Jumat, 30 Agustus 2013

Buku




"Sebaik-baik teman sepanjang waktu adalah buku." 
-Simon Reid-Henry

Selasa, 20 Agustus 2013

Doa Larut Malam

Tuhan, pulangkan aku ke tidur
rehatkan aku di mimpi
sampaikan aku di pagi
pagi yang siangnya tak ku ingini

Sabtu, 17 Agustus 2013

Playlist Hari Kemerdekaan




“Sudahkah kita merdeka?”, pertanyaan klise tersebut tentu kembali ramai di bulan Agustus ini. Kalau tolok ukur sebuah kemerdekaan adalah terbebas dari segala tindak agresi dari negara lain, tentu saja kita sudah merdeka. Enam puluh delapan tahun lalu, di ujung senjakala Perang Dunia ke-2, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno dengan didampingi Hatta.

Lain soal jika pertanyaan tersebut sedikit diperhalus: “Sudah sejauh mana kita merdeka?” Kita bisa berdebat dalam pertanyaan ini, karena akan ada ukuran-ukuran ataupun pencapaian-pencapaian yang akan diajukan disitu. Tentu tidak selalu indah. Negara ini telah mengalami jatuh bangun pasca kemerdekaannya. Ia pernah dianggap sebagai Macan Asia pun tak jarang direndahkan bahkan tidak diperhitungkan sama sekali.

Untuk itu, saya ingin membagikan rangkaian Playlist yang sedikit-banyak menggambarkan keadaan Indonesia di hari kemerdekaannya yang ke-68 tahun ini. Susunan ini akan bercampur baur, antara yang memuji dan yang menyatir. Tentu setiap lagu akan memiliki pesan tersendiri untuk kita renungi bersama. Bukan soal bagaimana kita terus terbang pada setiap pujian dan terpuruk dalam celaan, tapi bagaimana kita bersiap untuk terus memperbaiki dan merawat negara ini terus-menerus.

Ini dia susunan playlist tersebut:

Rencong Marencong – Marjinal

Mari kita mulai daftar ini dengan menyapa kabar rakyat Indonesia yang tersebar di seluruh penjuru. Marjinal, sebuah komunal punk yang berasal dari sebuah lorong di selatan ibukota, menyapa kita dengan lantang. Saya kira sapaan dalam “Rencong Marencong” ini  ditujukan untuk semua kelompok minoritas yang ada dimana saja di negara ini. Di tengah kesulitan hidup dan acapkali dilupakan oleh negara, Lagu ini mengajak kita untuk bersenang-senang dengan cara sederhana.

Lupakan negara yang masih terbata-bata mengeja kebutuhan rakyatnya. Mari bersenang-senang lantas bersyukur dengan segala yang kita punya saat ini.

"Hei bagaimana kabar kawan-kawan
Apakah baik kondisimu disana 
Kami disini sedang bernyanyi kawan 
Akan senandung lagu rindu tentang kamu..."

Menjadi Indonesia – Efek Rumah Kaca

Efek Rumah Kaca lahir di saat yang tepat. Di tengah banalitas dan pengulangan-pengulangan yang menjengkelkan, mereka hadir membawa angin segar. Saat industri memaksa musisi membuat lagu bertema nasionalisme, lahirlah karya yang artifisial semata dan cenderung membosankan. Lain halnya dengan “Menjadi Indonesia”. Nomor ini bercerita dengan jujur tentang kondisi Indonesia saat ini. Tanpa rasa menggurui, lagu ini menyampaikan kondisi Indonesia yang sedang “tidur berkepanjangan”. Di ujung lagu ada nada optimis yang tersisa; “masih ada cara menjadi besar… menjelma dan menjadi Indinesia.” Dengan balutan pop minimalis, tembang ini terasa sangat pas untuk terus menjaga nyala api cinta negara di dalam diri kita.

"lekas,
bangun tidur berkepanjangan
Menyatakan mimpimu
Cuci muka biar terlihat segar
Merapikan wajahmu
Masih ada cara menjadi besar
Memudakan tuamu
Menjelma dan menjadi indonesia."

Juara Dunia – Sir Dandy

“Juara Dunia” adalah lagu nasionalisme yang lain. Sir Dandy menyampaikannya dengan sederhana nan jenaka. Dibuka dengan menyebutkan daftar kebanggaan yang pernah dimiliki Indonesia, mulai dari Allyas Pikal, Alan Budi-Susi Kusuma sampai Ariel dan Luna (nama pasangan terakhir sangat sarkartis saya kira. Hehe). Lagu ini lantas menampilan Chris John, juara dunia tinju milik rakyat Indonesia. Di tengah seretnya prestasi olahraga kita, Si Naga (julukan bagi Chris John) hadir bak oasis di tengah gurun pasir. Hal lain yang juga membuat lagu ini akan terus dikenang adalah keberhasilannya mempopulerkan jargon “Sikat Jon!” yang sungguh mampu menghibur dan membangkitkan semangat.

Dalam sebuah wawancara, Sir Dandy berencana untuk membuat lagu khusus bagi Timnas jika mampu lolos ke Piala Dunia suatu saat nanti. Jadi untuk timnas, Sikat Jon!

"Berbadan kecil seperti maradona
Menari lincah seperti balerina
Melancarkan pukulan ke arah lawan
Menunduk ke belakang sambil melepaskan pukulan

Chris john chris john chris john chris john
Juara dunia dari indonesia..."


Mengadili Persepsi – Seringai

Salah satu kejengkelan utama yang sering dipertontonkan Indonesia yang tak lagi muda ini adalah intoleransi antar SARA. Di negara yang mengaku berasaskan Bhineka Tunggal Ika ini masih terlalu sering terjadi pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh kaum mayoritas. Dengan alasan itu lah “Mengadili Persepsi” hadir. Lagu milik Seringai, salah satu unit metal terbaik negara ini, berbunyi perlawanan dengan teriakan “Individu Merdeka!”. Lirik ciamik yang sungguh memberikan tamparan keras kepada kelompok intoleran, berpadu dengan suara vokal Arian yang sangat garang. Pertanyaan penutup di lagu ini juga mengajak kita untuk kembali menilai apakah kita sudah benar-benar merdeka.

"Mereka, bermain Tuhan
Merasa benar, menjajah nalar
Dan kalau kita membiarkan saja,
anak kita berikutnya.

Sudahkah Merdeka?..." 

Amerika! – Armada Racun

Saya selalu tertarik dengan band ini. Bukan karena kibordis meraka saat ini adalah kakak kelas saya di masa SMA, melainkan pemberontakan dengan menihilkan instrumen gitar pada formasi mereka. Dan “Amerika!” adalah karya terbaik yang pernah meraka buat.

Di tengah derasnya arus informasi saat ini, Indonesia tampil canggung untuk menahan kencangnya invasi budaya asing. Negara yang diwakili oleh rakyatnya tak punya pilihan untuk merespon selain meniru mentah-mentah segala apa yang masuk. Terjadilah proses imitasi di segala bidang kehidupan. Dengan kondisi demikian kita akan sangat gampang untuk menemui orang-orang yang kehilangan jati diri. Bukan hanya peniruan terhadap Amerika, saat ini negara kita sedang dijajah secara halus oleh banyak negara, sebutlah Korea, Jepang, India dan negara lainnya.

Dengan mempelesetkan teks Sumpah Pemuda, nomor ini menjadi lagu protes yang sungguh mengena dengan situasi saat ini.

"Kami bangsa indonesia mengaku berbangsa satu Amerika
Kami bangsa indonesia mengaku berbahasa satu Amerika
Kami bangsa indonesia mengaku bertanah air satu Amerika
Kami bangsa indonesia mengaku, semuanya Amerika
..."

Ini Bukan Arab, Bung! – Milisi Kecoa

Satu lagi band berideologi punk yang sukses menghasilkan lagu-lagu protes zaman. Milisi Kecoa hadir dari puing-puing kekecewaan yang mereka lihat di sekitar. “Ini Bukan Arab, Bung!” merupakan protes keras yang dilayangkan kepada para bigot-bigot negeri yang tak henti-hentinya memaksakan budaya. Bagaimana para pengobral surga menyebarkan ajaran agama dengan cara memaksa. Meraka tak segan-segan memberi label “kafir bin sesat” karena merasa mendapat legitimasi dari Tuhan.

"Cepatlah kau mati,
tagih pahalamu di surga
Surgamu, nerakaku

Ini bukan arab, bung!"

Kami Bosan Jadi Negara Dunia Ketiga – Morfem

Di lagu ini Morfem bercerita bagaimana sulitnya negara ini berkembang akibat penyakit utama yang menjangkitinya: korupsi. Para pemegang amanat rakyat yang padanya kita manaruh harapan malah membuat permufakatan jahat. Tanpa belas kasihan, mereka memakan kepercayaan dan membaginya hanya kepada kelompoknya sendiri. Nomor ini berteriak keras tentang itu semua. Bagaimana negara yang hampir berumur enam puluh delapan tahun ini masih saja berstatus “negara dunia ketiga”.

Kebosanan akan kondisi dimainkan dengan musik fuzz-rock yang dinamis. Lirik ciamik dari Jimmy Multazham sang vokalis mewakili perasaan kebanyakan rakyat Indonesia. Puncak kejengkelan ada pada bagian terakhir lagu. Suara “Cuuuiiihh..” sangat pas untuk diberikan pada pengelola negara yang sudah cukup berumur ini.

"Bosan kami bosa jadi negara dunia ketiga
Padahal kita hidup di tanah air yang kaya raya
Bosan kami bosa jadi negara dunia ketiga
Tak mungkin jadi negara maju jikalau korupsi ada..."

Jumat, 02 Agustus 2013

Segenggam Syukur untuk Juli

Tentu akan selalu ada hal yang perlu disyukuri dan sedikit disesali dari bulan-bulan yang telah berlalu. Tapi saya tak tahu pasti, dimana harus memposisikan semangat-menyelesaikan-skripsi-yang-masih-kembang-kempis. Sudah pasti saya tak pernah menyukirinya, pun tidak pernah berpikir untuk menyesalinya. Yang sedikit saya sayangkan adalah saya pernah ikut-ikutan latah untuk segera merampungkannya.

Hal yang perlu disyukiri di bulan Juli kemarin tentu saja ada banyak doa yang tertuju kepada saya tepat di hari kelahiran. Walau saya tak pernah mengharapkannya, saya merasa perlu untuk berterimakasih kepada kawan-kawan, guru-guru, teman-teman dampingan yang telah meluangkan waktunya untuk mengharapkan kebaikan bagi saya. Saya tak bisa membalas banyak kecuali berharap yang terbaik pula bagi mereka semua.

Juli juga membawa saya untuk sedikit bernostalgia dengan kesukaan saya akan sastra, khususnya puisi. Suatu sore di pertengahan bulan ini saya tiba-tiba mengamini ajakan seorang teman untuk mengikuti kompetisi bernama #DuetPuisi. Jadilah saya seorang penyair selama kurang-lebih sepuluh hari. Secara bergantian, setiap harinya kami membuat satu buah puisi yang saling berbalasan. Untuk mempermudah pembuatannya, kami mengarahkan puisi kami kepada tema “Ke-Indonesia-an”. Sangat sok-sok-an memang. Tapi, lagi-lagi yang harus disyukiri adalah saya bisa menunaikan tugas tersebut sampai hari terakhir. Diluar dugaan saya sendiri, saya bisa membuat puisi (lebih kepada meracau sebenarnya) secara marathon selama dua hari sekali selama sepuluh hari tanpa henti. Padahal, setelah saya ingat-ingat lagi, terakhir kali saya membuat puisi adalah untuk sebuah tugas sekolah di tahun 2006 ketika masih duduk di kelas dua SMA. Benar-benar sesuatu yang harus disyukuri bukan.

Hasil dari meracau, eh #DuetPuisi saya bisa dilihat disini. Dan karya rekan duet saya bisa dibaca disini. Dengan catatan; yang memulai #DuetPuisi tersebut adalah rekan saya dan dilanjutkan oleh saya di hari berikutnya lalu dibalas lagi oleh rekan saya tersebut. Begitu seterusnya sampai kurang-lebih sepuluh hari.

Selain itu, minggu terakhir Juli kemarin saya juga mulai magang di Yayasan Konservasi Laut (YKL) Makassar. Disana, saya bersama Dede akan belajar banyak tentang kerja teman-teman YKL dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat pesisir di Kabupaten Maros dan Takalar. Sejauh ini saya cukup menikmati proses tersebut. Saya mendapatkan teman-teman baru yang seru juga seorang pembimbing magang yang sangat banyak membantu.

Hari Jum’at minggu lalu, belum cukup sepekan masuk saya sudah diajak untuk melakukan pendampingan di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar. Selama lima hari saya banyak belajar disana. Tentang bagaimana melakukan pendekatan kepada masyarakat kemudian mengajak mereka untuk berbuat sesuatu. Kak Winda, pembimbing saya sekaligus pendamping regular beberapa kelompok masyarakat disana menunjukkan bagaimana melakukan pendekatan kepada masyarakat pesisir. Di banyak pertemuan saya lebih banyak diam untuk menyimak. Tapi di luar itu saya banyak berbincang, terutama dengan salah satu kepala desa tentang beberapa peraturan desa yang telah dan akan mereka buat.

Banyak pengalaman seru selama kunjungan ke Pulau Tanakeke beberapa hari yang lalu. Sebelum keberangkatan kami sudah diwanti-wanti untuk waspada selama perjalanan. Itu karena angin di perairan Laut Sulawesi sedang kencang-kencangnya. Bahkan kami dibekali pelampung untuk jaga-jaga. Benar saja, kapal yang mengantar kami untuk menyeberang pulau digoyang cukup kencang oleh angin. Padahal kapal yang kami tumpangi adalah kapal pengangkut besi yang cukup besar. Beberapa kali ombak yang cukup besar silih berganti menghantam dari kanan dan kiri kapal. Saya hanya bisa merapal beberapa doa dibuatnya. Untung saja kapal masih bisa bersandar di dermaga Desa Tompo Tana dengan selamat. Tentu hal ini pun sangat perlu untuk disyukuri.

Di Pulau Tanakeke saya juga belajar banyak untuk menghargai air. Dengan kondisi geografi yang dikelilingi oleh laut yang sangat luas, seluruh desa di Pulau Tanakeke memilki debit air tawar yang sangat terbatas. Tak heran air tawar disana dihargai dengan sangat mahal. satu jiregen yang berisi dua puluh liter air dijual seharga 2.500 Rupiah. Tak ada jalan lain selain menghemat. Mandi pun harus disesuaikan, yang biasanya dua kali sehari jadi maksimal hanya sekali sehari. Bahkan untuk berwudhu saya hanya punya jatah satu gayung air tawar. Benar-benar kita harus memperhitungkan tiap tetes air yang digunakan.

Walau begitu tak banyak saya lihat keluhan dari masyarakat setempat. Mesin penawar air laut yang telah ada namun belum bisa berfungsi tak pernah dikutuki. Saya pun diajak untuk belajar bagaimana mengganti keluhan dengan rasa syukur lainnya.

Begitulah. Beberapa syukur memang perlu dirayakan. Bukan berarti tak ada rasa penyesalan selama Juli ini. Tetap ada, hanya saja saya merasa tak perlu untuk membaginya. hehehe...