Oleh: Nurcholish Madjid (2 Januari 1970)
Pendahuluan
Dorongan untuk membahas masalah
tersebut dalam judul ialah konstatasi bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini
mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran
Islam, dan kehilangan psychological
striking force dalam perjuangannya.
Sebuah dilema segera dihadapkan kepada
umat Islam: apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam dirinya dengan
merugikan integrasi yang selama ini didambakan, ataukah akan mempertahankan
dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu sekalipun dengan akibat
keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnya kekuatan-kekuatan moril
yang ampuh?
Tidak bisa disatukannya
(incompatibilitas) antara keharusan pembaruan dan integrasi ialah kenyataan
bahwa bila suatu inisiatif pembaruan telah diambil oleh sebagian umat maka
sebagian yang lain akan mengadakan reaksi kepadanya. Berkali-kali sejarah telah
menunjukkan kebenaran hal itu.
Islam Yes, Partai Islam No?
Salah satu kenyataan yang
menggembirakan tentang Islam di Indonesia dewasa ini ialah perkembangannya yang
pesat, terutama dari segi jumlah pengikut (formil). Daerah-daerah yang
dahulunya tidak mengenal agama ini sekarang mengenalnya, malahan menjadikannya
sebagai agama utama bagi penduduknya di samping agama lainnya yang telah ada
sebelumnya.
Dan kalangan dari tingkat sosial yang
lebih tinggi sekarang ini semakin menunjukkan perhatiannya kepada Islam; jika
tidak mengamalkan sendiri, setidak-tidaknya demikianlah dalam sikap-sikap resmi
mereka. Tetapi sebuah pertanyaan dari pihak kita tetap meminta jawaban, yaitu
sampai di manakah perkembangan itu akibat dari pada daya tarik yang jujur dari
pada ide-ide Islam yang dikemukakan oleh para pemimpinnya, lisan maupun
tulisan?
Ataukah perkembangan kuantitatif Islam
itu dapat dinilai sebagai tidak lebih daripada gejala adaptasi sosial karena
perkembangan politik di tanah air akhir-akhir ini, yaitu kalahnya kaum komunis
yang memberikan kesan kemenangan di pihak Islam? (Dan adaptasi sosial ini juga
telah terjadi di zaman orde lama, sebab Presiden Soekarno pada waktu itu selalu
dengan penuh kegairahan menunjukkan interesnya kepada Islam, juga kepada
ideologi Marxisme apa pun dugaan orang tentang motif yang ada di belakangnya).
Jawaban atas pertanyaan itu mungkin
dapat diketemukan dengan meletakkan pertanyaan berikutnya: sampai di manakah
mereka tertarik kepada partai-partai dan organisasi-organisasi Islam? Kecuali
sedikit saja, sudah terang mereka sama sekali tidak tertarik kepada
partai-partai/organisasi-organisasi Islam. Sehingga perumusan sikap mereka
kira-kira berbunyi: Islam yes, partai Islam No! Jadi jika partai-partai Islam
merupakan wadah daripada ide- ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam,
maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik.
Dengan perkataan lain ide-ide dan pemikiran-pemikiran
itu sekarang sedang menjadi obsolete
memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi bahwa partai-partai Islam itu
tidak berhasil membangun image yang positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image yang sebaliknya.
(Reputasi sebahagian umat Islam di bidang korupsi umpamanya makin lama makin
menanjak).
Kuantitas versus Kualitas
Satu hal yang biasanya dianggap dengan
sendirinya benar ialah bahwa mutu lebih penting daripada jumlah. Tapi justru
umat Islam Indonesia sekarang ini melakukan yang sebaliknya; lebih mementingkan
jumlah dari pada mutu.
Tidak dapat disangkal bahwa persatuan
lebih menjamin tercapainya tujuan-tujuan perjuangan daripada pertahanan. Tetapi
dapatkah persatuan itu terwujud secara dinamis dan menjadi kekuatan dinamis
jika tidak didasari oleh ide-ide yang dinamis pula? (Tidak ada
tindakan-tindakan yang revolusioner tanpa teori-teori revolusioner. Lenin).
Betapa pun juga dinamika lebih
menentukan daripada statisme, sekalipun yang terakhir ini meliputi jumlah
manusia yang besar. Kelumpuhan umat Islam akhir-akhir ini antara lain
disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka cukup rapat menutup mata dari
cacat-cacat yang menempel pada tubuhnya yang mengharuskan adanya gerakan
pembaharuan ide-ide guna dapat menghilangkannya.
Liberalisasi Pandangan Terhadap Ajaran
Islam Sekarang
Jika kita telah sampai kepada
keputusan hendak melaksanakan pembaruan di kalangan umat, dari manakah kita
hendak memulainya? Dalam hubungan dengan masalah ini dapatlah dikemukakan
sebuah ungkapan Andre Beufre: Our
traditional line of thought must go overboard, for it is now far more important
to be able to look ahead than to have larger scale of force whose effectiveness
is problematical. (Garis-garis pemikiran kita yang tradisional
harus dibuang jauh-jauh sebab sekarang ini jauh lebih penting mempunyai
kemampuan melihat ke depan daripada mempunyai kekuatan dengan ukuran besar yang
daya gunanya masih harus dipersoalkan).
Peringatan bahwa suatu kelompok kecil
dapat mengalahkan kelompok yang besar menandaskan lebih pentingnya dinamika
dari pada kuantitas. Sudah tentu yang lebih baik ialah kombinasi keduanya.
Tetapi jika tidak mungkin maka pilihan
harus dijatuhkan kepada salah satu di antara keduanya, dan itu haruslah
dinamika. Dari ungkapan tersebut kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan
harus dimulai dengan dua tindakan yang satu sama lainnya erat berhubungan,
yaitu melepaskan diri dari pada nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai
yang berorientasi kepada masa depan.
Nostalgia atau orientasi dan kerinduan
masa lampau yang berlebihan harus digantikan dengan pandangan ke masa depan.
Untuk itu diperlukan suatu proses yang untuk mudahnya kita namakan proses
liberalisasi. Proses ini dikenakan terhadap ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan Islam yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut
proses-proses lainnya.
Sekularisasi
Dengan sekularisasi tidaklah
dimaksudkan penerapan sekularisme, sebab, secularism
is the name of an ideology, a new closed world view which functions very much
like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah setiap
bentuk liberating development.
Proses pembebasan ini terutama
diperlukan karena umat Islam, akibat daripada perjalanan sejarahnya sendiri,
tidak sanggup lagi membedakan di antara nilai-nilai yang disangkanya Islamis
itu mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan hirarki nilai itu
sering dalam keadaan terbalik, transendental menjadi temporal dan sebalikny a
atau menjadi transendental semuanya, bernilai ukhrowi tanpa kecuali. Sekalipun
mungkin mereka tidak mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun
sikap itu tercermin dalam tindakan-tindakan mereka sehari-hari.
Akibat dari hal itu, sudah maklum,
cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi dan menjadi Islamis sederajat
dengan menjadi tradisionalis.
Karena pembelaan Islam menjadi sama
dengan pembelaan tradisional inilah maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam
adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kacamata hirarki nilai di
kalangan kaum Muslimin telah membikinnya tidak sanggup mengadakan respon yang
wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.
Jadi dengan sekularisasi tidaklah
dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi kaum
sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah
semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrawikannya.
Dengan demikian kesediaan mental untuk
selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan
kenyataan-kenyataan, materiil, moril maupun historis menjadi sifat kaum
Muslimin.
Lebih lanjut dengan sekularisasi
dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai Khalifah
Allah di bumi. Fungsi sebagai Khalifah Allah itu memberikan ruangan bagi adanya
kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan
tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan
sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggungjawab manusia atas
perbuatan-perbuatan itu di hadapan Tuhan.
Tetapi apa yang terjadi sekarang ialah
bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini, sehingga mengesankan
seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak berbuat dan salah. Dengan
kata-kata lain mereka telah kehilangan semangat ijtihad.
Sebenarnya pandangan yang wajar dan
menurut apa adanya kepada dunia dan masalah-masalahnya harus dipunyai oleh
seorang Muslim secara otomatis, sebagai konsekuensi yang logis daripada
Tauhied. Pemutlakkan transendensi semata-mata kepada Tuhan sebenarnya harus
melahirkan desakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan yaitu dunia dan
masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya.
Sebab sakralisasi kepada sesuatu
selain Tuhan itulah pada hakikatnya apa yang dinamakannya syirik, lawan tauhid.
Maka sekularisasi itu sekarang memperoleh maknanya yang kongkret, yaitu
desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat
Ilaahy (transendental), yaitu dunia ini.
Yang dikenakan proses desakralisasi
itu ialah segala objek duniawi, moril maupun materiil. Termasuk objek duniawi
yang bersifat moril ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat materil ialah
benda-benda.
Maka jika terdapat ungkapan Islam is Bolsjewism plus god (Iqbal),
salah satu pengertiannya ialah bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan
masalah-masalahnya adalah sama dengan komunis (realistis, dilihat menurut apa
adanya, tidak mengadakan penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai oleh
objek itu), hanya saja Islam mengatakan adanya sesuatu yang transendental,
yaitu Allah.
Justru Islam meletakkan pandangan
dunia (weltanschauung) dalam hubungannya antara alam dan Tuhan itu sedemikian
rupa, sehingga wajar bagaikan badan dengan kepala di atas dan kaki di bawah
(istilah Marx). Artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam
dan tidak sebaliknya seperti pada ajaran matrialisme dialektika.
Intellectual Freedom atau Kebebasan
Berfikir
Salah satu balai pendidikan Islam yang
liberal, yaitu Balai Pendidikan Darussalam di Gontor, Ponorogo (Jawa Timur)
mencantumkan sebagai motonya berfikir bebas, setelah berbudi tinggi, berbadan
sehat dan berpengetahuan luas. Di antara kebebasan-kebebasan perorangan,
kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat adalah yang paling berharga.
Seharusnya kita mempunyai kemantapan
kepercayaan bahwa semua bentuk fikiran dan ide, betapapun anehnya kedengaran di
telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang dari
pikiran-pikiran dan ide-ide itu yang umumnya semula dikira salah dan palsu,
ternyata kemudian benar.
Kenyataan itu merupakan pengalaman
dari setiap gerakan pembaruan, perorangan maupun organisasi, di mana saja di
muka bumi ini. Selanjutnya di dalam pertentangan pikiran-pikiran, ide-ide,
kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan
mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat.
Agaknya tidaklah sama sekali omong
kosong bila Nabi kita menyatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umatnya
merupakan rahmat. Kebebasan berfikir ini dengan baik sekali diterangkan oleh OW
Holmes ketika dia mengatakan:
The ultimate good desire is better
reached by free trades in indeas that the best test of truth is the power of
thought to get itself accepted competition of the market, and that truth is the
only ground upon which their wishes safely can be carried out. (kebaikan terakhir yang dikehendaki
adalah lebih baik dicapai melalui perdagangan-perdagangan bebas dalam ide-ide.
Bahwa sebaik-baiknya ujian bagi suatu kebenaran ialah kekalutan fikiran untuk
membuat dirinya dapat diterima dalam kompetisi pasar, dan bahwa kebenaran
adalah satu-satunya landasan di atas mana keinginan-keinginan mereka dengan
selamat dapat dilaksanakan).
Karena tiadanya pikiran-pikiran yang
segar kita telah kehilangan apa yang dikemukakan di muka, yaitu psychological striking force (kekuatan
maknawi yang ampuh), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran yang bebas yang
memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari pada
kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik,
maupun sosial.
Walaupun begitu masih harus diakui
bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat menyelesaikan
problema-problema itu sebaik-baiknya jika dipersesuaikan, dipersegar,
diperbaharui, dan diorganisir (dikoordinir) untuk membuat ide-ide sejalan
dengan kenyataan zaman sekarang.
Sebagai contoh ajaran tentang syura
atau musyawarah umpamanya, telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai
sama atau dekat dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat itu. Tetapi di
pihak lain ajaran prinsipil Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan kaum
lemah, miskin dan tertindas yang terdapat di mana-mana dalam kitab suci belum
menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya
yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam nampaknya masih tabu terhadap
kata-kata sosialisme, yaitu ide yang seperti halnya dengan demokrasi juga berasal
dari Barat dan kira-kira sama artinya dengan pokok-pokok ide Islam tersebut.
Halangan psychologis apakah yang ada
pada umat Islam jika karena bukan ketiadaan kebebasan berfikir? Karenanya
kemudian umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif dalam
perkembangan masyarakat duniawi ini, dan inisiatif-inisiatif selalu direbut
oleh orang lain, sehingga posisi-posisi strategis di bidang pemikiran dan ide
berada di tangan mereka, kemudian Islam di-excludekan dari padanya.
Sebenarnya penting untuk diketahui
bahwa persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer seseorang merebut posisi
di medan pertempuran dan dengan begitu menghalangi musuh untuk mendudukinya,
maka dalam percaturan politik yang maknawi itu mungkin saja untuk merebut
posisi-posisi abstrak dan mempertahankannya jangan sampai jatuh ke tangan musuh
atau orang lain.
Dalam hal inilah kita melihat
kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu sekali lagi akibat dari pada
tiadanya kebebasan berfikir, kacaunya hirarki antara nilai-nilai mana yang
ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berfikir yang masih terlalu tebal
diliputi oleh tabu dan apriori dan sebagainya.
Idea of Progress dan Sikap Terbuka
Sebenarnya jika seorang Muslim itu
benar-benar konsisten dengan ajarannya, maka nilai Idea of Progress sebagamana
nilai-nilai kebenaran lainnya tidak perlu lagi dikemukakan, sebabnya sebenarnya
telah ada padanya.
Idea of progress bertitik tolak dari
pada konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan
cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan Allah dalam fitnah dan
berwatak hanief).
Oleh sebab itu salah satu manifestasi
tentang adanya idea of progress ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam
perjalanan sejarahnya. Maka tidak perlu lagi khawatir akan perobahan-perobahan
yang selalu terjadi pada tata nilai duniawi manusia. Sebetulnya sikap
reaksioner dan tertutup terbit dari rasa pesimis terhadap sejarah.
Oleh karena itu konsistensi idea of
progress ialah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan menerima dan
mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja asalkan mengandung kebenaran.
Jadi, sejalan dengan intellectual freedom tersebut duluan itu.
Kita harus bersedia mendengarkan
perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin kemudian
memilih di antaranya mana yang menurut ukuran-ukuran objektif mengandung kebenaran.
Adalah sulit sekali untuk dimengerti bahwa justru umat Islam sekarang lebih
banyak bersifat tertutup dalam sikap mentalnya, padahal kitab suci mereka
menegaskan bahwa mereka harus mendengarkan ide-ide dan mengikutinya mana yang
paling baik.
Dan bahwa sikap terbuka adalah
tanda-tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari pada Allah, sedangkan
sikap tertutup sehingga berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak
ke langit merupakan tanda-tanda kesesatan!
Jika memang Islam itu bukan kebudayaan
dan bukan pula peradaban melainkan dasar dari pada, maka kebudayaan dan
peradaban Islam sendiri kemanakah hendaknya dicari bahan-bahannya untuk
membangunnya jika tidak dari seluruh muka bumi berupa warisan-warisan
kemanusiaan yang universal. Sejarah memberikan kesaksian tak terbantah akan hal
itu.
Umat Islam keluar dari Jazirah Arabia
tidak mempunyai apa-apa kecuali iman yang teguh yang memancar dari Al- Quran
dan Sunnah (asar). Kemudian di daerah-daerah yang baru mereka taklukkan mereka
menemukan warisan- warisan manusia baik dari Barat (Yunani, Romawi), maupun
dari Timur (Persi).
Kemudian mereka mengembangkan
warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang mereka bawa dari padang
pasir Jazirah Arab dan menjadikannya sebagai milik sendiri. Karya mereka itulah
yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sekarang sebagai kebudayaan dan
peradaban Islam yang dibanggakan?
Diperlukan Kelompok Pembaru yang
Liberal
Di atas pentas sejarah, baik Indonesia
maupun dunia, telah tampil gerakan-gerakan pembaruan. Di Indonesia kita
mengenal organisasi-organisasi dengan aspirasi-aspirasi pembaruan seperti
Muhammadiyah, Al-Irsad, dan Persis. Tetapi sejarah mencatat pula dan harus kita
akui dengan jujur bahwa mereka itu sekarang telah berhenti sebagai pembaru-pembaru.
Mengapa?
Sebab mereka pada akhirnya telah
menjadi beku sendiri, karena mereka agaknya tidak sanggup menangkap semangat
dari pada ide pembaruan itu sendiri yaitu dinamika dan progresifitas.
Sebaliknya organisasi-organisasi yang oleh sejarah dicatat sebagai
organisasi-organisasi kontra reformasi seperti NU, Al-Washliyah, PUI dan
lain-lain, ternyata sekarang telah melakukan sendiri dan menerima nilai-nilai
yang dulunya menjadi hak monopoli kaum pembaru sekalipun sikap mereka ini
adalah karena desakan hukum sejarah yang tak terhindarkan, dan mereka
mengambilnya tidak cukup serius atau tidak secara formil menerimanya sebagai
pandangan prinsipil.
Akibatnya ialah keadaan stagnant yang
secara menyeluruh menimpa umat sekarang ini: Organisasi-organisasi Islam yang
pada didirikannya bersikap anti-tradisi dan sektarianisme sekarang telah
menjadi tradisionalis dan sektarianis sendiri. Sedangkan organisasi lainnya
yang semula menolak nilai-nilai baru, sekarang menerimanya, namun tidak pernah
terniat menjadikannya sikap hidup yang prinsipil.
Oleh karena itu diperlukan adanya
suatu kelompok pembaruan Islam baru yang liberal. Tentang arti kata liberal
telah dikemukakan di depan. Tetapi kata-kata itu mempunyai implikasinya lebih
lanjut sebagai konsekuensi logisnya, yaitu non-tradisionalisme dan
non-sektarianisme.
Maka di sini dituntut adanya kemampuan
dan keberanian untuk setiap waktu meninjau kembali nilai kelompok (sekte).
Sekali lagi, nilai-nilai itu pun tidak perlu dikemukakan lagi seandainya umat
Islam konsisten dengan ajaran- ajaran sendiri.
Sebab non-tradisionalisme tidak lain
ialah kebalikan dari pada sikap kami mendapatkan bapak-bapak kami berjalan di
atas suatu tata nilai dan di atas warisan-warisan mereka itulah kami memperoleh
petunjuk. Sedangkan non- sektarianisme adalah kebalikan dari pada sikap setiap
golongan bangga dengan apa yang ada padanya, yang kedua- duanya dicela keras di
dalam kitab suci.
Kembali kepada apa yang telah
disinggung di muka, sebenarnya nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai yang
dinamis, bukan statis. Selain daripada dasar-dasar kepercayaan (di mana yang
terpenting ialah kepada Allah) dan pokok- pokok ibadat, serta beberapa nilai
kemasyarakatan yang sangat prinsipil dan nampak tidak berobah sepanjang masa,
Islam tidak memberikan perumusan-perumusan yang menyangkut kegiatan-kegiatan
duniawi secara definitif.
Kecuali nilai-nilai dasar yaitu rasa
taqwa yang terbit dari iman kepada Allah dan ibadah kepadanya, tidak ada nilai-
nilai yang tetap. Nilai-nilai itu ialah nilai-nilai budaya yang harus
berkembang terus sesuai dengan hukum perobahan dan perkembangan (segala sesuatu
selain Allah itu rusak atau berobah).
Oleh karena itu nilai-nilai Islam
ialah setiap nilai yang sejalan dengan kemanusiaan atau (fitri) atau hanief
dengan dilandasi taqwa kepada Allah. Nilai-nilai itu Islamis apabila ia secara
asasi tidak bertentangan dengan iman dan taqwa, dan ia itu baik menurut
kemanusiaan sesuai dengan perkembangannya.
Sekarang, perjuangan memperbaiki nasib
umat manusia bukanlah menjadi milik monopoli umat Islam. Seluruh umat manusia
dengan mempertaruhkan ration atau akal fikiran yang ada padanya, telah terlibat
dalam percobaan- percobaan menemukan cara-cara yang terbaik bagi perbaikan
kehidupan manusia kolektif.
Pikiran-pikiran itu pada zaman modern
ini diketemukan pernyataannya dalam istilah-istilah yang sekarang banyak
terdengar, seperti: demokrasi, sosialisme, kerakyatan, komunisme, dan
lain-lain.
Pikiran-pikiran itu betapa pun
salahnya kelak ternyata dari sejarah, adalah merupakan puncak-puncak pemikiran
manusia tentang kehidupan dirinya sendiri di dalam bermasyarakat, sebagai hasil
penelahaan gejala sosial dan historis yang realistis dan penuh keuletan
berpikir.
Sekarang kita harus belajar
menggunakan pikiran-pikiran itu yang terbaik menurut ukuran prinsip-prinsip
Islam dan mengusahakan perkembangan selanjutnya dengan realisme yang sama dan
ketekunan berfikir yang sama. Inilah hakikat makna ijtihad atau pembaruan yang
kita kehendaki.
Oleh karena itu, ijtihad atau
pembaruan haruslah merupakan proses terus menerus dari pada pemikiran yang
orisinil, berlandaskan penilaian kepada gejala-gejala sosial dan sejarah yang
sewaktu-waktu harus ditinjau kembali benar- benar salahnya. Ijtihad merupakan
suatu proses, di mana kesalahan pengertian akan masalah-masalahnya akan
mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan. Sungguhpun demikian, itupun
masih lebih ringan dari pada beban stagnasi sosial sejarah akibat tidak adanya
pembaruan.
Oleh karena itu tidak mungkin terjadi
ijtihad dan pembaruan yang berarti jika kita tidak mempunyai organisasi-
organisasi penelitian dengan dasar yang kuat, jika kita tidak mempunyai metode
yang unggul untuk menganalisa situasi apa pun dan jika kita tidak mempunyai
pengetahuan yang tepat tentang perkembangan-perkembangan kemajuan kemanusiaan
dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh penemuan-penemuan baru di tiap
bidang, baik sosial maupun alam. Rasanya kita masih jauh dari keadaan yang
menyenangkan itu.
Dapat disimpulkan bahwa pekerjaan
pembaruan adalah pekerjaan mereka dari kalangan masyarakat yang mempunyai
kemampuan sebesar-besarnya untuk mengerti dan berfikir. Dengan kata-kata lain,
pekerjaan dari kaum terpelajar. Maka tanggung jawab kaum terpelajar sungguh
besar dan berat, di hadapan umat manusia dan sejarah ini dan di hadapan Tuhan
kelak kemudian hari (di akhirat).
Untuk pekerjaan besar itu kiranya
organisasi-organisasi keilmuan yang terbesar di kalangan umat Islam, yaitu
Persami, HMI, dan PII, disertai GPI dapat merintis, memelopori dan melaksanakan
dalam suatu bentuk hubungan yang lebih kokoh dan terkoordinir, tanpa melupakan
unsur-unsur liberal lainnya dari setiap kelompok Islam yang ada.