Salah satu kampung yang menjadi daerah dampingan Lorentz Lowland
Landscape LESTARI saat ini adalah Kampung Nayaro yang terletak di Distrik
Mimika Baru, kabupaten Mimika, Papua. Kampung ini merupakan salah satu kampung
yang masuk dalam wilayah konsesi PT. Freeport Indonesia (PTFI). Jaraknya cukup
dekat dari Kota Timika. Namun dibutuhkan waktu sekitar satu setengah hingga dua
jam perjalanan dengan bus untuk sampai kampung ini. Dari Kota Timika, kita
harus menuju arah utara kemudian menyeberangi Sungai Otomona yang dijadikan daerah
aliran tailing atau material sisa
pasir tambang PTFI, lalu memutar kembali ke arah selatan, sebelum sampai di
daerah pemukiman Kampung Nayaro. Untuk memudahkan akses masyarakat, PTFI menyediakan
dua buah bus yang setiap hari mengantar masyarakat keluar masuk kampung.
Wilayah Kampung Nayaro yang dimilki secara adat oleh masyarakat Suku
Kamoro membentang mulai dari pesisir selatan Papua sampai daerah dataran tinggi
di Mile 50 PTFI. Letaknya sangat penting karena berbatasan langsung dengan
Sungai Otomona yang menjadi daerah aliran tailing
PTFI juga dengan Taman Nasional Lorentz di sebelah timur. Jadi, walaupun
belum ditetapkan, Kampung Nayaro dapat dikatakan merupakan daerah penyangga (buffer zone) bagi Taman Nasional Lorentz
di bagian dataran rendah hingga pesisir. Terjaganya kualitas alam Kampung
Nayaro berarti kabar baik bagi kelestarian Taman Nasional Lorentz. Sebaliknya,
degradasi kawasan yang terjadi di Kampung Nayaro merupakan ancaman bagi
keberlangsungan taman nasional terluas di Asia Tenggara tersebut.
Letaknya yang strategis dan kualitas alam yang masih baik membuat
program LESTARI memilih Kampung Nayaro menjadi salah satu daerah dampingan.
Menurut hasil kajian resilian (resilience
assessment) yang LESTARI lakukan pada tahun 2016, sistem ekologi Kampung
Nayaro masih dalam fase konservatif. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi alam di
kampung ini masih terjaga dengan baik. Hutannya yang masih alami dimanfaatkan
secara tradisional oleh masyarakat untuk pemenuhan pangan dan ekonomi keluarga.
Dengan kondisi alam Kampung Nayaro yang masih konservatif, kajian
resilian kemudian merekomendasikan intervensi yang sifatnya membangun atau
mempertahankan ketahanan. Dirancang kemudian dua kegiatan aksi, yaitu,
Fasilitasi dan Pendampingan Masyarakat untuk Pengelolaan Hutan dan Lahan Secara
Berkelanjutan serta Penguatan dan Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat. Kedua
kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam. selain itu, melalui proses inventarisasi
masyarakat hukum adat, diidentifikasi pula kelembagaan adat serta nilai-nilai
kearifan masyarakat dalam memanfaatkan alam secara turun-temurun.
Pemetaan partisipatif dengan melibatkan seluruh
unsur masyarakat Kampung Nayaro juga dilakukan dalam rangkaian dua kegiatan
tersebut. Lokasi-lokasi penting masyarakat dimasukkan di dalam sketsa peta
wilayah kampung, mulai dari dusun sagu (wilayah hutan tempat mencari makan),
tempat berburu, lokasi pemukiman, sampai yang paling penting, tempat-tempat
keramat. Tempat keramat adalah suatu wilayah yang dilindungi secara khusus oleh
masyarakat adat di Kampung Nayaro. Menurut Kepala Suku Kampung Nayaro, Paulinus
Yamiro, lokasi yang ditetapkan sebagai tempat keramat merupakan lokasi-lokasi
yang menjadi bagian dari sejarah leluhur mereka di masa lalu, seperti kampung
lama dan pemakaman. “Tempat keramat ini tidak boleh diganggu. Ini bagian dari
sejarah kami. Kalau tempat keramat rusak leluhur bisa marah, kita bisa celaka,”
kata Paulus Yamiro dalam pertemuan yang dilakukan di Kampung Nayaro.
Dalam peta partisipatif Kampung Nayaro, masyarakat juga membagi wilayah
mereka dalam beberapa zonasi tradisional. Dari penyusunan tersebut dihasilkan
enam wilayah zonasi tradisional Kampung Nayaro: Zonasi Lindung Kaki Gunung,
Zonasi Lindung Keramat Sejarah, Zonasi Pemanfaatan Kayu, Zonasi Pemanfaatn
Pemukiman, Zonasi Pemanfaatan Perikanan, Zonasi Pemanfaatan Sagu dan Berburu. Penyusunan
zonasi tradisional ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian
masyarakat Kampung Nayaro dalam mengelola sumber daya alam sesuai dengan
peruntukannya.
“Peta dan zonasi (tradisional) ini sangat membantu kami di dalam
kampung. Ini bisa dipakai untuk menyatukan pemahaman masyarakat dalam mengelola
alam dengan lestari. Orang-orang tidak boleh lagi melepas tanah sembarangan,” kata
Samuel Betaubun, tokoh pemuda Kampung Nayaro.
Pada bulan Mei 2017, kedua kegiatan pendampingan di Kampung Nayaro tersebut
telah memasuki proses akhir. Dalam pertemuan yang berjalan beberapa bulan
dihasilkan dokumen Rencana Pengelolaan Sumber Daya Alam (RPSDA) serta profil
masyarakat hukum adat Kampung Nayaro. Dokumen RPSDA berisi gambaran situasi
kampung (sejarah dan wilayah kampung), potensi, serta kelembagaan dan peluang
kemitraan. Sementara profil masyarakat hukum adat menyediakan informasi tentang
kelembagaan adat serta nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kampung Nayaro
dalam memanfaatkan alam. Kedua dokumen ini nantinya dapat dipakai oleh Kampung
Nayaro sebagai bahan advokasi dalam menyusun program lanjutan di dalam kampung.
Dari lima kampung yang LESTARI dampingi di Mimika dan Asmat, saat ini Kampung
Nayaro menjadi prioritas dalam program collaborative
management. Konsep co-management merupakan
suatu proses yang bertujuan
mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan,
melaksanakan,
hingga mengevalusi program di suatu wilayah. Selain masyarakat kampung, pihak pemerintah dan swasta sebagai stakeholder utama di Kampung Nayaro juga
diharapkan pro aktif dalam menjaga kelestarian sumber daya alam sekaligus
menjamin kesejahteraan masyarakat. Tentu saja dibutuhkan keinginan untuk saling
berkolaborasi dalam kedudukan yang setara untuk mewujudkan hal tersebut.
Dengan peran penting yang diemban Kampung Nayaro
sebagai benteng pertahanan Taman Nasional Lorentz, sudah seharusnya semua pihak
mengambil peran dalam menjaga kelestariannya. Segala potensi juga ancaman bagi
keberlangsungan hutan di wilayah kampung ini haruslah dikelola bersama. Alam
dan masyarakat dengan segala kearifannya tentu tidak bisa bertahan sendirian dari
bahaya kerusakan. Dibutuhkan dukungan dari para pemangku kepentingan lainnya
untuk memastikan ruang hidup masyarakat Nayaro ini tetap lestari.