Oscar, Boy, dan Yohanis (dari kiri ke kanan) |
Sudah
hampir dua tahun ini saya menetap di Agats. Mungkin tidak terlalu banyak yang
mengenal ibu kota Kabupaten Asmat – Papua ini. Tapi siapa yang pernah
menyangka, komposisi penduduk kota kecil ini ternyata sangat beragam. Di Agats,
penduduk asli Suku Asmat hidup berdampingan dengan para pendatang dari berbagai
daerah, mulai dari Sumatera sampai Merauke.
Hal
paling menyenangkan dari kenyataan ini adalah saya jadi punya pengalaman
bertetangga dengan orang-orang baru. Mereka datang dari berbagai daerah yang
belum terlalu saya kenal sebelumnya. Di Agats, saya tinggal di sebuah rumah
kontrakan milik pasangan yang berasal dari daerah yang berbeda, Mama Antoneta
yang berasal dari Tanah Merah, Boven Digul dan suaminya yang bersuku Timor. Rumah mereka
masih dalam satu kompleks dengan kontrakan yang saya tinggali.
Saya
dan teman serumah lebih akrab dengan Mama Antoneta karena beliau lah yang aktif
mengelola kontrakan yang kami tinggali. Pada awal-awal berkenalan dengan
perempuan berbadan dan bersuara besar ini, saya agak segan untuk sering-sering
berbicara denganya. Saya ingat, bahkan untuk bertanya soal keperluan di dalam
kontrakan saja saya harus mengumpulkan keberanian terlebih dahulu. Saat Mama
Antoneta berbicara, saya selalu mengira ia sedang marah. Suaranya selalu besar.
Mimiknya jarang menunjukkan senyum. Pasti mama ini orangnya pemarah, deh, pikir
saya waktu itu.
Tapi
di sini lah pepatah “don’t judge book by its cover” bekerja. Setelah
sekian lama kenal, ternyata Mama Antoneta ini baik sekali. Nada bicaranya masih
selalu keras (ya karena dari sananya memang begitu). Tapi mama selalu membantu
saat dibutuhkan. Bahkan mama selalu berinisiatif menanyakan kebutuhan kami di
kontrakan, mulai dari masalah listrik, air, sampai layanan tivi kabel.
Pernah
suatu malam, kompleks kontrakan kami gaduh karena ada seorang penghuni yang
mabuk lantas mengomel tidak jelas. Tidak menunggu terlalu lama, mama keluar
kemudian berteriak menyuruh si pemabuk untuk diam. Seketika malam kembali
menjadi hening saat itu juga. Akhirnya suara keras mama ada manfaatnya juga.
Saking
sudah akrabnya, saya bahkan pernah bercanda sambil bertanya kepada mama:
“Kenapa mama kalau bicara suaranya keras sekali?” Mama dengan enteng menjawab,
“biar sa tidak bicara dua kali to. Biar ko langsung dengar.” Baik lah,
mama. Hormat!
Baru
beberapa bulan ini saya mulai bertetangga dengan seorang Polisi yang berasal
dari Sumatera (kalau tidak salah ingat). Jabatannya mentereng: Wakapolres
Asmat. Ia tinggal tepat di sebelah kontrakan kami bersama istrinya yang Orang Sunda.
Mereka berdua sangat ramah. Kami selalu bertukar sapaan tiap berpapasan di
teras rumah atau di jalan.
Sebenarnya
sapaan “selamat pagi-siang-sore-malam” adalah hal lumrah di Agats. Saya rasa
keramahan orang-orang di sini sungguh di atas rata-rata. Kita bisa mendapat
sapaan tersebut bahkan dari orang yang belum kita kenal sama sekali. Tapi
bertegur sapa dengan Bapak Polisi ini tentu beda. Saya selalu memanfaatkan baku
tegur itu untuk menanyakan informasi terbaru yang berkembang di Agats atau
Asmat. Tetangga saya ini selalu senang hati membagi cerita. Tidak selalu soal
peristiwa kriminal, tapi juga soal remeh temeh, misalnya penyebab listrik padam
dalam waktu lama atau informasi tentang jadwal transportasi yang masuk-keluar
Asmat. Saya menobatkan Bapak Polisi kita satu ini sebagai tentangga yang sangat
berjasa, baik dalam mengamanakan keamanan lingkungan kontrakan, juga kebaikan
hati berbagi informasinya. Tapi sayang, saya belum sempat menanyakan nama
beliau. Tetangga durhaka.
Tetangga
saya lainnya adalah dua bersaudara Anjel dan Boy. Kedua teman cilik saya ini
merupakan anak dari buguru (panggilan akrab untuk ibu guru, yang sialnya saya
lupa namanya. Baik lah saya perlu menabung untuk cangkok otak.) dan Om Jefri
yang juga merupakan rekan sekantor saya. Mereka adalah pasangan Biak-Merauke
yang sama-sama bertugas kerja di Agats.
Anjel
dan Boy, bersama beberapa sepupunya yang juga sering berkunjung, merupakan
kenalan pertama kami di awal-awal masa tinggal di rumah kontrakan Mama Antoneta
tersebut. Kami berkenalan atas inisiatif mereka yang mulai rajin mengunjungi
kontrakan saat melihat kami memiliki beberapa permainan. Yang paling menarik
minat mereka adalah ular tangga. Tenaga mereka sungguh berlimpah saat memainkan
papan permainan tersebut.
Sejauh
ini rekor bermain ular tangga mereka adalah enam jam non stop. Ini cerita
sungguh. Pada suatu minggu pagi Anjel, Boy, bersama Yohanis dan Oscar
mengunjungi kontrakan kami mengajak bermain ular tangga. Kami ladeni dengan
senang hati tentu saja. Sekitar pukul satu, saya dan teman sekontrakan, pamit
kepada mereka untuk makan siang dan beristirahat. Beberapa jam kemudian, saat
bangun tidur siang, ternyata mereka masih terlihat bergantian melempar dadu di
depan pintu kami. Mereka baru bubar sekitar pukul tiga sore. Saya cuma
geleng-geleng memaklumi. Namanya juga anak-anak ya kan.
Namun,
dari semua, tetangga terbaik saya selama hidup di Agats adalah Paguru Kosmas.
Lelaki paru baya ini adalah seorang guru yang telah mengajar di beberapa
sekolah di Kabupaten Asmat. Ia lahir di Ambon namun menghabiskan sebagian besar
umurnya di Asmat untuk mengajar di Yayasan Pendidikan Keuskupan Agats. Ia
kenyang pengalaman mengajar di daerah pedalaman, kampung-kampung, sampai di
Kota Agats. Menjadi Kepala Asrama bagi anak-anak asli Asmat di Agats juga
pernah Ia kerjakan.
Saat
pertama kali kami berkenalan, Paguru Kosmas sedang dalam masa cuti sakit. Ia
punya masalah pada jantungnya dan menjadi semakin parah beberapa tahun ini.
Selain rutin check
up ke rumah sakit, selama cuti tersebut Ia hanya menghabiskan waktu
beristirahat di rumah. Saat itu lah saya rutin mengunjunginya di waktu
senggang.
Paguru
Kosmas adalah teman cerita yang baik. Usianya yang jauh lebih tua dari saya
tidak lantas membuatnya dominan dalam obrolan kami. Ia kadang cerewet namun
bisa pula menjadi pendengar dan penanggap yang baik. Bahan obrolan favoritnya
adalah pengalaman pada saat menjadi Kepala Asrama Siswa Asmat yang pertama.
Bagaimana saat itu Ia mengendalikan berbagai macam perilaku anak-anak yang
menurutnya “kalau tidak sabar bisa bikin gila.”
Bahan
obrolan lainnya yang menjadi favorit kami adalah pengalaman jalan-jalan. Saat
masih berkuliah di Jawa, Paguru Kosmas mengaku rutin berkunjung ke beberapa
kota saat waktu libur. Ia mengaku sangat menikmati keramaian serta menyukai
makanan khas tiap-tiap daerah. Namun saat saya menanyakan kota favorinya, Ia
dengan sangat yakin memilih Makassar. “Makassar itu makanannya enak-enak. Tidak
terlalu jauh juga dari Papua. Makassar itu timur juga. Kita sebagai orang timur
harus bangga karena punya kota yang berkembang.”
Dalam
usia tuanya, Paguru Kosmas masih berharap punya kesempatan untuk jalan-jalan ke
berbagai daerah. Pernah suatu waktu, mungkin sambil bercanda, Ia berseloroh, “mungkin
enak e kalau kita sarapan di Jakarta, makan siang di Makassar, makan
malam di Jayapura, baru pulang tidur ke Agats sini.” Sayang pertemanan kami
hanya sebentar. Awal tahun 2017 Paguru Kosmas meninggal dunia. Semangatnya
untuk terus berjalan terganggu oleh penyakit jantung yang akhirnya membuatnya
menyerah.
#15harimenulis