Gambar dipinjam dari sini |
Saya kecewa dengan Film Madre!
Sebagai pembaca yang terkagum-kagum dengan
keajaiban cerita Madre (versi buku), film ini sungguh gagal memenuhi
ekspektasi saya. Jujur saja, film ini sudah masuk dalam
agenda-wajib-nonton saya sejak dua minggu yang lalu. Sungguh saya tak
berlebihan untuk ini. Cerita yang dibangun oleh Dewi ‘Dee’ Lestari dalam
Madre sangat menggoda saya. Bagaimana tidak, tema cerita yang sangat
sederhana, yang mungkin tak pernah kita pikirkan, diangkat oleh Dee
menjadi rangkaian petualangan imajinasi yang begitu menakjubkan dan tak
terduga. Ajaib.
Sebagai pelengkap kekaguman saya dengan cerita
Madre (serta beberapa karya Dee lainnya dalam buku tersebut), saya sempat mencatat Madre sebagai buku terbaik yang saya baca sepanjang tahun
2011 di blog ini. Bisa dibaca disini.
Namun apa yang terjadi untuk filmnya? mari saya ceritakan!
Kekecewaan saya sudah dimulai pada awal-awal film.
Vino G. Bastian yang memerankan Tansen gagal menghidupkan tokoh sentral
dalam film ini. Dialog, mimik juga emosi yang dibangun oleh Vino gagal
mewakili penggambaran tentang sosok Tansen yang diceritakan oleh Dee.
Vino terlihat seperti aktor pemula dalam film ini.
Didi Petet pun begitu, tak lebih baik dari Vino.
Memerankan Pak Hadi, artisan pengawal biang roti Madre sekaligus mentor
Tansen dalam membuat roti, kurang menjiwai tokoh ini. Entah lari kemana
keajaiban Didi Petet dalam berakting saat itu.
Scene paling mengecewakan dari film ini
hadir di bagian awal film. Adegan ketika Tansen pertama kali bertemu
dengan Madre menjadi awal dari gelagat kurang menjiwai dari kedua aktor
ini, Vino dan Didi Petet. Pun begitu ketika Tansen mulai diajari membuat
roti dari biang Madre. Di kedua bagian ini daya magis yang terbangun
pada cerita Dee hilang tak bersisa.
Lalu, bagaimana dengan Laura Basuki yang memerankan
Mey? Sudah jelas, tokoh ini hanya pemanis dalam film ini. Cerita utama
yang saya harapkan, sesuai dengan cerita buatan Dee yang
sungguh memesona itu, adalah tentang membuat roti dan kisah
memperjuangkan eksistensi toko roti warisan tersebut. Adapun kisah
cinta antara Tansen dan Mey hanya menjadi semacam bumbu pelengkap. Tapi
yang terjadi di film ini adalah kebalikannya. Penggambaran hubungan
cinta Tansen dan Mey mengambil porsi yang begitu banyak, sampai-sampai
menengelamkan inti cerita. Sudah begitu, penggambaran romansa yang
dibangun bernilai picisan pula.
Scene terburuk selanjutnya, hadir dari
akting Vino dan Laura. Begitu banyak bagian yang digunakan untuk
menampilkan hubungan Tansen dan Mey. Sebenarnya ada bagian yang juga
saya tunggu dari jalinan kedua tokoh ini. Bagaimana Tansen dan Mey
melalui beberapa percakapan dengan dialog sederhana namun sungguh
filosofis. Favorit saya adalah: “kalau bebas sudah jadi keharusan,
sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” ucap Mey menanggapi gaya hidup
Tansen yang begitu bebas. Namun semua itu gagal terbangun, kalau tak mau
dibilang tak nampak sama sekali. Di film, semua itu terganti dengan
percakapan basa-basi yang tidak lucu diantara keduanya.
Penggambaran cinta picisan antara Tansen dan Mey
mencapai puncaknya ketika Tansen menyerahkan Madre kepada Mey yang
kemudian berpamitan untuk kembali ke Bali. Adegan bagian ini sungguh
murahan menurut saya. Bagaimana keduanya mencoba membuat roti sambil
menangis lalu dilanjutkan dengan perpisahan dengan gerakan melambat.
Disusul dengan lagu latar dari Afgan (sepertinya) yang juga kurang klop
dengan film. Lengkap sudah.
Saya baru saja menonton FTV (bukan film) di sebuah bioskop.
Brakakakakakak.
BalasHapusuntung aku nda jadi ikut nonton
kalo nda habis percuma uang buat nonton FTV.
mendengar cerita dari kakak opu langsung nda tertarik aku nonton Madre
Alhamdulillah nda jadi buang-buang uang
haha
sepakat! saya sebagai salah satu yang menggilai novelet ini (pun) turut kecewa.
BalasHapus