Sulit menjelaskan selera humor pejabat Fakultas Teknik Unhas
akhir-akhir ini. Pada acara penyambutan mahasiswa baru lalu, sebuah spanduk
berukuran besar terpajang di gedung Fakultas Teknik. Bukannya ucapan selamat datang,
tapi adik-adik maba disambut dengan hasil scan
pemberitaan sebuah harian lokal yang bertuliskan “Ngospek, 88 Mahasiwa
Teknik Unhas Diskorsing.” Apa maksud dari spanduk tersebut? Saya mencoba sekuat
tenaga untuk tidak berburuk sangka dalam menilai. Tapi tetap saja pemikiran
yang muncul selalu itu-itu juga, spanduk ini bertujuan untuk mengancam! Tidak
mungkin spanduk ini hanya pemberitahuan biasa.
Saya merasa lucu sekaligus terheran-heran saat mengetahui
hal ini. Saya kira teknik propaganda seperti ini sudah menghilang sejak rezim
orde baru runtuh. Ternyata cara Suharto untuk menakut-nakuti lawannya masih
hidup lestari, bahkan masuk sampai ke kampus, kantong utama pendorong
reformasi. Saya berpikir, tidak adakah cara lain yang lebih indah selain cara kekanak-kanakan
tersebut. Bukannya lebih baik duduk bersama, ngopi atau ngeteh, lantas
membicarakan titik temu. Saya kira teman-teman mahasiswa lama cuma ingin
mengakrabkan diri dengan adik-adik angkatan mereka. Dapat gebetan dari situ,
itu bonus lah. Terlepas dari caranya yang dianggap masih kurang pas, itu yang
perlu dipikirkan bersama.
Tapi pihak Dekanat Teknik memilih berpikiran pendek:
mengancam!
Tidak berapa lama kemudian, di media sosial muncul sebuah
foto yang menujukkan sebuah pemberitahuan yang tidak kalah
lucu-tapi-membuat-heran, kalau tidak boleh disebut absurd. Masih dari Fakultas
Teknik namun kali ini tidak sebesar spanduk sebelumnya. Pengumuman tersebut
hanya seukuran kertas A4, tapi dengan tujuan yang sama. Isinya, larangan masuk
perpustakaan bagi mahasiswa yang berambut panjang alias gondrong. Lalu di
bagian bawah tulisan tersebut ada himbaun tambahan: “KECUALI ADA IZIN DARI
PIMPINAN FAKULTAS.” Alamak, orde baru nyata masih hidup di Fakultas Teknik
Unhas. Tentu saya tidak perlu menjelaskan bagaimana Suharto begitu membenci
manusia yang gondrong pada eranya.
Sebesar apa sih salahnya mahasiswa gondrong sampai mereka
dilarang masuk perpustakaan? Apakah mereka pernah membuat kekacauang di
dalamnya? Ataukah penampilan mereka mengusik konsentrasi pengunjung lain yang
sedang asyik membaca? Sepertinya saya belum pernah mendengar berita semacam
itu. Lantas apa? Mahasiswa gondrong itu bermoral buruk? Wah gawat sekali kalau
sampai si penempel pemberitahuan tersebut sampai berpikiran seperti itu. Dimana
korelasi antara rambut gondrong dan moral yang tidak baik. Munkin ada pelaku
kriminal yang kebetulan berambut gondrong. Tapi kan tidak semua. Kalau mau
sesat pikir ini dilanjutkan boleh dong si gondrong bilang, “pejabat koruptor
yang hari ini jadi pesakitan semua rambutnya pendek dan rapi, bro.” Nah
bagaimana kalau begitu?
Kalau mau mencari murid yang rambutnya seragam pendek semua,
saya sarankan, mending bapak/ibu ngajar
di Wirabuana saja lah.
Kita semua tentu tahu bagaimana manusia gondrong distigma
begitu liar di masyarakat sejak dulu. Tapi yang saya sayangkan adalah stigma
itu ikut tumbuh subur di ruang-ruang akademis. Seharusnya kampus menjadi tempat
yang bebas bagi bersemainya ilmu pengetahuan. Kampus haruslah menjadi jalan
raya tempat ide dan pemikiran-pemikiran berlalu lalang. Bukannya menjadi ruang
ketakutan akibat ulah penguasa bermental kerdil yang kerjanya hanya mengamcam!
Mungkin Bapak/Ibu di Dekanat Teknik Unhas perlu diingatkan.
Nama kampus kita ini diambil dari seorang pahlawan terbesar di Sulawesi
Selatan, Sultan Hasanuddin. Iya Sultan Hasanuddin yang gagah perkasa namun arif
bijaksana itu. Dan yang paling perlu diingat, Sultan Hasanuddin itu gondrong!