“Sesuatu yang baik halal untuk dipaksakan” - Prof. Muh. Ashri
Dinas Pendidikan Tinggi (Dikti)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia baru-baru ini
mengeluarkan kebijakan yang cukup mendapat sorotan. Melalui surat edaran
bernomor 125/E/T/2012, Dikti mensyaratkan publikasi makalah pada jurnal ilmiah
bagi mahasiswa yang akan menamatkan studinya diatas bulan Agustus 2012. Resminya,
surat edaran tersebut berisi tiga poin penting. Pertama, bagi mahasiswa program
sarjana (S1) diharuskan menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah.
Kedua, bagi mahasiswa magister (S2) dibebankan untuk telah menghasilkan makalah
yang terbit pada jurnal ilmiah nasional yang berakreditasi Dikti. Ketiga, untuk
mahasiswa program Doktoral (S3) yang ingin menamatkan studinya diwajibkan telah
menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal ilmiah bertaraf
internasional. Tentu publikasi makalah ini diluar dari tugas akhir berupa
skripsi bagi program S1, tesis bagi program S2 dan disertasi bagi program S3.
Sikap pro dan kontra dari
berbagai kalangan menyambut kebijakan baru ini. Bagi mereka yang pro tentu
sepakat dengan Dikti bahwa kuantitas karya ilmiah kita harus ditingkatkan,
karena memang sudah sangat tertinggal. Jika dibandingkan dengan negara tetangga
Malaysia, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi di negara
kita hanya sepertujuh dari apa yang telah dihasilkan oleh Negeri Jiran tersebut.
Pihak yang tidak setuju atau
kurang mendukung surat edaran ini juga tidak mau ketinggalan untuk berkomentar.
Bagi mereka regulasi ini sungguh meresahkan bagi para mahasiswa, terutama yang
akan menyelesaikan kuliahnya diatas bulan Agustus 2012. Hal ini dianggap kurang
tepat untuk diterapkan dengan keadaan dunia pendidikan kita yang seperti
sekarang ini. Lagipula, jumlah mahasiswa yang akan lulus tiap tahunnya tidak
berbanding lurus dengan jumlah jurnal ilmiah yang akan menampung makalah para
mahasiswa tersebut.
Bukan Halangan Tapi Tantangan
Sebenarnya kita harus melihat
permasalahan ini secara jernih. Niatan Dikti yang bermaksud ingin lebih
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia tentu harus direspon secara
positif. Nah, kontroversi tentang menjawab niatan itu dengan cara wajib mempublikasikan
makalah mahasiswa pada jurnal ilmiah tersebutlah yang harus kita carikan jalan
keluar bersama-bersama.
Menurut saya regulasi ini
sebenarnya bukan suatu halangan yang akan menghambat bagi mahasiswa yang akan
lulus. Melainkan hal ini merupakan suatu tantangan yang harus dijawab secara
arif dan cerdas oleh seluruh insan akademika. Guna mendapatkan hasil yang baik,
diharapkan peran aktif dari para stake
holder untuk mendukung program ini.
Menjawab
kekhawatiran tentang tidak siapnya Perguruan Tinggi dengan keadaan dunia
pendidikan kita yang seperti sekarang ini, Disinilah peran aktif pemerintah
dibutuhkan. Dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional diharapkan mampu
memperbaiki fasilitas Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Fasilitas seperti
jaringan internet perlu dipermantap. Jumlah bahan bacaan guna menggali ide yang
nantinya akan dituliskan dalam bentuk makalah ilmiah sangat perlu untuk
diperbanyak. Bukankah kenyataan bahwa keadaan perpustakaan di hampir seluruh
perguruan tinggi kita masih menyedihkan adalah salah satu hal yang menghambat
peningkatan pendidikan kita. Banyak perguruan tinggi yang ditargetkan untuk
berstatus world class university tapi
penyelenggara pendidikan alfa dalam hal perbaikan kualitas dan kuantitas
literaturnya. Dan tentu saja masih banyak fasilitas pendukung yang sangat perlu
untuk diperbaiki untuk itu.
Lalu ketakutan bahwa jumlah
jurnal ilmiah yang kita punyai tidak akan cukup untuk menampung jumlah tulisan
mahasiswa yang akan diterbitkan, seharusnya tidak boleh menyurutkan langkah
baik ini. Menurut Indonesian Scientific Journal Database, Hingga 2010 terdapat
sekitar 13.047 jurnal berkategori ilmiah yang
masih aktif. Sebagian besar dari jumlah itu adalah jurnal yang sedang “mati
suri” dan tidak produktif lagi. Hanya sekitar 406 jurnal yang telah
terakreditasi oleh Dikti maupun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Angka tersebut memang tidak
sepadan dengan jumlah mahasiswa yang akan menyelesaikan masa perkuliahan tiap
tahunnya. Tapi apalah gunanya mengutuki angka-angka tersebut. Hal tersebut sama
sekali tidak akan membawa perubahan positif. Seharusnya surat edaran yang
mewajibkan publikasi malakah ilmiah ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk
memperbaiki kualitas dan kuantitas jurnal ilmiah yang kita miliki.
Sebenarnya kita memiliki potensi
untuk itu. Tinggal bagaimana para pihak terkait, mau atau tidak memperbaki
potensi yang sudah ada tersebut. Pihak pengelola jurnal ilmiah yang telah “mati
suri” dan tidak produktif tadi harus mempunyai motivasi tambahan untuk kembali
mengaktifkan terbitannya. Contoh kasus, di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin (Unhas) saja sebenarnya ada beberapa jurnal ilmiah yang sudah sempat
terbit, namun mandek di tengah jalan. Salah satunya adalah Jurnal Ilmu Hukum
Amanna Gappa. Jurnal ini sudah memiliki standar baku yang baik sebagai jurnal
ilmiah. Dikti pun telah memberi akreditasi B pada jurnal ini. Namun sudah
beberapa tahun ini jurnal tersebut tidak pernah terbit lagi. Belum lagi jurnal
ilmiah tiap Bagian yang senasib dengan jurnal Amanna Gappa tadi. Mandek terbit
dengan beberapa alasan yang sebenarnya klise.
Ada beberapa cara untuk kembali
menggairahkan penerbitan jurnal ilmiah tadi. Tentu regulasi wajib publikasi makalah
ilmiah tadi harus menjadi pemantiknya. Dengan hadirnya regulasi ini tentu tiap
tahunnya akan sangat banyak tulisan yang siap diterbitkan. Dengan polesan
sana-sani dan proses pembiasaan, pasti tulisan yang dihasilkan akan lebih
berkualitas lagi.
Mengenai biaya penerbitan, itu merupakan
tantangan tersendiri bagi pengelola untuk memanajemen keuangannya. Jurnal
ilmiah yang baik tentu yang dapat mandiri dalam hal pembiayaan. Disini
kepandaian dari pengelola diuji untuk mencari sumber pemasukan guna
kelangsungan hidup sebuah jurnal. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh, salah
satunya menggandeng sponsor untuk terlibat. Tentu dalam hal ini pemerintah
tidak boleh lepas tangan. Sebagai tanda perhatian, tetap harus ada kucuran
dana. Mungkin bisa dalam bentuk subsidi.
Lembaga Karya Tulis Ilmiah Jawabannya
Satu lagi hal yang sebenarnya
kecil tapi sangat bisa membantu untuk menumbuhkan budaya menulis ilmiah di
kalangan mahasiswa. Beberapa tahun belakangan ini sedang ramai tumbuh
organisasi atau lembaga penulisan karya ilmiah di tingkat mahasiswa, baik di
tingkat universitas maupun tingkat fakultas. Perkumpulan mahasiswa seperti ini
sangat membantu dalam hal membudayakan kebiasaan menulis karya ilmiah. Keraguan
terbesar yang muncul dari terbitnya surat edaran Dikti ini kan mahasiswa
ditakutkan tidak mampu menulis sebuah makalah di jurnal ilmiah dalam tempo yang
terasa singkat tersebut. Saya rasa, sebenarnya ini bukan masalah mampu atau
tidak mampu, tapi biasa atau tidak biasa. Dan lembaga karya tulis ilmiah sangat
bisa membantu membiasakan hal tersebut.
Hal ini bukan tanpa bukti. Sekedar
contoh, di Universitas Hasanuddin ada Unit Kegiatan Mahasiswa Keilmuan dan
Penalaran Ilmiah (UKM KPI). Walau berusia masih sangat muda, UKM ini sudah
dapat melatih anggota-anggotanya untuk terbiasa hidup dalam budaya literasi
(membaca, berdiskusi dan menulis). UKM KPI menjadi semacam partner bagi pihak Universitas untuk menciptakan mahasiwa dengan
kemampuan yang lebih. Sejalan dengan UKM KPI di tingkat Universitas, tumbuh
organisasi sejenis di tingkat Fakultas, seperti Lembaga Penalaran dan Penulisan
Karya Ilmiah (LP2KI) di Fakultas Hukum dan Medical Youth Research Club (MYRC)
di Fakultas Kedokteran.
Bukankah semangat seperti yang
anak muda tunjukkan tersebut yang harusnya dibangun. Sikap pesimis dan rasa
takut hanya akan menghambat kita untuk berkembang. Saya teringat perkataan
singkat seorang Guru besar bidang hukum di Unhas. “Sesuatu yang baik halal
untuk dipaksakan”. Ya, walau terasa berat regulasi ini memang harus
“dipaksakan” untuk diterapkan.
Terimakasih juga karena sudah sudi membaca :)
BalasHapus