Senin, 09 April 2012

Tentang Kesetian

Hari Sabtu yang lalu, Romi, seorang senior di asrama, begitu bersemangat untuk menonton highlight Liga Italia di Indosiar. Tebak saya: ini pasti karena di pertandingan terakhir Inter Milan, klub sepakbola kesangannya berhasil menang dengan banyak gol. Ya, Romi adalah seorang Interisti (sebutan untuk para penggemar Inter Milan). Akunya, ia telah menjadi seorang Interisti sejak tahun 2001. Ketika saya bertanya mengapa ia masih cinta Inter dengan prestasinya yang sedang hancur-hancuran musim ini, dengan mantap ia menjawab: "Disinilah arti kesetian itu diuji."

Sebagai sesama penyuka klub Lega Calcio, saya senasib dengan Romi. Klub kesayangan saya, AS Roma juga sedang terpuruk musim ini. Jangankan Scudetto, masuk ke zona Liga Champions saja berat. Kedatangan pemilik baru juga pelatih baru musim ini tak membawa perubahan yang berarti. Walau begitu, jangan harap saya mau melepas status saya sebagai seorang Romanisti. Bagi saya, berhenti jadi Romanisti sama berdosanya dengan murtad dalam Islam.

Saya masih ingat perkenalan pertama saya dengan AS Roma. Sekitar tahun 2000, seperti kebanyakan anak laki-laki lainnya saya mulai kecanduan sepakbola. Tidak hanya memainkannya, saya juga tak ketinggalan untuk menonton setiap pertandingan sepakbola melalui saluran TV. Kesukaan saya waktu itu adalah Liga Italia Serie A. Semua juga tahu, waktu itu Liga Italia adalah liga sepakbola nomor wahid di dunia, mengalahkan Liga Premier Inggris dan La Liga Spanyol tentunya. RCTI sebagai TV swasta terbaik di Indonesia, senantiasa menayangkannya setiap akhir pekan, terkadang di tengah pekan.

Untuk masalah klub, saya menjatuhkan pilihan saya pada klub ibukota, AS Roma. Bukan tanpa alasan. AS Roma tengah berbenah kala itu. Gabriel Batistuta, penyerang paling berbahaya kala itu, didatangkan dari Fiorentina. Fabio Capello yang telah terbukti sukses menangani klub-klub besar pun dipertahankan sebagai pelatih. Mungkin ini adalah tindakan yang timbul dari rasa cemburu karena Lazio, seteru sesama kota, meraih gelar Scudetto pada kompetisi jilid sebelumnya.

Pembenahan sana-sini membuat performa Roma meningkat tajam. Capello pintar betul membangun tim ini. Ia tinggalkan skema klasik 4-4-2 dan mulai membangun taktik baru yang awalnya dianggap aneh: 5-2-1-2. Formasi ini diragukan di awal. Ia dianggap rapuh, karena menumpuk lima bek sekaligus dan hanya menempatkan dua gelandang murni. Tapi hasil berkata lain. Roma berbuat banyak di tengah kepungan klub-klub besar klub Lega Calcio lainnya saat itu: Juventus, AC Milan, Inter Milan, Lazio dan Parma.

Skema 5-2-1-2 ala Capello: Aneh tapi dahsyat
Antonioli mantap di bawah mistar gawang. Trio bek Samuel-Aldair-Zebina sulit ditembus. Sepasang sayap Candella dan Cafu berperan ganda: penyokong pertahanan yang baik sekaligus menjadi pendukung serangan yang mumpuni. Emerson dan Tomassi menjadi penyeimbang yang sempurna. Dan, ini dia senjata paling mematikan Roma saat itu: Tridente Totti-Batistuta-Montella. Capello menemukan posisi baru bagi Totti. Dia yang sebelumnya adalah penyerang murni, ditarik sedikit ke belakang menjadi 'pembantu' bagi duet Batistuta-Montella. Hasilnya, walaupun Totti tidak menjadi pencetak gol terbanyak bagi Roma musim itu, ia menjadi titik sentral permainan tim. Dan di ujung kompetisi Roma berhasil merebut gelar Scudetto yang telah dinanti beberapa dekade.


Begitulah. Tiba-tiba saja ramai orang menyukai Roma saat itu. Termasuk saya dan seorang kawan paling akrab semasa SD, Darwis atau lebih akrab dipanggil Lawe'. Berdua, kami adalah Romanisti berkasta Ultras di sekolah waktu itu. Kala itu, jika ditanya, siapa Romanisti paling merah di SD 018 Karang Rejo? semua telunjuk pasti akan menuju ke arah kami berdua. Dengan sendirinya saya resmi dibaptis menjadi seorang Romanisti mulai saat itu, tahun itu, hingga kini.

Ini Tridente yang memantapkan saya untuk menjadi Romanisti hingga hari ini
Semusim-dua musim berlalu Roma masih bisa bersaing di jalur juara. Tiga musim dan selanjutnya, Roma mulai terseok-seok. Jangankan Scudetto, untuk masuk zona Liga Champions saja selalu sulit. Kondisi naik-turun ini berlanjut hingga musim kompetisi saat ini. Pada kondisi seperti ini, ke-Romanisti-an saya terus diuji. Tapi, entah mengapa saya terlanjur tidak bisa berganti klub kesayangan. Hati ini sudah terlanjur berbentuk Serigala Merah dan mustahil untuk berubah, walau apapun yang terjadi. Berlebihan? Terserah apa kata kalian lah.

Saya kira cinta mati saya kepada AS Roma lahir, tumbuh dan terus berkembang karena rasa yang bernama kesetian. Karena ini masalah kesetiaan, apa sebenarnya parameter untuk mengukur sebuah kesetian? Abstrak ya? Tapi bagi saya mudah saja. Kesetian, bagi saya bukan lahir dari 'seberapa kencang kau bersorak ketika klub yang kau bela meraih kemenangan ataupun gelar juara', atau 'seberapa banyak kemenangan yang kau lalui bersama tim yang kau sokong'. Kesetian yang besar akan teruji dari 'seberapa banyak kekalahan yang dialami oleh klub kesayanganmu, yang dapat kau lalui tanpa ada perasaan untuk meninggalkannya'. Itulah yang terjadi kepada saya, dengan kondisi Roma belakangan ini.

Terkadang saya jengkel dengan orang-orang (banyak di antara mereka adalah teman-teman saya sendiri) yang begitu mudah berganti klub kesayangan. Musim kompetisi yang lalu-lalu mengaku Madridista (sebutan untuk para penggemar Real Madrid), eh belakangan ia beralih menjadi penyokong Barcelona dengan prestasinya yang mentereng belakangan ini. Saya curiga, jika suatu hari nanti, Gijon misalnya, menjadi klub besar, si bunglon ini akan beralih lagi menjadi seorang Gijonista(?). Ah, kacau orang-orang seperti ini. Saya masih respek dengan orang-orang seperti Romi, yang masih terus setia dengan satu klub, apapun kondisinya. Disitulah sesungguhnya letak kenikmatan menjadi seorang suporter klub sepakbola. Seimbang. Terkadang merasakan nikmatnya kemenangan, tentu juga harus mencicipi rasa pahitnya sebuah kekalahan.

Seperti kehidupan saja bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar