Tentu akan selalu ada hal yang perlu disyukuri dan sedikit
disesali dari bulan-bulan yang telah berlalu. Tapi saya tak tahu pasti, dimana
harus memposisikan semangat-menyelesaikan-skripsi-yang-masih-kembang-kempis. Sudah
pasti saya tak pernah menyukirinya, pun tidak pernah berpikir untuk
menyesalinya. Yang sedikit saya sayangkan adalah saya pernah ikut-ikutan latah
untuk segera merampungkannya.
Hal yang perlu disyukiri di bulan Juli kemarin tentu saja
ada banyak doa yang tertuju kepada saya tepat di hari kelahiran. Walau saya tak
pernah mengharapkannya, saya merasa perlu untuk berterimakasih kepada kawan-kawan,
guru-guru, teman-teman dampingan yang telah meluangkan waktunya untuk
mengharapkan kebaikan bagi saya. Saya tak bisa membalas banyak kecuali berharap
yang terbaik pula bagi mereka semua.
Juli juga membawa saya untuk sedikit bernostalgia dengan
kesukaan saya akan sastra, khususnya puisi. Suatu sore di pertengahan bulan
ini saya tiba-tiba mengamini ajakan seorang teman untuk mengikuti kompetisi bernama
#DuetPuisi. Jadilah saya seorang penyair selama kurang-lebih sepuluh hari. Secara
bergantian, setiap harinya kami membuat satu buah puisi yang saling
berbalasan. Untuk mempermudah pembuatannya, kami mengarahkan puisi kami
kepada tema “Ke-Indonesia-an”. Sangat sok-sok-an memang. Tapi, lagi-lagi yang harus
disyukiri adalah saya bisa menunaikan tugas tersebut sampai hari terakhir. Diluar dugaan saya
sendiri, saya bisa membuat puisi (lebih kepada meracau sebenarnya) secara
marathon selama dua hari sekali selama sepuluh hari tanpa henti. Padahal,
setelah saya ingat-ingat lagi, terakhir kali saya membuat puisi adalah untuk
sebuah tugas sekolah di tahun 2006 ketika masih duduk di kelas dua SMA.
Benar-benar sesuatu yang harus disyukuri bukan.
Hasil dari meracau, eh #DuetPuisi saya bisa dilihat disini. Dan
karya rekan duet saya bisa dibaca disini. Dengan catatan; yang memulai
#DuetPuisi tersebut adalah rekan saya dan dilanjutkan oleh saya di hari
berikutnya lalu dibalas lagi oleh rekan saya tersebut. Begitu seterusnya sampai
kurang-lebih sepuluh hari.
Selain itu, minggu terakhir Juli kemarin saya juga mulai
magang di Yayasan Konservasi Laut (YKL) Makassar. Disana, saya bersama Dede
akan belajar banyak tentang kerja teman-teman YKL dalam melakukan pendampingan
terhadap masyarakat pesisir di Kabupaten Maros dan Takalar. Sejauh ini saya
cukup menikmati proses tersebut. Saya mendapatkan teman-teman baru yang seru
juga seorang pembimbing magang yang sangat banyak membantu.
Hari Jum’at minggu lalu, belum cukup sepekan masuk saya
sudah diajak untuk melakukan pendampingan di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar.
Selama lima hari saya banyak belajar disana. Tentang bagaimana melakukan
pendekatan kepada masyarakat kemudian mengajak mereka untuk berbuat sesuatu.
Kak Winda, pembimbing saya sekaligus pendamping regular beberapa kelompok masyarakat
disana menunjukkan bagaimana melakukan pendekatan kepada masyarakat
pesisir. Di banyak pertemuan saya lebih banyak diam untuk menyimak. Tapi di
luar itu saya banyak berbincang, terutama dengan salah satu kepala desa tentang
beberapa peraturan desa yang telah dan akan mereka buat.
Banyak pengalaman seru selama kunjungan ke Pulau Tanakeke
beberapa hari yang lalu. Sebelum keberangkatan kami sudah diwanti-wanti untuk
waspada selama perjalanan. Itu karena angin di perairan Laut Sulawesi sedang
kencang-kencangnya. Bahkan kami dibekali pelampung untuk jaga-jaga. Benar saja,
kapal yang mengantar kami untuk menyeberang pulau digoyang cukup kencang oleh angin.
Padahal kapal yang kami tumpangi adalah kapal pengangkut besi yang cukup besar.
Beberapa kali ombak yang cukup besar silih berganti menghantam dari kanan dan
kiri kapal. Saya hanya bisa merapal beberapa doa dibuatnya. Untung saja kapal
masih bisa bersandar di dermaga Desa Tompo Tana dengan selamat. Tentu hal ini
pun sangat perlu untuk disyukuri.
Di Pulau Tanakeke saya juga belajar banyak untuk menghargai air. Dengan kondisi geografi yang dikelilingi oleh laut yang sangat luas, seluruh desa di Pulau Tanakeke memilki debit air tawar yang sangat terbatas. Tak heran air tawar disana dihargai dengan sangat mahal. satu jiregen yang berisi dua puluh liter air dijual seharga 2.500 Rupiah. Tak ada jalan lain selain menghemat. Mandi pun harus disesuaikan, yang biasanya dua kali sehari jadi maksimal hanya sekali sehari. Bahkan untuk berwudhu saya hanya punya jatah satu gayung air tawar. Benar-benar kita harus memperhitungkan tiap tetes air yang digunakan.
Walau begitu tak banyak saya lihat keluhan dari masyarakat setempat. Mesin penawar air laut yang telah ada namun belum bisa berfungsi tak pernah dikutuki. Saya pun diajak untuk belajar bagaimana mengganti keluhan dengan rasa syukur lainnya.
Begitulah. Beberapa syukur memang perlu dirayakan. Bukan berarti tak ada rasa penyesalan selama Juli ini. Tetap ada, hanya saja saya merasa tak perlu untuk membaginya. hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar