"These are the postcards from a young man. They may never be written or posted again." - Manic Street Preachers
Selasa, 23 Agustus 2016
Phinisiq
lahir di tana beru besar di samudra
mengarung senyap rajut nusantara
selama di lautan katakan saja kita kemana
di buritan ku beri kau pertanda:
tarik tujuh layar angin pun kan serta
Agats, Mei 2016
Minggu, 21 Agustus 2016
Berjalan Dalam Keseimbangan di Kampung Atsj
Plang selamat datang di Objek Wisata Kampung Atsj. |
Ja asamanam apcamar, berjalan dalam keseimbangan. Begitulah bunyi
semboyan resmi Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Semboyan yang lahir dari
kearifan turun-temurun dan telah menjadi etos hidup bagi masyarakat suku Asmat.
Nilai ini menjadi pegangan dalam pembangunan kabupaten secara berkelanjutan
juga menjaga lingkungan kampung agar tetap lestari.
Jika berkesempatan ke
Asmat cobalah berkunjung ke Kampung Atsj (baca: atsi) untuk melihat bagaimana
semboyan tersebut bekerja. Selama hampir setahun tinggal di Asmat, Kampung Atsj
adalah favorit saya untuk dikunjungi. Di Kampung ini perkembangan dalam bingkai
keseimbangan benar-benar terlihat. Gejala modernitas mulai nampak namun
kearifan adat masih kuat bertahan. Pembangunan berlangsung tapi daya dukung
lingkungan tetap diperhatikan.
Sebenarnya Kampung
Atsj punya pengalaman buruk di masa lalu. Sekitar tahun 1990-an Kayu Gaharu
yang melimpah di sekitar hutan kampung menjadi incaran para pendatang.
Masyarakat Suku Asmat sebagai pemilik dusun, lokasi hutan yang terdapat banyak
Pohon Gaharu, dibujuk rayu untuk menyewakan bahkan menjual lahan mereka kepada
para pemodal dari luar daerah. Eksploitasi berlebihan pun terjadi. Dampak
buruknya dirasakan kemudian oleh masyarakat kampung. Hutan gundul, abrasi pada
beberapa kali atau sungai, dan bagi masyarakat yang masih hidup berburu, lokasi
untuk menangkap hewan hutan dirasa semakin jauh. Rusaknya sistem ekologi adalah
bencana besar bagi suku Asmat yang sebagian besar masih hidup berburu dan
meramu bahan makanan dari hutan.
Keresahan akan
rusaknya hutan di sekitar kampung kemudian mendorong para tetua adat dan tokoh
masyarakat untuk berembuk. Menegakkan kembali kearifan lokal warisan leluhur yang
mulai luntur menjadi pilihan. Himbauan disebarkan kepada masyarakat, baik suku
Asmat maupun pendatang, untuk tidak berlebihan dalam memanfaatkan alam. Suku
Asmat sebenarnya memiliki mekanisme adat tersendiri dalam berinteraksi dengan
alam. Cara tersebut terbukti ampuh dalam menjaga kelestarian hutan yang menjadi
pusat hidup mereka selama ratusan tahun.
“Kata kuncinya itu
adalah keseimbangan. Dari dulu kami sudah mengambil kayu di hutan untuk bikin
rumah, mengukir, memasak, tapi tidak pernah bikin hutan jadi rusak. Hutan itu
sumber hidup kami. Kalau hutan rusak roh leluhur akan marah, dan hidup akan
jadi susah. Itu yang banyak dilupa oleh generasi sekarang. Gara-gara satu
amplop uang saja mereka rela jual sumber kehidupan.” Kata Laurensius Bumberew, Kepala
Kampung yang juga salah satu tetua adat Kampung Atsj.
Diskusi para tetua
adat di dalam Jew, rumah adat yang
menjadi pusat interaksi sosial dan agenda ritual Suku Asmat, hampir selalu
menyinggung soal kearifan leluhur dalam memperlakukan alam. Dusun-dusun yang
dikelola oleh masing-masing keluarga tetap tidak boleh dirusak sesuka hati
karena akan berdampak pula kepada orang lain juga kampung. Ajaran-ajaran ini
kemudian disebarluaskan kepada anggota keluarga di rumah-rumah, terutama pada
anak-anak dan orang-orang muda Asmat.
Suasana pertemuan di dalam Jew, pusat pertemuan sosial dan agenda ritual Suku Asmat dilaksanakan. |
Status Kampung Atsj
sebagai ibukota distrik memang membawa banyak keuntungan juga tantangan bagi
kelestarian kampung dan hutan sekitar. Kedatangan para perantau dari Sulawesi,
Ambon, dan Jawa dengan segala barang dagangan mereka membuat kehidupan
masyarakat kampung jadi lebih mudah. Kebutuhan pokok tidak susah payah lagi
dicari di dalam hutan. namun segala kemudahan tersebut membawa efek buruk dalam
hal bergesernya budaya Suku Asmat. Generasi yang lahir kemudian adalah generasi
yang serba instan dan melulu berpikir oportunis. Mereka tidak lagi menguasai
cara-cara leluhur dalam memanfaatkan alam sekitar mereka. Mereka seperti
kehilangan semangat untuk bekerja di hutan. Akibatnya ketika ada godaan untuk
menjual lahan dusun, tanpa memikirkan akibat jangka panjangnya mereka langsung
mengiyakan.
Beruntung Kampung Atsj
masih memiliki orang-orang yang masih memegang teguh ajaran leluhur. Mereka lah
yang kemudian menghidupkan kembali adat sebagai kontrol sosial. Selain
bediskusi di dalam Jew, seperti yang
sebelumnya saya katakan, para seniman di kampung menyebarkan pesan-pesan adat
lewat kegiatan di sanggar seni. Adalah Yohanis Tuanban (51 tahun) beserta seniman
ukir lainnya yang kemudian berinisiatif untuk membangun sebuah sanggar seni di
Kampung Atsj. Sanggar ini kemudian menjadi pusat kegiatan para woupits (sebutan untuk seniman ukir
Asmat) dalam memproduksi ukiran khas Asmat. Selain itu sanggar seni yang diberi
nama Atsekap tersebut juga berfungsi
sebagai lokasi transfer ilmu mengukir dan penyadaran akan pesan-pesan leluhur
kepada anak-anak dan kawula muda.
“Setiap hari sanggar
kami buka. Ada yang mengukir ada juga yang bertugas mengumpulkan pemuda untuk
dilatih. Sambil berlatih mengukir kami sampaikan pesan-pesan leluhur tentang
menjaga alam dan adat istiadat orang Asmat kepada mereka. Kami menganggap hal
ini sangat penting untuk dilakukan.” Kata Yohanis Tuanban saat saya mengunjungi
Sanggar Seni Atsekap.
Bagi orang Asmat
nilai-nilai kearifan leluhur sangat kental tertanam dalam aktifitas mengukir.
Konon proses penciptaan manusia pertama suku Asmat berasal dari kayu yang
diukir hingga membentuk sesosok manusia. Ukiran tersebutlah yang kemudian
menjelma menjadi leluhur pertama dan utama dalam alam kepercayaan orang Asmat. Itu
sebabnya bagi orang Asmat mengukir selalu dianggap sebagai sesuatu yang sakral.
Banyak hal yang mesti
diperhatikan sebelum memulai membuat sebuah ukiran. Mulai dari pemilihan bahan
kayu hingga proses pemasarannya. Kayu yang digunakan adalah jenis kayu besi
yang benar-benar sudah siap. Kesiapan pohon dari kayu tersebut ditandai dengan
batang dan ranting yang sudah mengering dan kulitnya mulai mengelupas. Pohon
yang telah tumbang lebih mereka utamakan untuk dibawa pulang kemudian diukir.
“Kalau kayunya belum siap jangan ditebang dulu. Biasanya ukiran belum selesai
kayunya sudah rusak atau terbelah. Itu tandanya leluhur tidak merestui.” Jelas
Yohanis.
Dalam hal pemasaran,
para woupits biasanya membawa ukiran
mereka di Pesta Budaya Asmat dan Festival Beworpit-Tewerawut (Festival Seni
Khusus untuk Pemuda Asmat) yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Selebihnya
mereka menunggu para turis yang datang untuk melihat hasil karya mereka. Diakui
oleh Yohanis, pemasaran yang selama ini mereka usahakan dirasa belum maksimal.
Oleh sebab itu Ia masih terus berusaha untuk melebarkan jaringan pasarnya
dengan berbagai cara. Meminta bantuan kepada dinas terkait di kabupaten sampai
menjalin kemitraan dengan pihak swasta. Kesempatan untuk ikut pameran seni pun
selalu Ia sambut baik.
“Bulan depan
(September) saya diajak untuk ikut pameran seni Festival Pesona di Jakarta.
Saya akan memperkenalkan langsung budaya Asmat disana. Siapa tahu bisa tambah
kenalan juga untuk menjual produk (ukiran dan anyaman) anggota sanggar.”
Rutinitas harian para Woupits atau pengukir di Sanggar Seni Atsekap Kampung Atsj. Selain workshop tempat ini juga difungsikan sebagai pusat pelatihan keterampilan mengukir bagi generasi muda. |
Beberapa contoh ukiran tembus dua sisi khas Kampung Atsj yang banyak diminati oleh turis maupun kolekter seni. |
Awalnya bangunan
Sanggar Seni Atsekap sangat
sederhana. Hanya bangunan berbentuk pondok kecil dengan luas tidak lebih dari
25 meter persegi. Namun sekitar awal tahun 2010, pengurus Sanggar Seni Atsekap mulai melakukan pengelolaan
keuangan. Sebagian hasil penjualan ukiran para anggota disisihkan untuk kas
sanggar. Pada tahun 2015 dana mereka sudah siap untuk mendirikan sanggar yang
lebih besar dan nyaman untuk aktifitas kesenian masyarakat kampung. Sanggar
juga dilengkapi dengan gudang untuk menyimpan ukiran yang telah selesai namun
belum laku terjual.
Pengembangan produk
juga terus dilakukan. Yang terbaru, para pengukir Kampung Atsj memperkenalkan
ukiran akar pohon. Hal tersebut merupakan inovasi daerah yang benar-benar
dikembangkan dari dalam kampung. Jika biasanya akar pohon hanya dibuang setelah
batangnya dijadikan papan, kini sudah bisa dimanfaatkan menjadi kerajinan
tangan yang cantik. Akar-akar pohon berukuran sedang hingga besar biasanya
diukir bercerita lantas dijadikan kaki meja. Sejauh ini sambutan akan produk
terbaru tersebut sangat baik. Menurut seorang pengukir, sudah ada orang dari
Merauke dan Agats (Ibukota Kabupaten Asmat) yang memesan kerajinan tangannya.
Bahkan kini Kampung Atsj telah ditetapkan sebagai Kampung Wisata oleh
Pemerintah Kabupaten Asmat dengan ukiran akar pohon sebagai ciri khasnya.
Ukiran akar kayu, produk inovasi terbaru dari Kampung Atsj. |
Tidak berhenti sampai disitu, Kampung Atsj kini juga memiliki sanggar khusus bagi kaum perempuan untuk membuat kerajinan rajutan. Kerajinan tangan seperti noken (tas rajut khas Papua), cawat, perhiasan, dan lain sebagainya diproduksi di tempat yang diberi nama Sanggar Semenawuts tersebut. sistem keuangan sanggar pun diatur seperti Sanggar Seni Atsekap. Dengan begitu kaum perempuan Kampung Atsj memiliki dana untuk mengembangkan sanggar dan membuat program lainnya, seperti pelatihan keterampilan bagi anak-anak dan remaja serta pemberian nutrisi tambahan bagi balita di dalam kampung.
Perkembangan sanggar Semenawuts dirasa cukup pesat oleh para
anggotanya. Mereka dengan cepat memperkenalkan anyaman tas noken khas Asmat
yang berbahan dasar pucuk daun sagu. Menurut Mama Helena yang menjabat sebagai
Ketua sanggar, kini produksi noken buatan perempuan-perempuan Kampung Atsj
lebih cepat terjual jika dibandingkan produk ukiran. “Noken buatan anggota saya
tidak pernah bertahan lama di dalam sanggar. Kalau kami bawa ke pasar pasti ada
yang membeli. Ada juga yang meminta untuk kami menjual di Agats,” kata Mama
Helena.
Mama Helena saat melatih seorang remaja membuat anyaman noken di Sanggar Semenawuts Kampung Atsj. |
Meningkatnya minat
akan produk kesenian Suku Asmat, baik noken maunpun ukiran, tentu tidak lepas
dari ditetapkannya Asmat sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites) oleh Badan Pendidikan, Keilmuan, dan
Kebudayaan PBB, UNESCO. Kabar gembira tersebut datang pada tahun 2011 setelah
proses pengusulan yang alot selama lebih dari setahun. Pesona Asmat dengan
segala kekayaan intelektualnya di bidang budaya memang sejak lama telah menarik
perhatian dunia. Dan pengakuan dari UNESCO tersebut semakin mempertegas
kekaguman tersebut. Tentu prestasi membanggakan ini merupakan persembahan
masyarakat Suku Asmat untuk Indonesia. Dan sudah semestinya menjadi tugas kita sebagai bangsa
untuk terus merawat kebanggan tersebut.
Sumbangsih sanggar-sanggar seni di Kampung Atsj telah berkontribusi nyata dalam menghidupkan mata pencaharian yang lebih ramah pada lingkungan. Kampung ini membuktikan bahwa perkembangan dan pembangunan tidak mesti mengorbankan budaya dan lingkungan. Kesadaran adat turun-temurun dipadu dengan inovasi dalam berkarya adalah cara orang Asmat di Kampung Atsj dalam menghadapi tantangan zaman.
Sumbangsih sanggar-sanggar seni di Kampung Atsj telah berkontribusi nyata dalam menghidupkan mata pencaharian yang lebih ramah pada lingkungan. Kampung ini membuktikan bahwa perkembangan dan pembangunan tidak mesti mengorbankan budaya dan lingkungan. Kesadaran adat turun-temurun dipadu dengan inovasi dalam berkarya adalah cara orang Asmat di Kampung Atsj dalam menghadapi tantangan zaman.
Langganan:
Postingan (Atom)