“Ikan apa yang kuat
makan?”
“Ikandi!”
***
Hari itu, suatu siang di medio 2000-an, Kandi memasuki
rumah dengan sangat tergesa-gesa. Tanpa memedulikan kakinya yang masih kotor,
Ia langsung menuju ke dapur untuk bersembunyi sejenak. Saya sudah paham betul
dengan situasi ini. Pasti Kandi baru saja menjahili teman bermainnya. Benar saja.
Suara tangisan anak kecil tiba-tiba nyaring terdengar dari rumah tetangga yang
berada tepat di sebelah kediaman kami. Ia melapor kepada ibunya kalau baru saja
dicubit oleh seorang penjahat berbadan jauh lebih besar darinya bernama Kandi.
Keesokan harinya anak tetangga tersebut datang ke rumah
untuk kembali mengajak Kandi bermain. Tak ada dendam. Sakit hati dijahili di
hari sebelumnya lenyap tak bersisa. Dasar anak-anak.
Seperti anak kebanyakan, Kandi sangat suka bermain. Yang tak
biasa adalah Ia tidak suka bermain dengan teman sebaya atau anak-anak yang
lebih tua darinya. Ia lebih senang bermain denga anak kecil yang berumur tiga sampai
lima tahun di bawahnya. Yang Kandi dan teman-temannya mainkan pun lebih sering permainan
khas anak perempuan seperti masak-masakan atau dokter-dokteran. Saya sangat
jarang, bahkan mungkin tak pernah melihat Ia bermain sepakbola atau “polisi-penjahat”
di lapangan dekat rumah.
Agar bisa lebih superior mungkin menjadi alasan bagi Kandi
untuk memilih bermain dengan anak-anak yang lebih muda. Yang saya lihat, Ia sangat
menikmati statusnya sebagai “anak paling besar” di dalam kelompok bermainnya. Dengan
begitu tak ada yang bisa menjahilinya. Sebaliknya, Ia bisa dengan sesuka hati
mengerjai teman-temannya sampai menangis.
Tak terhitung kejahilan yang telah dilakukan oleh Kandi. Mulai
dari yang umum seperti mengolok, mencubit, melempar pasir, sampai yang paling
terkenal karena sangat sering Ia lakukan; menakut-nakuti teman bermain
dengan suara anehnya yang Ia sebut sebagai “Suara Hantu”. “Suara Hantu” adalah
teriakan mirip growl yang biasa dikeluarkan oleh vokalis band metal namun dalam
bentuk yang lebih tebal. Hanya Kandi yang bisa mengeluarkan “Suara Hantu”
tersebut. Saya sempat penasaran ingin mencoba menirukannya. Tapi saya tak
pernah berhasil. Bukannya suara menyeramkan yang keluar, saya malah batuk-batuk
dibuatnya.
“Suara Hantu” adalah senjata andalan Kandi untuk membuat
menangis teman bermainnya. Hampir semua anak kecil yang ikut bermain dengannya
takut mendengar suara tersebut. Kala Kandi mulai beraksi, bisa dipastikan
teman-temannya akan menangis lantas pulang ke rumah untuk melapor kepada ibu
mereka. Tapi anehnya, esok hari bisa dipastikan anak-anak kecil tersebut
kembali mendatangi rumah kami untuk mengajak Kandi bermain lagi. Memang dasar,
anak-anak.
***
Malam itu tak seperti biasanya. Kandi menjadi sangat
pendiam. Di waktu makan pun Ia tak tambah. Padahal biasanya, pantang baginya
hanya menghabiskan sepiring dalam satu kali waktu makan.
Malam itu Kandi sedang kecewa. Ia yang baru saja lulus SD tak
berhasil masuk ke SMP negeri yang diidamkan karena nilai Ujian Nasional-nya
sangat pas-pasan. Dengan sangat terpaksa ia masuk di sekolah pilihan Mamak,
yaitu SMP Muhammadiyah yang letaknya lumayan jauh dari rumah. Kandi mulai
menjadi agak pendiam sejak itu.
Disinilah jahatnya stigma. Anggapan bahwan sekolah negeri itu
jauh lebih baik dari sekolah swasta dan SMP Muhammadiyah adalah sekolah buangan
bagi anak-anak bodoh telah menjatuhkan mental Kandi. Beban itu mungkin biasa
menurut kita, tapi pasti tidak bagi anak-anak berumur belasan awal seperti
Kandi dan kawan-kawan sebayanya.
Sejak saat itu, dalam sisa waktu libur kuliah saya waktu
itu, saya terus meneguhkan hati Kandi. Saya memberikan semangat dan motivasi
yang bersifat standar seperti, “Ini bukan masalah dimana kita sekolah, tapi soal
bagaimana semangat kita ingin belajar. Bla bla bla…”. Di lain waktu saya
mencoba menghiburnya dengan berkata “Kau harusnya bangga karena bisa duluan
pakai celana panjang ke sekolah dibanding teman-temanmu di SMP negeri”, atau “di
Muhammaadiyah itu lebih enak, karena lebarannya bisa duluan daripada yang lain”.
Perkataan yang terakhir itu lebih kepada menggoda sebenarnya. Hehehe.
Hanya soal waktu, Kandi sudah bisa menerima dirinya
bersekolah di sekolah swasta. Dari kabar yang saya terima dari Mamak dan Uli,
Ia sangat rajin pergi sekolah. Semangat bermain dan makannya yang sempat
menurun pun sudah kembali. Syukur lah.
***
Pada pertengahan tahun 2013 Mamak menelpon saya dalam tempo
yang cukup lama. Beliau mengabarkan semua orang rumah di Tarakan dalam keadaan
sangat sehat. Semua sedang senang. Hal itu dikarenakan Kandi diterima di
sekolah idamannya, yaitu SMK Negeri 2 alias STM. Ya, STM. Sampai saat ini saya
belum tahu pasti alasan Kandi lebih memilih STM dibanding SMA favorit lainnya. Dugaan
awal saya Kandi tak ingin lagi terlalu kecewa seperti saat memilih SMP
tiga tahun lalu. Sepertinya Ia memiliki perhitungan tersendiri atas pilihannya
tersebut.
Beruntung bagi kami memiliki orang tua, terutama Mamak yang tidak
terlalu menuntut. Mamak sangat jarang mengintervensi pilihan anak-anaknya,
termasuk dalam hal pendidikan. Kami dibiasakan mandiri lantas bertanggung jawab
atas semua pilihan-pilihan kami. Hal serupa sepertinya diberlakukan juga kepada
Kandi. Mamak terdengar cukup senang dengan pilihan Kandi yang memilih sekolah
kejuruan, tanpa terpengaruh stigma tentunya.
Sekarang Kandi benar-benar bersemangat pergi ke sekolah
yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Semoga terus seperti itu
sampai Ia lulus nanti.
***
Hari ini, 29 Januari, Kandi, adik bungsu saya sedang
berulang tahun yang ke-17. Walau tak ada tradisi merayakan hari kelahiran dalam
keluarga kami, saya ingin menuliskan sesuatu untuknya. Semoga ini bisa dianggap
sebagai sebuah kado dari kakak yang sedang rindu berat.
Selamat ulang tahun, adik Kandi. Semoga sehat selalu. Dan terus
ceria tentunya. Hehehe.