“Kami tahu bagaimana harus hidup dalam kapsul masing-masing, dan karena kami bukan sepasang kekasih, kami jarang menggunakan keheningan sebagai alasan untuk memulai pertengkaran. Tapi begitu makanan mengejawantah di wajan, menghias piring, mengisi ruang, yang ada hanya percakapan.”
Tidak bisa terbantahkan
bahwa budaya kuliner Indonesia sangatlah kaya. Khazanahnya terbentang dari Aceh
sampai Papua, dengan ciri khas dan cita rasanya masing-masing. Beberapa
diantaranya bahkan telah diakui sebagai makanan terenak di dunia.
Tapi sayangnya belum terlalu
banyak yang membahas kekayaan kita yang satu ini. Belakangan memang muncul
beberapa program televisi tentang ragam kuliner Indonesia. Tapi keseringannya penonton
hanya dibuat terpana pada pembawa acaranya yang berbodi aduhai dan
berpenampilan cool dengan tato di
sekujur lengan. Ada pula acara jalan-jalan sambil makan-makan yang sayangnya hanya
berakhir pada kata “maknyus” yang
kemudian menjadi ikonis. Kesemuanya belum terfokus pada si makanan itu sendiri.
Angin segar baru muncul pada
tahun 2014 lalu. Upaya mainstreaming makanan
sebagai pusat pembahasan suatu topik mulai nampak. Dimulai dengan film Tabula Rasa yang bercerita tentang kelezatan masakan Padang,
Majalah Tempo yang membuat Edisi Khusus Antropologi
Kuliner Indonesia, juga sebuah novel dari Laksmi Pamuntjak, Aruna dan Lidahnya. Judul buku yang
terakhir yang kemudian akan diulas dalam tulisan ini.
Aruna
dan Lidahnya berkisah tentang Aruna, seorang perempuan
yang bekerja sebagai Epidemologist (namun ia lebih senang disebut sebagai “ahli
wabah”). Ia memilki dua orang sahabat dengan status yang sama dengan dirinya:
belum niat menikah di usia yang sudah kepala tiga. Bono sang chef dengan
spesialisasi Nouvelle Cuisine serta Nadezhda,
penulis perjalanan dan makanan yang namanya sudah sering muncul di majalah dan
web ternama. Ketiganya dipersatukan dalam obsesi yang sama: makanan.
Saat Aruna diberi tugas
untuk menyelidiki wabah penyakit di beberapa kota di Indonesia, Ia mengajak
kedua temannya tersebut untuk sekalian mencicipi kuliner daerah yang
dikunjungi. Bono dan Nadezhda yang lebih akrab dengan western food, sangat tertarik lantas mengiyakan ajakan tersebut. Banyak
hal yang mereka temui di balik makanan yang mereka santap, mulai dari sejarah
lokal, agama dan kepercayaan, sampai resep makanan baru yang benar-benar tidak
terduga. Semuanya mengalir dalam balutan kisah yang manis sekaligus
mengharukan.
Dibanding dengan novel
sebelumnya, Amba, kisah yang dibangun
oleh Laksmi Pamuntjak dalam novel ini terasa lebih mudah untuk diselami. Narasi
dan dialognya sederhana walau dibumbui dengan istilah-istilah teknis yang perlu
dipahami lebih lanjut. Laksmi sangat pandai merancang kisah dan membangun
dialog yang begitu mengena kepada pembacanya. Setiap masakan diceritakan secara
mendetail hingga kita seperti bisa merasakannya juga. Produksi air liur saya
meningkat di beberapa bagian novel ini.
Bagi yang tidak akrab dengan
dunia epidemologi seperti saya, novel ini mungkin akan sedikit membosankan di
bagian awal. Namun setelah itu cerita mengalir begitu menyenangkan. Bukan hanya
kisah percintaan dan pengkhianatan yang disajikan, kita juga disuguhi dengan
berbagai pengetahuan yang sangat bernutrisi. Laksmi memperindah novel ini
dengan kutipan dari beberapa penulis dunia, mulai dari Brillant-Savarin hingga
Micheal Pollan.
Sungguh seperti ajakan untuk
merayakan makanan yang lebih dari sekedar makan sampai perut terasa kenyang.
Film Tabula Rasa kok sama dengan judul novel Ratih Kumala ya?
BalasHapusnda tau kenapa sama, ndis. tapi buku sama film nda ada hubungannya. walaupun saya baru baca sekilas bukunya sih. :))
Hapus