Banyak
kasus tindak pidana korupsi yang terjadi karena ketidaktahuan, baik
ketidaktahuan masyarakat tentang proses penganggaran yang dilakukan oleh
pemerintah, juga ketidaktahuan aparat dalam menggunakan anggaran negara. Lemahnya
kapasitas pengetahuan kedua unsur ini kemungkinan disebabkan oleh rasa apatisme
yang lahir dari buruknya sistem yang selama ini berjalan. Hal tersebutlah yang
selama lima tahun belakangan ini ingin diubah oleh masyarakat dan aparat
pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Pulau
Tanakeke terdiri dari lima desa dengan sumber daya alam yang sangat cukup untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pulau ini juga dikenal sebagai penopang
keseimbangan lingkungan pesisir Sulawesi Selatan karena memiliki kawasan bakau
(mangrove) yang sangat luas. Sampai tahun 1980-an luas hutan bakau di Pulau
Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian
hutan bakau menjadi lahan tambak atau empang secara besar-besaran. Luasan hutan
bakau Kepulauan Tanakeke berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar
saja saat ini. Setelah sekitar 30 tahun berlalu, tambak-tambak yang tadinya
berjaya kini menjadi lahan-lahan mati karena perubahan ekosistem dan
terdegradasinya kualitas lahan. Keuntungan hanya dirasakan segelintir orang
saja. Kebanyakan masyarakat Kepulauan Tanakeke masih hidup dalam kerentanan
ekonomi, bahkan semakin sulit karena lingkungan mulai terganganggu.
Ketidaktahuan menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan!
Belajar
dari kejadian masa lalu tersebut, masyarakat juga aparat pemerintah desa di
Kepulauan Tanakeke kini berbenah. Sejak tahun 2010, dengan didampingi oleh
Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Oxfam Indonesia Tmur, mereka mulai membangun
kembali tata kelola kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik. “Baik”
dalam artian pengelolaan desa yang partisipatif, responsif gender dan pro pada
masyarakat yang rentan secara ekonomi.
Pengelolaan
desa yang partisipatif penting diwujudkan agar pembangunan desa tidak
dimonopoli oleh segelintir orang saja. Semua harus terlibat agar proses sumbang
saran bisa berjalan efektif dan nantinya manfaat pembangunan dapat dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat. Penyadaran itulah yang mula-mula diberikan
kepada masyarakat serta aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke. Aparat
pemerintah desa dilatih tentang manajemen pengelolaan desa yang baik,
masyarakat didorong untuk lebih aktif terlibat dalam pengawasan. Dalam tiga
tahun belakangan ini hal tersebut sudah bisa berjalan, walaupun masih perlu
terus ditingkatkan.
Kini
Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) di lima desa di Kepulauan
Tanakeke tidak sepi lagi seperti dulu. Masyarakat diizinkan, bahkan diundang
untuk datang memberikan masukan dalam pengelolaan dana desa. Apalagi saat ini
desa mengelola dana yang cukup besar setelah Undang-Undang Desa mulai berlaku.
Masyarakat dan aparat pemerintah desa harus menyadari bahwa pengelolaan dan
pengawasan penggunaan dana desa haruslah berjalan dengan baik. Jika tidak
begitu, manfaat tidak akan didapatkan dan bisa saja akan terjadi penyalahgunaan
anggaran.
Selain
itu perspektif pembangunan desa yang lebih peka gender juga sudah mulai
terlihat. Misalnya pembangunan beberapa fasilitas umum diharuskan memenuhi
kebutuhan yang setara antara perempuan dan laki-laki. Dorongan untuk
menyekolahkan anak minimal hingga SMA terus dilakukan di semua desa. Bahkan di
Desa Maccini Baji dan Desa Tompo Tana, aparat pemerintah desa melarang
perkawinan di bawah umur untuk menghindarkan anak-anak pada dampak buruk di
usia dini.
Alokasi
Dana Desa yang cukup besar tidak hanya diperuntukan untuk pembangunan fisik
saja, tetapi juga untuk pembangunan kapasitas masyarakat. Masyarakat yang rentan
secara ekonomi diberikan pelatihan berwirausaha dengan jalan memanfaatkan
potensi lokal Kepulauan Tanakeke. Hal ini dilakukan untuk melepaskan masyarakat
dari praktek Punggawa-Sawi (semacam
praktek rentenir yang berlaku di wilayah pesisir Sulawesi Selatan) yang sangat
memberatkan masyarakat. Kesemua hal tersebut dilakukan semata untuk
mendistribusikan manfaat pembangunan yang lebih adil.
Secara
perlahan kini masyarakat Kepulauan Tanakeke terus membangun kapasitas pengetahuan
tentang pengelolaan desa mereka. Karena pengetahuan adalah gerbang menuju
kesejahteraan dan portal penghalang bagi terjadinya penyalahgunaan dan tindak
pidana korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar