Perahu fiber bermesin 15PK berjalan pelan mengantar kami ke
Kampung Yepem. Laut teduh, langit mendung dan hamparan hutan mangrove menjadi
teman sepanjang perjalanan. Pak Paskalis, teman yang pagi itu menjemput kami,
sengaja melambatkan laju perahunya yang bergerak di tepian pesisir. “Kita jalan
di pinggir mangi-mangi (mangrove dalam Bahasa lokal di Papua) saja ya, pak.
Saya mau mengambil video untuk dokumentasi perjalanan kita dari Agats ke
Kampung Yepem,” instruksi Regis, salah satu fasilitator Buku untuk KampungYepem.
Kami berkunjung ke Kampung Yepem pada penghujung September
tersebut untuk membawa donasi berupa buku, majalah, dan bahan bacaan lainnya
yang dikirim dari berbagai tempat. Sudah sejak April 2017, kami, tim Blue
Forests yang bertugas di Asmat, Papua, bersama masyarakat Kampung Yepem, sedang
menginisiasi pembangunan sebuah rumah baca di kampung tersebut. Dan setelah
melalui proses pengiriman donasi yang cukup rumit akhirnya buku-buku tersebut
bisa sampai juga di Kampung Yepem untuk menemui para pembacanya.
Setelah prosesi penyerahan kepada Kepala Kampung Yepem,
segera saja anak-anak mengerubuni boks-boks yang kami bawa. Mereka memilih bahan
bacaan masing-masing kemudian tenggelam pada halaman demi halamannya. Tidak
semua anak-anak Asmat di Kampung Yepem bisa membaca. Tapi hari itu semua tampak
bersemangat memilih buku atau majalah. Mereka seperti bocah yang mendapatkan
mainan baru.
Anak-anak di Kampung Yepem memiliki tenaga yang sangat
melimpah untuk bermain sepanjang hari. Mereka seperti tidak pernah kehabisan
daya untuk terus berlari, menyemplung ke kali, berenang, sampai mendayung ci (perahu tradisional Asmat). Bahkan pada
saat ikut mencari makan bersama orang tua di laut atau di hutan, kreatifitas
mereka untuk bermain tetap berlanjut. Di dalam hutan, anak-anak ini malah
memperoleh bahan yang melimpah untuk mencipta peranti permainannya sendiri.
Energi yang melimpah dari anak-anak itulah yang mendorong
kami untuk membuat semacam rumah baca atau perpustakaan di Kampung Yepem.
Berawal dari obrolan santai saat saya menginap di rumah adat jew, gerakan ini kemudian
menjadi sedikit lebih serius. Dari obrolan tersebut lahirlah kemudian gerakan
bernama Buku untuk Kampung Yepem. Kiki, rekan kami di Makassar, membuat lalu menyebarkan
poster daring untuk menggalang donasi berupa bahan bacaan dan keperluan rumah
baca lainnya. Kiki juga yang mengkoordinasi pengiriman donasi yang berasal dari
berbagai daerah tersebut. Titik kumpulnya di Makassar kemudian dikirimkan ke
Asmat lewat rekan yang kebetulan berkunjung ke Papua. Cukup ribet, tapi tiap
kali ada donasi yang masuk rasanya menyenangkan sekali.
Tanggapan atas ajakan berdonasi lewat dunia maya tersebut
cukup ramai. Tidak hanya dari Makassar dan sekitarnya, donasi berupa buku,
majalah, sampai seragam sekolah berdatangan dari berbagai daerah di Jawa. Adapula
yang mentransfer dana dengan amanah dibelanjakan bahan bacaan dan keperluan
lainnya. Sumber dana yang masuk bahkan ada yang berasal dari luar negeri. Kalau
saya tidak salah ingat, dari teman-teman PPI Utrech di Belanda dan PPI Inggris.
Sungguh ajaib rasanya upaya kecil ini direspon begitu luas. Tentu kami
berterima kasih sekaligus merasa bertanggung jawa untuk melaporkan kegiatan
Buku untuk Kampung Yepem secara regular. Kami pun kemudian membuat akun media sosial
untuk melaporkan jumlah donasi dan perkembangan kegiatan. Dengan begitu kami
juga bisa terus berinteraksi dengan para donatur.
Respon yang tidak kalah serius juga datang dari masyarakat Kampung
Yepem itu sendiri. Lewat Leonardus Jiwem, Kepala Kampung yang sudah menjadi
rekan kami sejak pertama kali berkegiatan di kampung tersebut, menjanjikan
pembangunan fisik rumah baca dengan menggunakan dana desa. Sedangka untuk proses pengerjaannya dilakukan secara
swadaya oleh penduduk kampung.
“pembangunan rumah baca ini su jadi sa pu cita-cita sejak
sebelum jadi Kepala Kampung. Jadi rumah baca ini harus jadi sebelum Desember
(tahun 2017). Biar sudah, pakai dana pembangunan sa pu rumah saja dulu. Sa pu
rumah bisa bangun nanti saja,” kata Pak Leo, sapaan akrab pria yang juga mahir
mengukir ukiran Asmat ini.
Tentu tanggapan dari Kepala Kampung dan masyarakat Kampung
Yepem tersebut adalah kabar baik, bukan hanya untuk kami tapi juga untuk
Kampung Yepem itu sendiri. Keswadayaan masyarakat dalam turut aktif pada sebuah program adalah bukti sebuah penerimaan. Keterlibatan langsung mereka menjadi
pertanda bahwa program pembangunan rumah baca di Kampung Yepem adalah kerja
bersama. Saat ini tiang pancang rumah baca sudah berdiri. Setelah Pesta Budaya
Asmat akhir Oktober nanti, masyarakat sudah akan menyelesaikan perpusatakaan
berbentuk rumah tradisional Asmat tersebut. Kami juga sudah mempersiapkan
beberapa nama yang nantinya akan dipajang di plang rumah baca. Kesepakatan kami, nama rumah
baca Kampung Yepem nantinya sebaiknya dalam Bahasa Asmat. Semoga segera rampung dan
kami bisa membagikan kabar-kabar menyenangkan selanjutnya.
suasana belajar bersama di teras yang berhadapan langsung dengan kali (foto oleh Regista) |
Sembari menunggu rumah baca Kampung Yepem tersebut rampung,
saat ini kami melakukan proses belajar bersama di rumah rekan kami lainnya,
yaitu Mama Fransina dan Mama Katarina. Mama berdua mempersilakan teras belakang
rumahnya untuk dipakai sebagai tempat berkumpul kami. Posisi teras yang
dipinjamkan sangat menyenangkan karena berhadapan langsung dengan Kali
Jomboth dan diteduhi oleh pohon kelapa. Tempat yang sangat nyaman untuk
menghabiskan halaman-halaman bacaan.
Pada pengiriman donasi tahap pertama ke Kampung Yepem, kami sekalian
menggelar beberapa buku bacaan anak-anak di teras rumah mama tersebut. Kemudian
kami memanggil beberapa anak yang terlihat sedang bermain. Awalnya malu-malu,
lapakan berubah menjadi riuh beberapa saat kemudian. Anak-anak lain yang sebelumnya
tidak kami lihat juga turut datang. Rumah Mama Fransina ramai betul sore itu. Tapi
saat buku dan beberapa majalah sudah di tangan, suasana berubah menjadi hening
seketika. Semua menjadi asyik sendiri dengan bahan bacaan masing-masing.
Ada anak yang terlihat memegang buku bercerita “Mangrove Si
Pohon yang Menakjubkan” dan mengamatinya dengan serius. Entah membaca atau
sekedar memperhatikan gambarnya, tapi sepertinya buku tersebut begitu menarik baginya karena
cerita dan gambar yang disajikan sangat akrab dengannya. Kampung Yepem
yang terletak di pesisir selatan Papua adalah ekosistem hutan mangrove yang
sangat sehat. Anak-anak sudah terbiasa berinteraksi dengan tanaman yang biasa
mereka sebut dengan pohon-pohon mangi-mangi tersebut.
Di sudut lain ada yang sedang sibuk membuka halaman demi
halaman Majalah Bobo. Walaupun hanya majalah bekas, informasi dan cerita yang
ia dapatkan sore itu saya kira sangat berkesan. Pada beberapa halaman majalah,
anak tersebut sesekali mengajak temannya untuk turut melihat apa yang ia
temukan. Seperti tidak rela untuk melihat sendiri sesuatu yang baru pertama
kali ia lihat.
Buku cerita bergambar seperti seri menjelajah samudra atau
tentang sejarah manusia purba menjadi bacaan paling laris pada hari itu. Tentu saja
karena buku-buku jenis tersebut bisa diterima oleh banyak anak, bahkan bagi
mereka yang masih terbata-bata atau tidak bisa membaca sama sekali. Tapi bagi
anak yang sudah lancar membaca, ada pula yang memilih buku dongeng yang berasal
dari berbagai daerah. Cerita-cerita rakyat semacam itu, terutama yang berkaitan
dengan asal-usul leluhur, sering mereka dengarkan di dalam rumah. Tradisi Orang
Asmat yang masih bertahan di Kampung Yepem adalah proses pengajaran adat yang
berlangsung di masing-masing keluarga.
Belajar bersama sore itu berakhir bersamaan dengan
terbenamnya matahari. Sebelum pulang ke rumah masing-masing beberapa anak
berinisiatif untuk merapikan kembali posisi buku yang telah ditinggal
pembacanya. Pemandangan sepanjang sore tersebut tentu membuat kami bahagia. Teman-teman
bisa turut merasakan kebahagian yang kami rasakan lewat video berikut:
Video oleh Regista
Sekian dulu cerita perdana dari kegiatan Buku untuk Kampung Yepem ini. Semoga cerita menyenangkan selanjutnya akan datang dalam waktu dekat.
Ndormom.