Sabtu, 11 Juni 2016

Kebudayaan untuk Kehidupan: Pesan Pelestarian Lingkungan di Festival Beworpit-Tewerawut


Terik matahari di Kota Agats, Kabupaten Asmat, tidak mengendurkan semangat sekelompok pelajar dari Sekolah Satu Atap Distrik Sawaerma. Siang itu mereka akan tampil dalam perlombaan sosio drama di Festival Beworpit-Tewerawut 2016. Saat giliran tampil, mereka memasuki arena pertunjukan dengan tenang. Tidak ada kesan kepanasan di kaki saat berjalan di atas lapangan yang terbuat dari papan tersebut. Setelah memberikan salam hormat kepada dewan juri dan penonton, para pemeran mulai mengambil posisinya masing-masing. Penampilan mereka dibuka dengan pembacaan prolog oleh seorang siswi:
“Asmat sekarang telah berubah. Sagu sebagai makanan pokok sejak leluhur kini sudah semakin sulit dicari. Pesta-pesta adat yang mengagungkan pohon sagu perlahan mulai ditinggalkan. Bahkan tidak ada niat untuk menanam kembali bibit sagu baru sebagai regenerasi pohon sagu. Lalu jika itu hilang dan musnah dari bumi Asmat, kepada apa kita akan menggantungkan hidup? Sudah lupakah kita terhadap pengorbanan Beworpit dalam menemukan sagu? Bahkan dia sendiri mengorbankan dirinya untuk menjadi pohon sagu yang tumbuh di tanah Asmat tercinta ini. Jika sudah lupa, marilah kita menyaksikan kembali kisahnya dalam sosio drama berikut yang berjudul ‘Asal-Usul Pohon Sagu.’”
Cerita pun bergulir. Dimulai dengan babak saat Beworpit bermimpi menemukan sebuah pohon yang memberikannya makanan. Ia lantas penasaran dan pergi mencari dimana keberadaan pohon yang dijumpainya dalam mimpi tersebut. Berhari-hari Ia berkelana namun belum berhasil menemukan keberadaan pohon impiannya itu. Sampai pada suatu hari, dalam kelelahan berjalan, kaki Beworpit tertusuk duri dari sebuah dahan yang terjatuh. Ia pun terkejut namun langsung takjub ketika melihat pohon dari dahan yang sudah berada di tanah tersebut. Pohon itu persis seperti yang muncul di mimpinya beberapa waktu lalu. Beworpit yang kegirangan berlari pulang ke kampungnya untuk menyampaikan kabar gembira tersebut kepada seluruh anggota keluarganya.

Sejak saat itu pohon berduri tersebut menjadi makanan kesukaan Beworpit dan keluarganya. Mereka tidak pernah lagi kekurangan bahan makanan. Saat merasa lapar, secara berkelompok mereka akan menuju pohon tersebut di dalam hutan. Mereka mengibaratkan pohon itu seperti orang tua yang terus menyediakan makanan bagi mereka anak-anaknya secara cuma-cuma.

Namun kemudian muncul kekhawatiran dari dalam diri Beworpit tentang masa depan ketersediaan pohon duri yang terus mereka tebang. Ia takut suatu saat pohon tersebut akan habis dan berdampak pada berkurangnya bahan makanan bagi keturunannya di masa yang akan datang. Dalam murung Beworpit terus berpikir mencari jalan keluar. Pada suatu malam Ia pun kabur dari kampungnya untuk menuju tengah hutan. Ia terus berjalan menuju lokasi pertama kali menemukan pohon duri yang pertama dilihatnya di dalam mimpi.

Sementara itu para anggota keluarga yang lainnya baru menyadari ketiadaan Beworpit beberapa hari kemudian. Semuanya gelisah karena sang pemimpin telah menghilang entah kemana. Mereka pun memutuskan untuk mencari Beworpit ke segala arah. Sesampainya di tengah hutan mereka menemukan sebuah pohon berduri. Mereka terkejut karena ternyata pohon tersebut dapat berbicara. Alangkah kagetnya mereka karena pohon berduri tersebut adalah Beworpit yang telah mengubah dirinya. Tangisan pun pecah di rimba tersebut. mereka sedih bukan hanya karena kehilangan seorang pemimpin, tapi juga karena kebesaran hati Beworpit dalam mengorbankan dirinya demi kelangsungan hidup anggota keluarga dan keturunannya.

Pohon berduri yang ada dalam cerita tersebut kemudian dikenal sebagai pohon sagu yang menjadi makanan pokok khas bagi orang Asmat juga masyarakat di seluruh tanah Papua. Sekolah Satu Atap Distrik Sawaerma mengangkat kembali cerita kepahlawanan Beworpit karena didorong oleh rasa khawatir atas pergeseran budaya yang terjadi saat ini. Mereka ingin berpesan untuk menghargai jasa Beworpit dengan terus melestarikan tanaman sagu agar dapat terus menjadi makanan pokok masyarakat di Kabupaten Asmat.

“Jangan sampai hanya karena diberi mie instan dan kopi kita menjadi kelaparan karena lahan sagu kita sudah diambil orang,” pesan penutup dalam epilog sosio drama tersebut. Sebuah singgungan bagi anggota masyarakat yang rela menjual tanah adat mereka kepada pengusaha demi mendapatkan sejumlah uang. Fenomena ini sedang marak terjadi di beberapa kampung di Kabupaten Asmat.

Heroisme Beworpit adalah sebuah cerita tragis namun memiliki pesan yang sangat mendalam dalam menjaga lingkungan. Cerita leluhur Orang Asmat tersebut menjadi salah satu penampilan yang paling menarik perhatian pada Festival Beworpit-Tewerawut 2016. Festival seni ini sendiri merupakan agenda tahunan yang pada perhelatan kali ini telah memasuki edisi kedelapan. Diselenggerakan  sejak tanggal 6 hingga 10 Juni 2016 di Lapangan Yos Sudarso, Kota Agats. Pesertanya kebanyakan adalah pelajar dan pemuda yang terbagi dalam grup-grup yang berasal dari berbagai kampung. Dalam sambutannya, Bupati Kabupaten Asmat menjelaskan tujuan kegiatan ini adalah untuk lebih memperkenalkan budaya Asmat kepada kaum muda. “Agar kebudayaan Asmat yang sudah dikenal dunia tetap lestari dan akrab bagi generasi muda Asmat.”

Panitia festival tahun ini dengan sangat tepat memilih “Kebudayaan untuk Kehidupan” sebagai tema kegiatan. Tidak kebetulan tanggal pelaksanaan festival berdekatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada tanggal 5 Juni yang lalu. Dengan dipilihnya tema tersebut bukan hanya misi melestarikan budaya saja yang ditampilkan, namun juga pesan-pesan menjaga lingkungan sebagai sumber kehidupan banyak disampaikan pada festival tahun ini. Hal ini terbukti dari penampilan para peserta yang selalu ada unsur alam atau menyelipkan pesan pelestarian lingkungan pada berbagai macam lomba, mulai dari mengukir, menggambar, parade Burung Cendrawasih, tari kreasi, sosio drama, dan menyanyi.

Selain kisah Beworpit dari Sekolah Satu Atap Distrik Sawaerma, penampilan apik juga ditunjukkan Grup Asmat Aites dari Kampung Syuru pada cabang lomba tari kreasi. Kelompok seni yang dipimpin oleh Bernat Becimpari tersebut menampilkan sebuah sendra tari yang menyajikan cerita persentuhan masyarakat Asmat dengan lingkungannya. Dengan koreografi yang sangat dinamis Grup Asmat Aites menyajikan cerita yang mewakili berbagai macam kegiatan keseharian, mulai dari mendayung ci (perahu tradisional Suku Asmat), menjaring ikan, memangkur sagu, hingga berburu di hutan. Bahkan adegan berperang dengan musuh pun ditampilkan. Kesemuanya itu membuat kreasi tari yang mereka tampilkan menjadi sangat hidup.

Nilai tambah yang membuat Grup Asmat Aites meraih juara pertama pada cabang perlombaan ini adalah mereka membungkus koreografi mereka yang sudah apik dengan iringan musik tradisi Asmat. Tujuh orang pemusik dan penyanyi menyajikan alunan irama yang mengisi gerak kesepuluh orang penari. Mereka mengatur tempo, menciptakan nuansa gembira ataupun murung, dan menjadi penanda perpindahan gerakan. Belum lagi busana dan make up yang mereka gunakan sangat berwarna namun tetap pas. Kesemuanya klop dalam penampilan yang sangat berkesan, baik estetik tari maupun pesan yang disampaikan.

Sesaat setelah keluar dari arena perlombaan, saya menghampiri Bernat Becimpari untuk memberikan selamat dan mengobrol soal proses kreatif mereka. Sebelumnya saya memang sudah berkenalan dengannya dalam sebuah kegiatan penyadartahuan perlindungan sempadan sungai di kampungnya. Bernat adalah salah satu tokoh pemuda di Kampung Syuru yang aktif menggerakkan kegiatan kepemudaan lewat kegiatan seni di sanggar miliknya. Ia juga merupakan guru muatan lokal di salah satu Sekolah Dasar di Kota Agats. Oleh berbagai pihak, Ia sering diajak ke berbagai kota bahkan manca negara untuk memperkenalkan kekayaan budaya Asmat. “Bulan Juli nanti saya akan ke Amerika selama satu bulan untuk mempromosikan kebudayaan Asmat,” kata Bernat dengan semangat.

Untuk penampilan yang memukau di Festival Beworpit-Tewerawut tahun ini Bernat melatih anak asuhnya hanya dalam waktu dua minggu. Ia membagi pemainnya dalam beberapa cabang perlombaan dan mengawasinya masing-masing. Mata lomba yang paling Ia perhatikan adalah tari kreasi dan parade Burung Cendrawasih. “dua lomba itu yang paling bergengsi. Biasanyan kalau menang pada dua lomba itu kita akan diutus untuk mewakili Asmat di festival tingkat Provinsi.”

Wajah tegang peserta parade Burung Cendrawasih saat menunggu giliran tampil.

Unsur lingkungan kental dalam kostum para peserta festival.
Dan memang terbukti, Asmat Aites juga menjadi pemenang pertama dalam mata lomba parade Burung Cendrawasih. Sebenarnya dalam lomba ini koreografi dan pesan yang ingin disampaikan semua peserta hampir sama. Bagaimana Burung Cendrawasih yang sudah menjadi simbol tanah Papua terancam keberadaannya akibat perburuan liar. The bird of paradise ini ditampilkan sedang menari-nari dalam  kostum yang penuh warna. Datang kemudian seorang pemburu yang memanah kawanan burung tersebut. salah satu burung pun mati dan nuansa musik berubah menjadi murung.

Diantara keseragaman pempilan para peserta, Grup Asmat Aites kembali menunjukkan nilai lebihnya. Penampilan mereka persis seperti nama yang dipakai, Aites, yang berarti kaum muda yang tangguh dan berbakat. Tidak hanya gerakan dalam parade yang dibuat menarik tapi juga kostum dan musik yang mereka tampilkan sangat menyatu padu dengan keseluruhan unsur dalam parade. Saat musik mengalun cepat, semua penari bergerak lincah. Begitupun sebaliknya. Saat musik berubah pelan penari pun bergerak anggun, sambil memanfaatkan momen tersebut untuk meghimpun panas.

Walau bukan festival terakbar, Bernat dan beberapa pelatih dari berbagai grup cukup serius dalam menghadapi event ini. Bukan hanya soal hadiah dan gengsi, lebih dari itu mereka ingin agar ragam kesenian Suku Asmat menjadi semakin akrab di kalangan anak muda. “Hal ini (kesenian Asmat) penting untuk diperkenalkan kepada anak-anak muda. Jangan sampai budaya kita jadi mati karena cuma tua-tua saja yang menguasai. Anak-anak Asmat harus meneruskan warisan leluhur ini,” kata Bernat dalam obrolan kami. “Bukan cuma peserta yang saya ajak saja yang masih muda-muda, penonton yang datang kesini juga banyak anak-anak Asmat. Semoga mereka terhiubur dan tertarik untuk melestarikan kesenian ini.”


Pada festival ini pula saya kembali menyaksikan korelasi antara pelestarian budaya dan pentingnya menjaga alam raya. Sudah jelas bagi orang Asmat, cara terbaik untuk tetap menghidupkan adat dan budaya mereka adalah dengan cara menjaga bumi dari tangan-tangan serakah. Kesadaran tersebut yang kini diupayakan agar juga tertanam pada diri kaum muda Asmat.

1 komentar:

  1. Ceritanya menarik dan menyentuh kak Opu...aah kangen pake banget sama Asmat

    BalasHapus