Gambar dipinjam dari sini |
Kota
Makassar sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan merupakan pusat
segala kegiatan masyarakat di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Bukan hanya
dibidang perekonomian dan perniagaan, Kota Makassar juga menjadi salah
satu pusat pelestarian lingkungan, khususnya lingkungan kawasan pesisir.
Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya Kota Makassar terpilih sebagai
salah satu kawasan pesisir terbesar di dunia. Di awal tahun 2010 yang
lalu, Walikota Makassar diundang untuk mempresentasikan konsep mitigasi dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) pada The 15th session of the Conference of the Parties to the United Nation Framework Convention on Climate Change (COP 15 UNFCCC) di
Kota Kopenhagen, Denmark. Kegiatan ini difasilitasi oleh Kementerian
Iklim Denmark bekerja sama dengan Dewan Teknologi dan Kebudayaan
Denmark.
Terpilihnya
Kota Makassar sebagai salah satu percontohan kawasan pesisir di dunia
tersebut tentu saja menghadirkan beberapa impilkasi. Pertama, pesisir
Kota Makassar akan menjadi pusat perhatian, bukan hanya di Indonesia
tetapi berbagai negara di dunia. Hal tersebut dapat terjadi karena
kawasan pesisir merupakan lahan yang bersifat kompleks. Kawasan pesisir
tidak hanya menjadi tempat hunian bagi masyarakat nelayan tetapi juga
sebagai tempat hidup berbagai makhluk hidup lainnya. Tentu saja hal
tersebut dapat mememberikan manfaat simbiosis mutualisme bagi masyarakat
pesisir maupun lingkungan sekitar jika kawasan pesisir terus dijaga
keseimbangannya.
Selain
itu, kawasan pesisir Kota Makassar yang dijadikan sebagai daerah hutan
lindung akan lebih dikenal oleh negara-negara industri. Kabarnya, hutan
pesisir mulai dilirik negara industri sebagai kawasan yang mampu
menyimpan karbon. Setelah kawasan hutan lainnya telah diekpolarasi
semaksimal mungkin, kini kawasan hutan pesisir menjadi harapan baru
untuk menjadi penyeimbang produksi karbon negara-negara industri. Hal
ini tentu saja dapat menjadi hal positif bagi kemajuan Kota Makassar
sebagai salah satu paru-paru cadangan bumi. Akan tetapi, jika tidak
dikelola secara bijak, maka hal ini dapat menjadi sebuah boomerang
yang dapat merugikan Kota Makassar sendiri dan juga Indonesia tentunya.
Akibatnya, tentu saja akan terjadi kerusakan lingkungan karena kurang
terkelolanya kawasan hutan dengan baik. Kawasan hutan pesisir tersebut lebih dikenal dengan sebutan hutan bakau (mangrove).
Keistimewaan Kawasan Hutan Bakau
Ekosistem hutan bakau bersifat kompleks, dinamis dan labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya, selain dipenuhi oleh vegetasi pohon bakau,
juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis
tanahnya termasuk tanah perkembangan muda yang memiliki kandungan liat
tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang
tinggi. Bersifat dinamis karena hutan bakau
dapat tumbuh dan berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan
perubahan tempat tumbuhnya. Sedangkan dikatakan labil karena mudah rusak
dan sukar untuk pulih kembali seperti sediakala.
Ekosistem hutan bakau memiliki
fungsi ekologis, ekonomi dan sosial yang penting di dalam pembangunan,
khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan bakau di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas yang cukup signifikan. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi bakau yang dapat terealisasi jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya. Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis bakau sebenarnya telah dimulai sejak tahun sembilan puluhan. Data penanaman bakau
oleh Departemen Kehutanan selama tahun 1999 hingga 2003 baru
terealisasi seluas 7.890 hektar, akan tetapi tingkat keberhasilannya
masih rendah. Di samping itu, masyarakat juga tidak sepenuhnya terlibat
dalam upaya rehabilitasi mangrove.
Padahal, hutan bakau
memiliki fungsi ekonomi yang begitu besar. Berdasarkan kajian ekonomi
terhadap hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove, di
beberapa daerah seperti Madura dan Irian Jaya dapat mencapai triliunan
rupiah. Pada Workshop Perencanaan Strategis Pengendalian Kerusakan Hutan
bakau di Bandar Lampung, ternyata di Pulau Madura diperoleh Total Economic Value (TEV) hutan bakau
sebesar empat puluh sembilan triliun rupiah dan untuk Irian Jaya
sebanyak tiga ratus dua puluh sembilan triliun rupiah, sedangkan untuk
total keseluruhan Indonesia mencapai delapan ratus dua puluh triliun
rupiah.
Kondisi Hutan Bakau di Kota Makassar
Di Makassar sendiri hanya menyisahkan kurang lebih 30% hutan bakau yang sehat, dimana telah terdapat sekitar 70% hutan bakau
yang rusak yang tersebar dari wilayah pesisir pantai barat yang
mencakup Kabupaten Pangkep, Maros, Takalar, hingga ke wilayah pantai
timur, mulai dari Kabupaten Sinjai hingga daerah Luwu Raya dimana luas
total hutan bakau di kota Makassar sendiri mencapai 26.000 hektar . Berkurangnya secara drastis kawasan hutan bakau
ini rata-rata disebabkan oleh penggunaan lahan yang tidak
memperhitungkan kerusakan lingkungan yang terjadi salah satunya yaitu
reklamasi pantai.
Reklamasi pantai di Makassar terjadi di wilayah Pantai Losari
dan Metro Tanjung Bunga serta pantai Buloa kecamatan Tallo yang
memiliki dampak buruk bagi ekosistem serta ekologi daerah pesisir.
Reklamasi pantai tersebut menyebabkan abrasi pantai yang menyebabkan
semakin menipisnya populasi hutan bakau diwilayah tersebut. Perlu dipahami pula bahwa hutan bakau yang tingkat populasinya terganggu hanya dapat bertahan kurang lebih sepuluh tahun. Hal ini semakin memperjelas bahwa hutan bakau yang bertahan saat ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih.
Proses Humanisasi Hutan Bakau Kota Makassar
Melihat begitu parahnya kondisi kerusakan yang terjadi di kawasan hutan bakau (kawasan hutan pesisir) di Kota Makassar saat ini, saya menguslkan untuk melaksanakan langkah-langkah strategis yang dapat memperbaiki hal tersebut. Diharapkan dengan langkah-langkah tersebut kondisi kawasan hutan bakau di Kota Makassar akan dapat diperbaiki sesegera mungkin.
Ada beberapa tahap dalam merealisasikan langkah strategis peningkatan mutu kawasan hutan bakau di Kota Makassar, sebagai berikut:
Tahap rehabilitasi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengatasi kerusakan kawasan hutan bakau di Kota Makassar adalah tahap rehabilitasi. Tahap ini dimulai dengan mengklasifikasikan tingkat kerusakan kawasan hutan bakau
di setiap tempat. Kawasan yang mengalami kerusakan kategori ringan
ditangani dengan cara rehabilitasi sederhana, seperti perawatan terhadap
pohon-pohon yang mulai rusak dan dilanjutkan dengan pengawasan secara
intensif hingga pohon-pohon tersebut tumbuh besar. Sedangkan pohon-pohon
yang masih dalam kondisi baik dilakukan pemeliharaan sehingga tidak
ikut mati.
Namun terhadap kawasan hutan bakau yang mengalami kerusakan dengan kategori berat perlu ditangani dengan cara-cara ekstra. Kawasan hutan bakau kategori ini adalah kawasan yang hampir seluruh pohon bakaunya
telah rusak ataupun telah mati. Hanya tersisa beberapa pohon saja di
kawasan kategori rusak berat ini. Langkah pertama yang harus dilakukan
untuk menanganinya adalah proses reboisasi (penanaman kembali). Proses
reboisasi dilakukan untuk memperbaiki lahan-lahan yang pohon bakaunya telah mati. Agar menghasilkan pohon-pohon bakau yang berkualitas prima, dibutuhkan teknik-teknik khusus pada tahap ini. Belajar dari proses reboisasi kawasan hutan bakau yang dilakukan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, proses ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
Pertama, lahan yang akan ditanami pohon-pohon bakau haruslah bermaterial lumpur. Material lumpur kaya akan zat hara yang dapat membantu pohon bakau
untuk tumbuh dengan baik. Selain itu, kondisi ombak laut juga
diperhatikan. Ombak laut yang deras tidak baik untuk pertumbuhan awal
pohon mangrove. Kalaupun ombak laut disekitar kawasan tersebut cukup
besar harus diantispasi dengan teknik-teknik tertentu.
Selanjutnya proses penanaman pohon bakau. Sebaiknya teknik penanaman pohon bakau mangikuti model nasional penanaman bakau
dengan sistem rumpun berjarak yang pertama kali diterapkan di Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. Jarak per rumpun adalah satu meter. Satu rumpun
berisi 550 batang dengan panjang 50 batang dan lebar 11 batang. Ada
beberapa tahapan. Pertama, memilih persemaian bakau,
mencari bibit yang sehat berdaun dua sampai enam. Kedua, tahap
prakondisi. Dengan kadar garam antara 30 dan 35 ppm selama 7-10 hari.
Pada waktu persemaian, disiram air tawar sehingga kadar garam rendah. bakau
ini akan ditanam dengan kadar garam tinggi. Tahap ketiga, penanaman
rapat per rumpun berjumlah 550 batang, 50 batang (panjang) dan 11 batang
(lebar) dengan kedalaman 20-25 cm. Dalam empat tahun, tinggi bakau itu mencapai tiga meter. Tinggi Mangrove maksimal empat meter sampai lima meter.
Teknik
berumpun berfungsi untuk memperkokoh pohon, selain menjerat hara
(lumpur) dan tanda ada kegiatan sehingga nelayan tidak menebar jaring di
sana. Selain itu dilakukan pula pemagaran di luar lokasi penanaman bakau
dengan besi bekel berjarak 4 meter, disisip bambu rangkap setiap
meternya, lalu diberi jejaring. Fungsinya untuk menahan sampah agar
tidak masuk ke lokasi penanaman bakau.
Tahap berikutnya, dilakukan pengawasan intensif selama tiga sampai enam bulan terhadap pagar dan bibit bakau
yang ditanam. Jika tercabut, akan ditanami lagi. Pengawasan dilakukan
sampai akarnya mencengkeram, antara tiga hingga enam bulan. Apabila
akarnya telah benar-benar mencengkram tanah dengan baik barulah tingkat pengawasan dapat dikurangi. Saat itu pohon bakau
telah siap untuk dibiarkan hidup. Tinggal diperhatikan dan sesekali
dilakukan perawatan terhadap pohon-pohon yang terlihat mulai rusak.
Tahap Humanisasi
Setelah kawasan hutan bakau yang telah direhabilitasi tadi telah rimbun, langkah selanjutnya adalah tahap humanisasi. Yang dimaksud dengan proses humanisasi kawasan hutan bakau adalah menghidupkan daerah hutan bakau agar kelestariannya tetap terjaga. Kawasan hutan bakau
akan lebih hidup jika kawasan tersebut lebih tersentuh dan diakrabi
oleh masyarakat. Proses humanisasi ini akan menghilangkan kesan yang
selama ini melekat pada kawasan hutan bakau. Selama ini kawasan hutan bakau selalu dianggap kawasan yang asing, menakutkan dan tidak cocok untuk beraktifitas bagi masyarakat. Kesan-kesan tersebut harus dihilangkan agar kawasan hutan bakau dapat bermanfaat lebih bagi masyarakat.
Proses humanisasi kawasan hutan bakau dilakukan dengan cara penataan kawasan hutan bakau secara terpadu. Kawasan hutan bakau
tidak hanya difungsikan sebagai penahan abrasi pantai tapi juga
dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan masyarakat yang nantinya tentu saja
akan memberikan pengahasilan bagi Kota Makassar ataupun bagi masyarakat
itu sendiri. Ada beberapa desain penataan kawasan hutan bakau yang dapat diterapkan pada tahap humanisasi kawasan hutan bakau ini. Kawasan hutan bakau dapat pula difungsikan sebagai kawasan wisata hutan bakau, laboratorium penelitian ilmiah khususnya dibidang pengembangan kawasan hutan bakau, juga sebagai sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan bakau tersebut.
Model pengembangan kawasan wisata hutan bakau telah dikembangkan dibeberapa daerah di Indonesia, misalnya di Kota Surabaya, Jawa Timur dan Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Kota Makassar sebagai salah satu kota yang memiliki kawasan pesisir
terbesar dan terpenting di Indonesia seharus mencontoh daerah-daerah
yang telah berhasil mengembangkan kawasan wisata hutan bakau tersebut.
Jika telah berhasil mengembangkan kawasan wisata hutan bakau, bentuk pemanfaatn lain dari kawasan hutan bakau terpadu, yaitu kawasan penelitian dan pendidikan hutan bakau juga dapat dikembangkan. Kawasan hutan bakau
yang sehat akan menjadi laboratorium yang sangat baik bagi pengembangan
ilmu pengetahuan. Di kawasan tersebut para peneliti dapat meneliti
berbagai hal. Mulai dari vegetasi hutan bakau itu sendiri, hingga kehidupan berbagai habitat hewan yang hidup di dalamnya. Selain itu kawasan hutan bakau terpadu
dapat pula dijadikan sebagai sebuah sarana pendidikan bagi para
pelajar. Setiap sekolah, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga
Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat mengadakan kunjungan rutin ke kawasan
hutan bakau. Hal ini dilakukan agar para siswa bisa lebih mengenal arti pentingnya pemeliharaan kawasan hutan bakau. Secara tidak langsung hal ini dapat menumbuhkan rasa mencintai lingkungan sejak dini pada masing-masing siswa.
Diharapkan
dengan beberapa langkah peningkatan mutu (proses humanisasi) kawasan
hutan bakau di Kota Makassar tersebut, dapat menjadi langkah penting
yang dapat menyelamatkan kelangsungan kawasan hijau Kota Makassar.
Selain itu, hal yang lebih penting lagi adalah untuk terus memberikan
kehidupan yang bermutu kepada generasi dimasa yang akan datang,
anak-cucu kita.
*Ditulis bersama Andi Rinanti Batari dan Syarafina Ramlah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar