Ditengah hingar-bingar pemilihan
Putri Indonesia dan kontes menyanyi X-Factor, Pada Jumat (1/2), Kick Andy on Location bercerita
tentang masyarakat perbatasan lewat Inspirasi dari Jantung Borneo. Talkshow ini menjadi menarik karena menampilkan
apa yang selama ini tak pernah kita lihat. Bagaimana kehidupan masyarakat
perbatasan Indonesia-Malaysia dapat hidup rukun di jantung Pulau Kalimantan,
tepatnya di Krayan, Kalimantan Timur.
Saya jadi teringat obrolan panjang
saya dengan seorang teman pada masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Sebatik,
Kalimantan Utara. Bermula pada sebuah observasi awal untuk menentukan program
kerja KKN, saya berkenalan dengan Yusuf, seorang penduduk lokal Sei Pancang,
salah satu daerah teramai di Pulau Sebatik. Yusuf bekerja sebagai Tukang Ojek
yang sehari-hari mengantar penumpang keluar-masuk Dermaga Sei Pancang. Jika
penumpang sedang sepi, ia akan duduk santai di dermaga. Disanalah kami
berkenalan. Hampir setiap pagi dan petang kami bertemu lalu mengobrol apa saja.
Dari percakapan intens tersebut saya tahu Yusuf memiliki wawasan yang luas. Ia,
misalnya, dapat menjelaskan dengan baik biota laut yang ada di sekitar Perairan
Sebatik karena rajin menonton National Geographic Channel, akunya.
Hal lain yang membuat saya betah
berlama-lama mengobrol dengan Yusuf adalah perspektifnya dalam memahami
hubungan masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia. Mungkin bukan hanya Yusuf,
saya rasa banyak masyarakat Pulau Sebatik yang memiliki cara pandang cerdas
dalam menilai relasi kedua negara. Masyarakat di perbatasan memaknai hubungan
mereka dengan sederhana. Mereka menganggap interaksi mereka sehari-hari sebagai
sebuah simbiosis mutualisme. Kebutuhan bahan pokok warga Indonesia terpenuhi
dari negara jiran, sebaliknya kebutuhan produksi industri di Tawau dan Sabah,
Malaysia sebagian didapatkan dari perairan dan kebun-kebun di Pulau Sebatik
bagian Indonesia. Sesederhana itu. Mereka tak pernah memikirkan bermacam
konflik yang pasti akan menarik urat emosi yang berlebihan.
"Saya juga heran, masyarakat
di kota selalu ribut kalau ada masalah di perbatasan. Padahal kami disini
tenang-tenang saja. Walau ada masalah, kami tetap bersaudara", Jawab
Yusuf ketika saya menanyakan perihal reaksi masyarakat perbatasan ketika
ada konflik yang muncul diantara kedua negara.
Tentu kita masih ingat, bagaimana
masyarat di pusat-pusat kota akan segera bereaksi apabila media mulai
mengompori dengan isu konflik kedua negara yang selalu berulang-ulang. Pencaplokan
wilayah, klaim budaya bangsa dan yang terbaru, olok-olokan yang sempat
dilontarkan kepada mantan pemimpin negara kita seakan menjadi legitimasi bagi
kita untuk segara marah lalu saling menghina. Kalau sudah begitu pekikan
"Ganyang Malaysia!" akan kembali ramai diteriakkan. Seolah-olah
Kalimat andalan Presiden Soekarno tersebut lahir dari masalah sepele saja.
Tapi coba bayangkan kembali,
kemana kita disaat hubungan tersebut sedang baik-baik saja? Pernahkah kita
sekedar untuk tahu, lebih-lebih mencoba mencintai segala hal yang diklaim
negara tetangga tersebut. Lagu Rasa Sayange misalnya, sebelum dipakai
sebagai backsound promo pariwisata
Malaysia, pernahkah kita menyanyikannya lagi. Saya rasa tidak. Rasa Sayange menjadi
semacam mayat hidup, ia terbenam di salah satu rak di Lokananta, Kota Solo,
tanpa pernah diputar lagi.
Belum lagi masalah pulau-pulau kecil
di perbatasan milik kita yang sudah terlanjur beralih menjadi bagian dari
teritorial Malaysia. Sebelum pulau tersebut lepas, pernahkah kita
mengetahuinya. Sipadan dan Ligitan baru diketahui sesaat sebelum konflik ini
akan diajukan ke meja Mahkamah Internasional yang lantas mengalahkan
kita. Pemerintah dan juga tiap individu di negara ini tak cukup peduli
dengan apa yang telah dipunyai. Ketika negara lain melakukan effective occupation terhadap wilayah
tersebut, kita hanya bisa gigit jari dibuatnya.
Saya tak pernah cukup bangga
dengan nasionalisme yang dibangun oleh negara kita ini. Indonesia mengajarkan
warganya mencintai negara dengan cara yang dangkal. Mencintai negara dengan
cara artifisial semata adalah cara yang mudah namun rapuh menurut saya. Nasionalisme
yang seharusnya ditanamkan oleh negara adalah rasa cinta tanah air karena tanah
air itu sendiri mencintai kita. Dengan cara apa? Ya dengan jalan pemenuhan
jaminan hidup warga yang memang sudah diatur oleh konstitusi kita.
Seberapapun saya senang mengobrol
dengan Yusuf, saya sempat kecewa sekaligus khawatir ketika ia begitu
membanggakan negara tetangga. Baginya, Malaysia adalah negara ideal untuk
ditempati karena kehidupan warganya telah terjamin dengan pasti. Kacaunya warga
negara kita di perbatasan, seperti Yusuf dan kawan-kawanya pun seakan lebih
dekat kepada Malaysia ketimbang Indonesia. Jangan sampai budaya dan tanah kita
sudah diklaim, warga negara kita pun ikut-ikutan dicaplok. Sungguh mengerikan
membayangkan hal tersebut.
Saya kira kunci keluar dari semua
ini adalah perhatian lebih. Bukan hanya dari negara tentunya, tapi juga dari
tiap-tiap diri kita, pemilik negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar