Tidak banyak pemain AS
Roma yang kepindahannya terlalu saya sesali. Dua diantara dari yang sedikit itu
adalah Alberto Aquilani yang hijrah ke
Liverpool dan Marcos Assuncao yang melanjutkan karir ke Real Betis. Kepindahan
Aquilani saya sesali karena ia adalah pemain muda potensial asli didikan Roma.
Jika tetap di Roma Ia bisa menjadi penerus trah pangeran ibukota yang disandang
oleh Francesco Totti dan Danielle De Rossi. Sedangkan untuk Assuncao, pemain
ini punya keahlian eksekusi tendangan bebas yang sulit untuk tidak dicintai. Berteknik
tinggi, magis dan nyaris selalu berhasil. Bagi saya, kemampuan freekick Assuncao hanya bisa
disejajarkan dengan Juninho dan Andrea Pirlo. Alvaro Recoba juga mantap dalam
hal ini, tapi saya punya dendam pribadi dengannya.
Sejak kepergian
Assuncao praktis Roma tidak lagi memiliki eksekutor bola mati yang reguler.
Kondisi ini bertahan selama beberapa tahun sampai Miralem Pjanic datang dari
Lyon pada tahun 2011. Roma mendapatkannya setelah bersaing secara ketat dengan
beberapa klub besar Eropa. Anak muda Bosnia ini memang istimewa. Walau terlihat
ringkih secara fisik, tapi Pjanic punya kemampuan gocekan yang mumpuni dan
insting mengumpan yang baik. Dan yang paling penting, hal yang kemudian membuat
saya kagum berat padanya, Ia memiliki kemampuan eksekusi tendangan bebas yang
mematikan.
Tapi kekaguman
tersebut berubah menjadi kekecewaan. Awal pekan ini nyaring media memberitakan
Pjanic telah resmi pindah ke Juventus. Semangat puasa jadi lesu rasanya saat melihat
fotonya mengenakan polo shirt merah
muda berlogo banteng belang hitam putih. Memegang pulpen menghadap lembar
kontrak dengan tersenyum bahagia. Kenangan bermain di Olimpico dan dipuja
ribuan Romanisti selama lima musim seperti tak bersisa sama sekali.
Kekecewaan atas
kepindahan Pjanic memang menjadi berlipat ganda. Bukan hanya karena pemain ini berkualitas
tinggi, tapi juga karena klub yang dipilihnya adalah Juventus. Iya Juventus,
klub yang menjadi kompetitor utama dan selalu berhasil menghalangi Roma meraih juara
Liga Italia dalam beberapa musim belakangan ini. Yang lebih menyakitkan lagi,
kabarnya Pjanic sendiri yang meminta kepada manajemen Roma untuk melepasnya ke
Juventus. Hamsyong benar.
Tapi tentu saya paham
dengan pergulatan batin yang dirasakan Pjanic. Menjadi pemain muda berlabel bintang
namun bermain di klub yang tidak menghasilkan gelar apapun adalah problem
tersendiri. Apa yang bisa diharapkan dari klub seperti AS Roma? Suasana
kekeluargaan? Lupakan! Sepakbola sudah berkembang jauh menjadi industri kok
masih ada klub yang membanggakan kekeluargaan macam ini. Kebanggaan bermain
bersama Totti? Ilusi sekali! Cuma orang gila macam De Rossi yang terus
mempertahankan kebanggan seperti itu sampai akhir hayatnya. Bagaimana mau jadi
tim besar tapi mental begitu-begitu aja. Dan kenapa pula saya masih bertahan
mencintai klub macam ini. Alamak.
Pada awal masa
menjalankan tugas kali kedua sebagai allenatore
Roma, Luciano Spaletti sempat berujar kira-kira seperti ini: “pemain yang
ingin keluar dari Roma, pergilah. Dan bagi mereka yang ingin terus bertahan,
mari berjuang bersama membesarkan klub ini.” Perkataan itu sepertinya
dimanfaatkan betul oleh Pjanic. Gelagat tidak betah di ibu kota sudah terlihat
sejak awal musim yang lalu. Permainannya kurang maksimal dan sangat sering
dicadangkan, walau masih memperlihatkan sentuhan ajaibnya. Pun Ia tidak pernah
membantah saat dihubungkan dengan beberapa klub yang melamarnya untuk pindah.
Semuanya baru terbukti saat pemberitaan itu beredar: Pjanic Resmi ke Juventus.
Ya sudahlah. “Sakit
memang tapi harus,” seperti kata seorang teman kuliah saya saat ditinggal kawin
pacarnya. Selamat tinggal, Mire. Semoga tetap menjadi pemain yang hebat di
tempat baru. Jadilah lawan yang tangguh saat tim kita bertemu. Walau jelas
perburuan scudetto akan semakin berat
tanpamu.
Dan selamat pula untuk
Juventus. Tentu Gigi Buffon kini merasa lebih tenang di masa tua karirnya
sebagai pemain sepakbola. Momoknya kini berkurang. Ia tidak perlu lagi merasa
takut terlihat seperti kiper amatir saat harus menghalau tendangan bebas
Pjanic, seperti yang dirasakannya pada bulan Agustus tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar