terbuat dari daun sagu mulai mengepulkan asap dari dapur.
Yepem adalah sebuah kampung yang
terletak di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Jaraknya sekitar
dua puluh menit perjalanan dengan menggunakan perahu bermotor dari Kota Agats,
ibukota Kabupaten Asmat. Akses yang cukup dekat dengan pusat kabupaten memberi
keuntungan sekaligus tantangan tersendiri bagi Kampung Yepem dalam
mempertahankan adat juga hutan mereka. Dalam lansekap yang lebih luas, Suku
Asmat yang tersebar di 221 kampung menghadapi tantangan serupa dengan
dinamikanya masing-masing. Bagaimana mempertahankan dua unsur paling penting dalam
hidup Orang Asmat di tengah pesatnya pembangunan dan semakin terbatasnya sumber
daya.
Adat dan hutan menjadi dua hal vital
dan saling bergantung dalam kehidupan Orang Asmat. Tanpa kedua unsur ini Suku
Asmat tidak akan pernah ada. Atau jika keduanya rusak, tentu “Asmat” hanya akan
menjadi nama mati yang kehilangan maknanya. Adat Suku Asmat tumbuh dan
berkembang di hutan. Sebaliknya, kelestarian hutan terus terjaga lewat praktik
ataupun ritual dalam kepercayaan Orang Asmat.
Dalam alam kepercayaan Orang Asmat,
pohon merupakan materi pembentuk orang pertama atau leluhur mereka. Para
leluhur inilah yang kemudian menghidupkan adat Suku Asmat yang bertempat di
sebagian pesisir selatan Papua. Hikayat ini terus hidup dan termanisfestasi
dalam kegiatan keseharian yaitu mengukir. Lewat seni ukir masyarakat Asmat
terus menjaga adat yang menjadi warisan leluhur. Sebuah ukiran Asmat bukan
hanya benda mati yang tanpa arti. Setiap ukiran diciptakan untuk menceritakan
sebuah peristiwa atau keseharian Orang Asmat.
Paskalis Wakat, seorang seniman ukir
dari Kampung Yepem, mengatakan kalau mengukir merupakan jalan baginya dan
Orang Asmat untuk menghormati leluhur
juga alam. “hutan ini sudah sangat banyak memberi manfaat bagi kehidupan kami
sejak jaman leluhur. Mengukir adalah cara kami menghormati leluhur dan hutan. Jadi
kalau mengambil kayu untuk mengukir tidak boleh sembarangan. Untuk bahan baku
kami memilih kayu besi dari hutan yang benar-benar sudah layak untuk diukir,
agar roh-roh leluhur memberikan keberuntungan kepada kami,” ujarnya dalam
sebuah diskusi yang kami lakukan beberapa waktu lalu.
Seorang teman penasaran lantas
bertanya bagaimana masyarakat menjaga ketersedian bahan untuk mengukir jika
hampir setiap hari mereka mengambilnya dari hutan. “pohon besi itu sebenarnya
tumbuh alami di hutan. Asalkan tidak ditebang habis mereka akan terus ada,” terang
Paskalis yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Woupits (pengukir) Kabupaten Asmat.
Bahan baku yang dipakai untuk
mengukir memang tidak boleh sembarangan. Masih menurut Paskalis, jenisnya harus
kayu besi. Jenis kayu ini dianggap yang paling kuat dan akan tahan lama setelah
ukiran selesai dibuat. Usia tumbuhnya pun harus yang dirasa sudah cukup. “Ciri-cirinya
itu dahan dan rantinnya sudah mulai mengering atau patah.” Jika mengambil kayu
yang belum cukup umur maka akan percuma. Hasil ukiran tidak akan bertahan lama,
mudah patah. “bisa-bisa ukiran itu belum selesai dikerjakan sudah rusak. Itu
tandanya roh leluhur tidak senang,” katanya sambil tertawa.
Mengukir di Jew menjadi aktiftas harian beberapa lelaki di kampung-kampong Asmat |
Selain dalam hal mengukir,
persentuhan adat Orang Asmat dengan Hutan jelas terlihat dalam pembangunan sebuah
Jew, rumah tradisional Suku Asmat. Bagi Orang Asmat, adanya bangunan Jew di
dalam kampung adalah sebuah keharusan. “Berdiri tegaknya Jew adalah pertanda masih
hidupnya adat istiadat di dalam kampung itu,” Kata Felix Owom, Kepala Kampung
sekaligus Ketua Adat Kampung Syuru. Jew merupakan pusat segala kegiatan yang
berkenaan dengan kehidupan sosial maupun religius Orang Asmat. Di tempat inilah
berbagai permasalahan dibicarakan, mulai dari pengambilan keputusan sampai
penyelesaian konflik. Semua pesta dan ritual adat Asmat juga dilaksanakan di
Jew yang hampir selalu dibangun di tepi sungai.
Secara fisik Jew merupakan bangunan
yang berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 50 hingga 80 meter. Bahan
untuk membangunnya seratus persen diambil dari alam. Walau berbeda
di masing-masing rumpun, pembangunan Jew sangat bergantung pada ketersedian
kayu dari dalam hutan. di Kampung Yepem misalnya. Adat turunan dari leluhur
mensyaratkan Jew harus terbuat dari Pow (kayu
Mangrove jenis Bruguiera), Juam (Kayu Putih) dan Kayu Pit. Kayu Pit yang memiliki diameter cukup besar
dipakai sebagai umpak atau tiang penyanggah. Sedangkan Pow yang merupakan bahan
utama digunakan untuk menyusun rangka Jew, mulai dari lantai, dinding, sampai
atap. Untuk memperkokoh bangunan, Juam dipakai
sebagai rangka tengah yang melintang dari ujung kiri sampai kanan. Kesemua
bahan bangunan tersebut diikat dengan menggunakan rotan, tanpa paku sama sekali.
Dengan segala pengalaman dan teknik turun-temurun yang dipakai Orang Asmat,
seluruh rangkaian kerangka Jew tadi akan berdiri dengan kokoh.
Setelah
seluruh rangka Jew terbentuk, giliran lantai, dinding, dan atap yang
dikerjakan. Lantai Jew memanfaatkan kulit kayu Juam yang telah dikupas
sebelumnya. Konsep menggunakan semaksimal mungkin apapun yang diambil dari alam
diterapkan disini. Sementara untuk dinding dan atap harus menggunakan daun sagu
atau biasa disebut daun rumbia. Setelah semua proses pengerjaan tersebut selesai
Jew pun siap digunakan.
Peresmian
sebuah Jew dilaksanakan dalam sebuah ritual yang sakral sekaligus meriah. Bukan
hanya masyarakat kampung yang hadir, rekan dan tamu dari luar kampung pun akan
berdatangan dalam pesta tersebut. Ketua adat akan menaiki Jew baru pertama kali.
Setelahnya akan ada Pesta Goyang bagi perempuan atau mama-mama. Tapi tentu
laki-laki juga anak-anak pun boleh ikut bergoyang. Pesta Goyang ini adalah
puncak kemeriahan peresmian Jew baru. Sebagai pelengkapnya disediakan ulat sagu
sebagai penganannya. Hmm…
Suasana perayaan adat di depan Jew Kampung Syuru, Asmat |
Dengan segala
keunikannya tersebut, Asmat, baik sebagai suku juga sebagai nama sebuah wilayah,
telah memesona mata dunia. Pada Februari 2011 badan pendidikan, keilmuan, dan
kebudayaan PBB, UNESCO, menetapkan Kabupaten Asmat sebagai salah satu situs warisan
dunia. Seni mengukir Orang Asmat diakui sebagai kekayaan intelektual yang
begitu unik sekaligus kaya. Harapan untuk menjadikan Asmat dikenal secara global
tanpa kehilangan jati dirinya tentu telah terwujud. Hal ini pernah diungkapkan
oleh Paskalis Wakat dalam sebuah wawancara dengan WWF Program Papua. “Harapan
terbesar kami, Asmat menjadi internasional tanpa kehilangan kelokalannya.”
Namun capaian
tinggi tersebut tentu bukan akhir dari upaya pelestarian budaya dan lingkungan
Asmat. Keresahan kini dirasakan para tetua Orang Asmat di beberapa kampung.
Diakui oleh mereka, generasi masa kini sudah mulai lupa cara leluhur
memperlakukan alam. Eksploitasi hutan mulai terjadi di beberapa titik di
Kabupaten Asmat. Dengan alasan mendapatkan uang, mereka rela menyewakan bahkan
menjual hutan keluarga untuk ditebang secara massal oleh para pedagang dari
luar daerah.
“Generasi
sekarang sudah tidak tahu cara memanfaatkan hutan. mereka seenaknya saja
merusak. Padahal rusaknya hutan adalah ancaman bagi kehidupan adat,” suara
Primus Osci bergetar saat menyampaikannya dalam sebuah forum diskusi di Kampung
Atsj. Primus adalah salah satu tetua adat di kampung yang kini hutannya banyak
dibabat tersebut. Bukti pembalakan liar di Kampung Atsj sangat mudah dilihat.
Tidak perlu masuk jauh ke dalam hutan. Cukup berdiri di tepi Kali Bets kita
akan melihat sisa batangan-batangan kayu yang hanyut dibawa arus. Sungguh miris
melihat kesia-siaan tersebut.
Dengan segala
upaya dan kesadaran adat yang masih dimilikinya, para tokoh dan tetua adat Orang
Asmat terus berupaya menjaga hutan. Cara mereka beragam. Selain lewat aktifitas
mengukir dan pelaksanaan ritual adat di Jew, mereka memberikan pemahaman kepada
anak-anak dengan bercerita tentang kearifan para leluhur. Keyakinan Orang Asmat
masih sangat kuat. Tidak ada cara lain untuk tetap menghidupkan adat selain
dengan menjaga hutan dari sentuhan tangan-tangan orang serakah.