Jumat, 29 Maret 2013

Madre yang kehilangan Daya Magisnya

Gambar dipinjam dari sini
Saya kecewa dengan Film Madre!

Sebagai pembaca yang terkagum-kagum dengan keajaiban cerita Madre (versi buku), film ini sungguh gagal memenuhi ekspektasi saya. Jujur saja, film ini sudah masuk dalam agenda-wajib-nonton saya sejak dua minggu yang lalu. Sungguh saya tak berlebihan untuk ini. Cerita yang dibangun oleh Dewi ‘Dee’ Lestari dalam Madre sangat menggoda saya. Bagaimana tidak, tema cerita yang sangat sederhana, yang mungkin tak pernah kita pikirkan, diangkat oleh Dee menjadi rangkaian petualangan imajinasi yang begitu menakjubkan dan tak terduga. Ajaib.

Sebagai pelengkap kekaguman saya dengan cerita Madre (serta beberapa karya Dee lainnya dalam buku tersebut), saya sempat mencatat Madre sebagai buku terbaik yang saya baca sepanjang tahun 2011 di blog ini. Bisa dibaca disini.

Namun apa yang terjadi untuk filmnya? mari saya ceritakan!

Kekecewaan saya sudah dimulai pada awal-awal film. Vino G. Bastian yang memerankan Tansen gagal menghidupkan tokoh sentral dalam film ini. Dialog, mimik juga emosi yang dibangun oleh Vino gagal mewakili penggambaran tentang sosok Tansen yang diceritakan oleh Dee. Vino terlihat seperti aktor pemula dalam film ini.

Didi Petet pun begitu, tak lebih baik dari Vino. Memerankan Pak Hadi, artisan pengawal biang roti Madre sekaligus mentor Tansen dalam membuat roti, kurang menjiwai tokoh ini. Entah lari kemana keajaiban Didi Petet dalam berakting saat itu.

Scene paling mengecewakan dari film ini hadir di bagian awal film. Adegan ketika Tansen pertama kali bertemu dengan Madre menjadi awal dari gelagat kurang menjiwai dari kedua aktor ini, Vino dan Didi Petet. Pun begitu ketika Tansen mulai diajari membuat roti dari biang Madre. Di kedua bagian ini daya magis yang terbangun pada cerita Dee hilang tak bersisa.

Lalu, bagaimana dengan Laura Basuki yang memerankan Mey? Sudah jelas, tokoh ini hanya pemanis dalam film ini. Cerita utama yang saya harapkan, sesuai dengan cerita buatan Dee yang sungguh memesona itu, adalah tentang membuat roti dan kisah memperjuangkan eksistensi toko roti warisan tersebut. Adapun kisah cinta antara Tansen dan Mey hanya menjadi semacam bumbu pelengkap. Tapi yang terjadi di film ini adalah kebalikannya. Penggambaran hubungan cinta Tansen dan Mey mengambil porsi yang begitu banyak, sampai-sampai menengelamkan inti cerita. Sudah begitu, penggambaran romansa yang dibangun bernilai picisan pula.

Scene terburuk selanjutnya, hadir dari akting Vino dan Laura. Begitu banyak bagian yang digunakan untuk menampilkan hubungan Tansen dan Mey. Sebenarnya ada bagian yang juga saya tunggu dari jalinan kedua tokoh ini. Bagaimana Tansen dan Mey melalui beberapa percakapan dengan dialog sederhana namun sungguh filosofis. Favorit saya adalah: “kalau bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” ucap Mey menanggapi gaya hidup Tansen yang begitu bebas. Namun semua itu gagal terbangun, kalau tak mau dibilang tak nampak sama sekali. Di film, semua itu terganti dengan percakapan basa-basi yang tidak lucu diantara keduanya.

Penggambaran cinta picisan antara Tansen dan Mey mencapai puncaknya ketika Tansen menyerahkan Madre kepada Mey yang kemudian berpamitan untuk kembali ke Bali. Adegan bagian ini sungguh murahan menurut saya. Bagaimana keduanya mencoba membuat roti sambil menangis lalu dilanjutkan dengan perpisahan dengan gerakan melambat. Disusul dengan lagu latar dari Afgan (sepertinya) yang juga kurang klop dengan film. Lengkap sudah.

Saya baru saja menonton FTV (bukan film) di sebuah bioskop.

2 komentar:

  1. Brakakakakakak.
    untung aku nda jadi ikut nonton
    kalo nda habis percuma uang buat nonton FTV.
    mendengar cerita dari kakak opu langsung nda tertarik aku nonton Madre
    Alhamdulillah nda jadi buang-buang uang
    haha

    BalasHapus
  2. sepakat! saya sebagai salah satu yang menggilai novelet ini (pun) turut kecewa.

    BalasHapus