Gambar dipinjam dari sini |
"Dan bagi pemerintah, jangan bermimpi ini sudah berakhir. Tahun-tahun akan datang dan pergi, dan para politisi tak berusaha menjadikan dunia tempat yang lebih baik. Tapi di seluruh dunia, muda-mudi akan selalu bermimpi dan mewujudkan mimpinya dalam lagu. Tak ada yang penting yang akan mati malam ini. Hanya beberapa pria jelek di sebuah kapal rongsokan. Satu-satunya yang menyedihkan malam ini adalah beberapa tahun lagi ada banyak lagu indah yang tak bisa kami putar. Tapi, percayalah padaku, lagu-lagu itu akan tetap dibuat. Lagu-lagu itu akan tetap dinyanyikan dan menjadi inspirasi dunia."
Pernah suatu masa Soekarno begitu menjengkelkan bagi para musisi Indonesia. Bagi Putra Sang Fajar ini, kemerdekaan Indonesia yang diraih dengan berdarah-darah harus dimurnikan. Segala sesuatu yang dapat menghalangi jalannya revolusi haruslah disingkirkan. Celakannya, musik yang (katanya) berbau ke-barat-baratan termasuk bentuk kegiatan kontra revolusi. Alhasil, Rock and Roll dilarang beredar, grup Koes Plus diredel, musik mereka tak boleh diperdengarkan sama sekali. Indonesia memasuki masa suram dalam hal musik dan tanpa ikon sama sekali waktu itu.
situasi serupa pernah terjadi di Inggris. Pertengahan 1960-an, dimana menjadi era terpenting bagi perjalanan Rock and Roll di tanah Britania, hadirlah pemerintah menjadi penghadang utama dengan segala peraturan yang serba kaku mereka. Konflik besar itulah yang coba digambarkan dalam film The Boat That Rocked (diproduksi tahun 2009).
Dikisahkan, sebuah radio yang mengudara dari tengah Laut Utara Inggris. Radio Rock, nama yang begitu menggambarkan segmennya, adalah sebuah radio yang menyebarkan frekuensi Rock and Roll lewat sebuah kapal yang cukup besar namun mulai menua. Radio ini mencuat karena momen yang tepat di tahun 1966. Disaat kebanyakan masyarakat mengalami deman Rock and Roll, radio utama Inggris, BBC, tidak memberikan porsi yang cukup bagi jenis musik ini. Saat itulah muda-mudi beralih pada Radio Rock yang memutar Rock and Roll sepanjang hari, 24 jam penuh.
Lebih dari itu semua, nilai tambah Radio Rock adalah persona setiap penyiarnya yang unik dan begitu memukau, sesuai dengan sesi acara mereka masing-masing. Di jajaran itu hadirlah Simon (Chris O’Down) yang mengajak pendengarnya menjadi keren dengan cara sederhana setiap paginya. Ada The Count (Philip Seymour Hoffman) yang menemani pendengarnya untuk menghitung mundur malam hingga capai larut. Lalu ada Mark (Tom Wisdom) yang tak banyak bicara namun selalu dinanti di tengah malam hingga dini hari karena keseksiannya. Juga Bob (Ralph Brown) pria tua berjanggut lebat yang rela mati demi vinyl-vinyl-nya yang senantiasa hadir kala subuh hingga matahari menampakkan diri. Dan yang menjadi terfavorit diantara semuanya adalah Gavin (Rhys Ifans), pria bersuara seksi dengan kelakuan bajingan ala superstar Rock and Roll.
Persona menarik dan selera musik yang menawan membawa Radio Rock mencapai titik puncaknya. Setiap hari mereka dinanti oleh muda-mudi Inggris yang minta diputarkan musik-musik yang hari ini menjadi legendaris semacam The Who, The Kinks, Jimi Hendrix, The Turtles hingga The Beach Boys. kenyataan itu membuat iklan-iklan mengantri untuk masuk.
Di tengah popularitas yang kian meninggi itulah datang pengahadang yang begitu menjengkelkan dari pemerintah. Oleh pemerintah Inggris, Radio Rock dianggap merusak moral pemuda. Alasan lainnya, Rock and Roll merusak tatanan musik klasik yang menjadi favorit kaum tua yang cenderung konservatif. Dibuatlah alasan penghancuran melalui peraturan yang dibuat-buat untuk menghentikan dominasi Rock and Roll, khususnya Radio Rock itu sendiri.
Konflik pada usaha untuk mempertahankan Radio Rock itulah yang menjadikan film ini sangat menarik. Disebutkan bahwa genre dari film ini adalah komedi. Namun bagi saya The Boat That Rocked lebih dari sekedar film komedi. Memang adengan yang ujung-ujungnya menarik urat kelucuan banyak disajikan. Namun pada akhirnya film ini bercerita tentang perjuangan, lebih-lebih bentuk sebuah perlawanan pada kemapanan bernama pemerintah. Banyak bagian emosional pada upaya untuk mempertahankan sesuatu yang memang patut untuk diperjuangkan. Untuk itu, favorit saya adalah bagian ketika Bob yang tetap kekeuh untuk mempertahankan boxset yang berisi piringan hitam kesayangannya, padahal kapal mereka sudah hampir tenggelam. Bagian ini lebih mengharukan daripada adegan Jack dan Ross di film Titanic.
Benarlah apa yang dikatakan oleh The Count, yang sempat saya kutip di bagian pembuka di atas; musik bermutu memang tak akan pernah bisa dihalangi untuk terus dibuat dan akhirnya akan sampai pada pendengarnya. Sekeras apapun usaha bodoh itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar