Kamis, 01 Maret 2012

Kenapa Harus Takut Jurnal Ilmiah!

 “Sesuatu yang baik halal untuk dipaksakan” - Prof. Muh. Ashri

Dinas Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang cukup mendapat sorotan. Melalui surat edaran bernomor 125/E/T/2012, Dikti mensyaratkan publikasi makalah pada jurnal ilmiah bagi mahasiswa yang akan menamatkan studinya diatas bulan Agustus 2012. Resminya, surat edaran tersebut berisi tiga poin penting. Pertama, bagi mahasiswa program sarjana (S1) diharuskan menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Kedua, bagi mahasiswa magister (S2) dibebankan untuk telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional yang berakreditasi Dikti. Ketiga, untuk mahasiswa program Doktoral (S3) yang ingin menamatkan studinya diwajibkan telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal ilmiah bertaraf internasional. Tentu publikasi makalah ini diluar dari tugas akhir berupa skripsi bagi program S1, tesis bagi program S2 dan disertasi bagi program S3.


Sikap pro dan kontra dari berbagai kalangan menyambut kebijakan baru ini. Bagi mereka yang pro tentu sepakat dengan Dikti bahwa kuantitas karya ilmiah kita harus ditingkatkan, karena memang sudah sangat tertinggal. Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi di negara kita hanya sepertujuh dari apa yang telah dihasilkan oleh Negeri Jiran tersebut.

Pihak yang tidak setuju atau kurang mendukung surat edaran ini juga tidak mau ketinggalan untuk berkomentar. Bagi mereka regulasi ini sungguh meresahkan bagi para mahasiswa, terutama yang akan menyelesaikan kuliahnya diatas bulan Agustus 2012. Hal ini dianggap kurang tepat untuk diterapkan dengan keadaan dunia pendidikan kita yang seperti sekarang ini. Lagipula, jumlah mahasiswa yang akan lulus tiap tahunnya tidak berbanding lurus dengan jumlah jurnal ilmiah yang akan menampung makalah para mahasiswa tersebut.

Bukan Halangan Tapi Tantangan

Sebenarnya kita harus melihat permasalahan ini secara jernih. Niatan Dikti yang bermaksud ingin lebih meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia tentu harus direspon secara positif. Nah, kontroversi tentang menjawab niatan itu dengan cara wajib mempublikasikan makalah mahasiswa pada jurnal ilmiah tersebutlah yang harus kita carikan jalan keluar bersama-bersama.

Menurut saya regulasi ini sebenarnya bukan suatu halangan yang akan menghambat bagi mahasiswa yang akan lulus. Melainkan hal ini merupakan suatu tantangan yang harus dijawab secara arif dan cerdas oleh seluruh insan akademika. Guna mendapatkan hasil yang baik, diharapkan peran aktif dari para stake holder untuk mendukung program ini.

Menjawab kekhawatiran tentang tidak siapnya Perguruan Tinggi dengan keadaan dunia pendidikan kita yang seperti sekarang ini, Disinilah peran aktif pemerintah dibutuhkan. Dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional diharapkan mampu memperbaiki fasilitas Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Fasilitas seperti jaringan internet perlu dipermantap. Jumlah bahan bacaan guna menggali ide yang nantinya akan dituliskan dalam bentuk makalah ilmiah sangat perlu untuk diperbanyak. Bukankah kenyataan bahwa keadaan perpustakaan di hampir seluruh perguruan tinggi kita masih menyedihkan adalah salah satu hal yang menghambat peningkatan pendidikan kita. Banyak perguruan tinggi yang ditargetkan untuk berstatus world class university tapi penyelenggara pendidikan alfa dalam hal perbaikan kualitas dan kuantitas literaturnya. Dan tentu saja masih banyak fasilitas pendukung yang sangat perlu untuk diperbaiki untuk itu.

Lalu ketakutan bahwa jumlah jurnal ilmiah yang kita punyai tidak akan cukup untuk menampung jumlah tulisan mahasiswa yang akan diterbitkan, seharusnya tidak boleh menyurutkan langkah baik ini. Menurut Indonesian Scientific Journal Database, Hingga 2010 terdapat sekitar 13.047 jurnal berkategori ilmiah yang masih aktif. Sebagian besar dari jumlah itu adalah jurnal yang sedang “mati suri” dan tidak produktif lagi. Hanya sekitar 406 jurnal yang telah terakreditasi oleh Dikti maupun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Angka tersebut memang tidak sepadan dengan jumlah mahasiswa yang akan menyelesaikan masa perkuliahan tiap tahunnya. Tapi apalah gunanya mengutuki angka-angka tersebut. Hal tersebut sama sekali tidak akan membawa perubahan positif. Seharusnya surat edaran yang mewajibkan publikasi malakah ilmiah ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas jurnal ilmiah yang kita miliki.

Sebenarnya kita memiliki potensi untuk itu. Tinggal bagaimana para pihak terkait, mau atau tidak memperbaki potensi yang sudah ada tersebut. Pihak pengelola jurnal ilmiah yang telah “mati suri” dan tidak produktif tadi harus mempunyai motivasi tambahan untuk kembali mengaktifkan terbitannya. Contoh kasus, di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) saja sebenarnya ada beberapa jurnal ilmiah yang sudah sempat terbit, namun mandek di tengah jalan. Salah satunya adalah Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa. Jurnal ini sudah memiliki standar baku yang baik sebagai jurnal ilmiah. Dikti pun telah memberi akreditasi B pada jurnal ini. Namun sudah beberapa tahun ini jurnal tersebut tidak pernah terbit lagi. Belum lagi jurnal ilmiah tiap Bagian yang senasib dengan jurnal Amanna Gappa tadi. Mandek terbit dengan beberapa alasan yang sebenarnya klise.

Ada beberapa cara untuk kembali menggairahkan penerbitan jurnal ilmiah tadi. Tentu regulasi wajib publikasi makalah ilmiah tadi harus menjadi pemantiknya. Dengan hadirnya regulasi ini tentu tiap tahunnya akan sangat banyak tulisan yang siap diterbitkan. Dengan polesan sana-sani dan proses pembiasaan, pasti tulisan yang dihasilkan akan lebih berkualitas lagi.

Mengenai biaya penerbitan, itu merupakan tantangan tersendiri bagi pengelola untuk memanajemen keuangannya. Jurnal ilmiah yang baik tentu yang dapat mandiri dalam hal pembiayaan. Disini kepandaian dari pengelola diuji untuk mencari sumber pemasukan guna kelangsungan hidup sebuah jurnal. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh, salah satunya menggandeng sponsor untuk terlibat. Tentu dalam hal ini pemerintah tidak boleh lepas tangan. Sebagai tanda perhatian, tetap harus ada kucuran dana. Mungkin bisa dalam bentuk subsidi.

Lembaga Karya Tulis Ilmiah Jawabannya

Satu lagi hal yang sebenarnya kecil tapi sangat bisa membantu untuk menumbuhkan budaya menulis ilmiah di kalangan mahasiswa. Beberapa tahun belakangan ini sedang ramai tumbuh organisasi atau lembaga penulisan karya ilmiah di tingkat mahasiswa, baik di tingkat universitas maupun tingkat fakultas. Perkumpulan mahasiswa seperti ini sangat membantu dalam hal membudayakan kebiasaan menulis karya ilmiah. Keraguan terbesar yang muncul dari terbitnya surat edaran Dikti ini kan mahasiswa ditakutkan tidak mampu menulis sebuah makalah di jurnal ilmiah dalam tempo yang terasa singkat tersebut. Saya rasa, sebenarnya ini bukan masalah mampu atau tidak mampu, tapi biasa atau tidak biasa. Dan lembaga karya tulis ilmiah sangat bisa membantu membiasakan hal tersebut.

Hal ini bukan tanpa bukti. Sekedar contoh, di Universitas Hasanuddin ada Unit Kegiatan Mahasiswa Keilmuan dan Penalaran Ilmiah (UKM KPI). Walau berusia masih sangat muda, UKM ini sudah dapat melatih anggota-anggotanya untuk terbiasa hidup dalam budaya literasi (membaca, berdiskusi dan menulis). UKM KPI menjadi semacam partner bagi pihak Universitas untuk menciptakan mahasiwa dengan kemampuan yang lebih. Sejalan dengan UKM KPI di tingkat Universitas, tumbuh organisasi sejenis di tingkat Fakultas, seperti Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah (LP2KI) di Fakultas Hukum dan Medical Youth Research Club (MYRC) di Fakultas Kedokteran.

Bukankah semangat seperti yang anak muda tunjukkan tersebut yang harusnya dibangun. Sikap pesimis dan rasa takut hanya akan menghambat kita untuk berkembang. Saya teringat perkataan singkat seorang Guru besar bidang hukum di Unhas. “Sesuatu yang baik halal untuk dipaksakan”. Ya, walau terasa berat regulasi ini memang harus “dipaksakan” untuk diterapkan.

1 komentar: