Baru-baru ini, Achmad Nirwan, teman baru yang sungguh
bersemangat di bidang musik, membuat sebuah artikel yang sangat menarik.
Tulisan tersebut berisikan daftar “Album Indie Indonesia Wajib Dengar Sepanjang Tahun 2013”. Tak tanggung-tanggung, Nirwan memilih dua puluh rilisan untuk
dimasukkan ke dalam daftar tersebut. Lebih dari sekedar sebuah bentuk apresiasi,
bagi saya Nirwan telah melakukan hal penting dalam skena: menyebarkan
informasi, dari musisi kepada pendengar/calon pendengar. Tulisan tersebut
sangat informatif. Paling tidak bagi orang-orang yang malas untuk mencari informasi
tentang musik-musik Indonesia yang lebih bermutu tapi bergerak mengalir di
bawah permukaan.
Lewat tulisan ini, saya ingin menambah daftar panjang
rilisan tahun 2013 wajib dengar yang telah disusun Nirwan tersebut. Tak banyak,
hanya empat. Karena menurut saya keempat album ini juga sangat layak untuk
didengarkan. Bukan berniat untuk menyaingi, daftar dari saya ini hanya semacam
suplemen yang semoga dapat menambah khasanah pendengaran kita akan musik-musik
menarik dari dalam negeri. Semoga berkenan.
Ini dia keempat album itu:
Pesona Frau berlanjut. Setelah begitu memukau di album perdana,
Starlit Carousel, pendengar yang dibuatnya begitu jatuh hati, terpaksa harus
menunggu selama lebih dari dua tahun untuk mendengar kelanjutan sihir musik
Lani dan Oscar, pianonya. Album keduanya yang bertitel Happy Coda akhirnya
dirilis pada pertengahan tahun ini. Lirik puitis nan imajinatif saya kira
menjadi benang merah yang menjalin cerita di kedua album Frau tersebut.
Empat Satu, lagu yang membawa saya ke sebuah meja judi kartu
yang terlihat mudah tapi sukar ketika dimainkan. Di lain waktu saya merasa lagu
ini bercerita tentang cinta yang penuh intrik. “Perhatikan, Tuan, sebelum semua kartu ditukarkan. Kesempatan hanya
sekali dan sekali itu tak mudah.” Sungguh cerita yang ingin mengajak kita
untuk berangan.
Lain lagi dengan Tarian Sari. Lagu ini telah sempat saya saksikan
versi live-nya di tahun 2011. Dan
saya langsung jatuh cinta pada saat itu juga. Bercerita tentang rasa rindu yang
mendalam dari seorang penari tua pada cucunya. Kisah ini berujung pada
pertemuan yang sungguh mengharukan. Dengan ketukan piano yang mirip dengan
bunyi-bunyian alat musik tradisional semakin membuat lagu ini menjadi istimewa.
Masih ada enam lagu yang menawarkan cerita menarik lainnya.
Kesemuanya menyiapkan ruang imajinasi yang akan diisi oleh setiap pendengarnya.
Jika dikatakan album kedua adalah sebuah pembuktian kualitas, Frau telah
melakukannya dengan sangat baik lewat Happy Coda ini.
Banda Neira adalah Rara Sekar dan Ananda Badudu. Tempat
tinggal mereka saling berjauhan. Rara menjadi pekerja sosial di Ubud, Bali.
Sedangkan Nanda sehari-hari sibuk menulis berita untuk media Tempo di Jakarta.
Namun jarak itu tak menghalangi mereka untuk menghasilkan musik sederhana namun sangat menarik di bawah nama Banda
Neira.
Bermula dari mini album berisikan empat lagu yang dirilis
pada Agustus 2012, mereka berhasil menjadi perbincangan penikmat musik
independen tanah air. Banda Neira memainkan musik minimalis yang hanya diisi
dengan bebunyian gitar dan xylophone. Untuk divisi lirik, mereka bercerita
tentang keseharian, baik suka cita ataupun kesedihan. Kesemuanya terangkum dalam
lagu-lagu yang mereka sebut sebagai “Pop Nelangsa-Ceria”.
Pada bulan Mei lalu Banda Neira menggenapkan mini album
mereka menjadi album penuh dengan tambahan enam lagu baru. Dibuka dengan lagu
berjudul sama dengan titel albumnya, Berjalan Lebih Jauh. Lagu ini bercerita
tentang semangat untuk berbuat lebih baik dari sebelumnya. Lalu ada lagu
favorit saya, Di Atas Kapal Kertas. Lagu ini selalu saya dengarkan tiap
bepergian menyeberangi laut, aktifitas yang rutin saya lakukan beberapa bulan
lalu.
Yang juga menarik adalah lagu Senja di Jakarta. Nomor ini
bercerita tentang pesepeda yang mengarungi jalanan Jakarta di sore hari. Dengan
segala hal yang menjengkelkan di ibu kota, Banda Neira mencoba merekam
keceriaan, yang lagi-lagi dengan cara yang sangat sederhana.
Mari berharap, semoga kesibukan Rara dan Nanda tidak terlalu
menghalangi mereka untuk membuat musik menarik lainnya.
Setelah tak terlalu aktif di Zeke and The Popo, Leonardo
Ringgo ternyata bergerak menghimpun teman-temannya untuk memainkan Jazz Swing
dalam Leonardo and His Impecabble Six. Untuk perkenalan dan pemanasan menuju
rekaman lagu sendiri, mereka melepas sebuah album cover yang berisi sepuluh
lagu. Kesepuluh lagu tersebut diambil dari beberapa karya musisi legendaris
yang memengaruhi musikalitas mereka.
Dibuka dengan lagu klasik, Cheek to Cheek yang ditulis oleh
komposer legendaris, Irving Berlin. Juga ada hits New York New York yang
masyhur setelah dibawakan oleh Frank Sinatra di awal 1980-an. Lagu-lagu
legendaris lainnya yang mereka remake
adalah Rock Around The Clock (ditulis oleh Max Freedman dan James Myer), Just A
Gigolo (Irving Caesar), Mr. Bojangles (Jerry Jeff Walker), In The Wee Small
Hours of The Morning (David Man dan Bob Hillard), In The Mood/Getting’ In The
Mood (Glenn Miller), Hit The Road Jack (Percy Mayfield), Anarchy In The UK (Sex
Pistols) dan Peter Gun Theme (Henry Mancini).
Walaupun Mirror hanyalah sebuah album cover, ia menghadirkan
sebuah ekspektasi yang cukup tinggi akan album pribadi band baru ini. Aksi
panggung yang selalu act out dan
improvisasi bernyanyi yang sering dilakukan oleh Leonardo Ringgo tentu menjadi
alasan tambahan mengapa karya band ini layak dinanti.
Yogyakarta sepertinya tak akan pernah kehabisan stok seniman
bermutu. Kota ini tak henti-hentinya menghasilkan musisi yang menghiasi
khasanah scene musik nasional. Mulai
dari band dengan jutaan penggemar, Sheila On 7 sampai si liar Zoo. Dari yang
unik seperti Jogja Hip-Hop Foundation sampai sang pujangga, Jikustik. Bukti
terbaru kualitas musik Kota Gudeg adalah Rabu, duo folk balada yang baru saja
merilis album berjudul Renjana.
Tema besar Renjana ialah legenda mistika. Dibuka dengan
instrumental misterius berjudul Dru. Entah apa maksud pembuka ini. mendengarnya,
kita seperti berjalan dengan lambat di dalam kegelapan. Lalu ada Baung yang
bercerita tentang sosok mengerikan yang hadir di malam hari. “Baung memanggil malam. Mendamba gelap.
Mengutuk siang. Lolongan panjang. Memecah tenang. Tatapan tajam. Tanpa ampunan.”
Lalu ada Kemarau, Bunda dan Iblis dengan lirik sadisnya. Dan
yang menjadi favorit saya di album ini adalah Semayam. Bercerita tentang
persinggungan cinta dan benci yang selalu hadir dalam “belantara hati” setiap
manusia. Dibuka dengan beat monoton lalu
mulai berwarna di bagian reffrain hingga akhir.
Album ini mengejutkan. Seperti temanya yang misterius,
Renjana muncul secara tiba-tiba dari musisi yang baru terdengar. Jadi nikmati
betul album ini. Sebelum mereka menghilang secara tiba-tiba pula. Semoga tidak
demikian.
Catatan akhir:
Tulisan Achmad Nirwan yang dimaksud dapat dibaca di Majalah Opium edisi Desember atau di blog pribadinya dalam versi yang lebih lengkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar