Tanggal 14 Oktober lalu
menjadi penanda satu tahun sudah saya tinggal di Papua. Senang rasanya bisa
sampai di tanah yang sejak masa awal kuliah ingin saya datangi. Dulu saya
sangat berharap bisa mengunjungi Papua walau sehari saja. Tapi semesta mengatur
lain. Saya harus tinggal dan bekerja disini dalam waktu yang lama. Dan sungguh
sangat tidak terasa, ternyata sudah setahun saja.
Bagi saya, memilih
hidup di Papua berarti harus meniggalkan segala kenyamanan yang telah saya
temukan selama tinggal di Kota Makassar. Mei 2015 kuliah saya akhirnya selesai.
Dua tahun sebelumnya saya malah sudah diterima bekerja di tempat yang sangat
menyenangkan. Kak Rappung dan teman-teman di Yayasan Konservasi Laut Indonesia
memberi saya kesempatan untuk bekerja sambil belajar langsung bersama komunitas
masyarakat di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar. Tanakeke sudah seperti
sekolah yang mengajari saya banyak sekali hal; pertemanan, perjuangan, hingga
perspektif baru dalam menjalani hidup.
Kenyamanan lain yang
mesti ditinggalkan untuk hidup di Papua adalah hobi-hobi dan rutinitas akhir
pekan bersama teman-teman. Tinggal di Papua, apalagi di Kabupaten Asmat,
berarti harus jauh dari toko buku. Kalau ada buku yang sangat ingin dibaca
berarti harus memesan secara online dengan ongkos kirim ke Papua yang bisa
setara dengan harga dua buku. Alternatif lainnya, menitip kepada teman yang
sesekali datang ke Papua. Saat akhir pekan datang, saya menikmati waktu untuk
bertemu dengan teman-teman kuliah atau mengunjungi kegiatan-kegiatan komunitas.
Biasanya bermain futsal menjadi pilihan. Tapi tentu menghadiri acara musik
menjadi kesukaan saya. Beberapa tahun belakangan, akhir pekan di Makassar
semakin meriah dengan kegiatan semacam ini. Tidak selalu konser besar, micro
gig dengan balutan kumpul-kumpul atau diskusi semakin aktif dilaksanakan. Anak
muda Makassar dari berbagai komunitas seperti punya tenaga berlebih untuk
saling bahu-membahu, bergantian menjadi penyelenggara. Menyenangkan sekali.
Rutinitas lain yang mesti
ditinggalkan sejak pindah ke Papua adalah menonton pertandingan klub
kesayangan, AS Roma. Jika dulu saya selalu rela menunggu hingga subuh untuk
melihat aksi Francesco Totti dan kolega bertanding, kini, bisa mengakses hasil
pertandingan semalam via youtube saja sudah bersyukur. Harga televisi dan ongkos
memasang antena berlangganan sangat mahal di Kabupaten Asmat. Saya bersama
teman rumah, Regis dan Wawan, sepakat untuk tidak membeli kotak ajaib itu
karena tidak terlalu mendesak juga. Kami lebih sering menonton film bersama di
laptop. Walau jika persedian film sudah habis jadi bingung juga mau lihat
hiburan apa lagi sebelum tidur. Hehehe.
Tapi segala kenyamanan
yang ditinggalkan tadi tentu tergantikan dengan pengalaman dan
pelajaran-pelajaran baru selama setahun ini. Paling tidak itu yang saya rasakan
saat ini. Kesempatan tinggal di Papua mengantarkan saya bertemu dengan
orang-orang baru, rekan-rekan kerja, dan komunitas masyarakat yang semakin
memperkaya pengalaman.
Setahun ini saya
tinggal di Kabupaten Asmat dan bekerja bersama dengan masyarakat adat disini.
Saya langsung dibuat takjub saat pertama kali menginjakkan kaki di daerah
pesisir selatan Papua ini. Bagaimana bisa ada sebuah kabupaten yang sebagian besar
wilayahnya tidak bisa dipijak. Seluruh jalanan di Agats, ibukota Kabupaten
Asmat, terbuat dari jembatan kayu dan beton komposit karena daratan wilayah ini
adalah lumpur dan rawa, habitat hutan mangrove. Maka lahir kemudian julukan
“kota sejuta papan” atau “kota lumpur” bagi Asmat dari orang-orang yang pernah
datang ke tempat ini. Waktu seperti berjalan mundur. Saya teringat masa kecil
saat saya bersama keluarga masih tinggal di Karang Rejo, Kota Tarakan,
Kalimantan Utara, yang seluruh jalannya juga terbuat dari jembatan papan.
Penyesuaian diri di
tempat baru ini berjalan cukup cepat. Tidak terlalu lama saya sudah punya
beberapa kenalan diluar teman-teman kantor. Tuntutan kerja juga mengarahkan
saya untuk berkenalan dengan banyak orang, termasuk dengan pegawai dinas dan masyarakat
dari beberapa kampung yang menjadi lokasi kerja kami. Pada masa awal menetap di Agats, bertanya
tentang apa saja kepada siapa saja terus saya lakukan. Dari para kenalan baru
tersebut saya mulai mendapat gambaran tentang kondisi tempat ini. Informasi
yang saya dapatkan dari berbagai sumber sebelum sampai ke Kabupaten Asmat mulai
tergambar nyata.
Pengalaman paling
menyenangkan selama setahun pertama tinggal di Papua adalah persentuhan saya
dengan masyarakat adat Asmat. Selama di Papua saya berinteraksi langsung dengan
mereka, baik dalam urusan pekerjaan maupun urusan hidup sehari-hari. Dari
masyarakat adat Asmat saya lebih belajar lagi tentang kearifan dan
kesederhanaan dalam menjalani hidup. Cara mereka memanfaatkan alam sangat mengagumkan.
Kaya akan filosofi keberlanjutan. Karena menganggap alam raya adalah bagian
yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, mereka lebih menekankan cara-cara
pemanfaatan dengan merawat. Mungkin itu sebabnya cara masyarakat adat dalam
memanfaatkan alam tidak banyak dilirik oleh orang-orang yang begitu menggilai
cara-cara instan yang eksploitatif.
Belum lagi budaya
orang Asmat yang terus memesona saya sampai sekarang. Saya tidak menyangka
karya-karya seni kelas tinggi lahir dari tempat yang terlanjur mendapat stigma
sebagai daerah terbelakang dalam hal peradaban ini. Ukiran, anyaman, tarian,
ritual, dan berbagai ragam kesenian Asmat lainnya ternyata telah bertahun-tahun
lalu dilirik dan mengukir nama di dunia. Saya merasa bodoh sekali baru
mengetahui informasi ini setelah sampai di tempat ini. Kita memang bangsa yang
pemalas mencari tahu jati diri kita.
Lebih dari semua yang
telah saya dapatkan selama setahun di Papua, saya ingin berterima kasih kepada
semua yang telah memberi saya kesempatan untuk tinggal dan bekerja di tempat
ini. Terima kasih kepada Kak Uccang dan rekan-rekan di Blue Forests yang telah
percaya dan memberikan pengalaman yang sangat menyenangkan ini. Saya sungguh
menikmati semua proses yang telah berjalan. Selama disini saya banyak belajar
dan semakin meneguhkan prinsip tetap “berjalan perlahan” ketika kebanyakan
orang sedang “berlari kencang” di luar sana. Saya akan bercerita lebih banyak
tentang hal ini pada hari saya-sedang-tidak-malas.
Saya belum tahu pasti
sampai kapan saya akan berada di Papua. Saya berharap diberi waktu yang cukup
untuk lebih mengenal tempat ini. Tolong bantu saya untuk terus betah disini
dengan tidak terlalu sering memposting foto nasi lalap atau sop sodara di
sosial media kalian. Tolong jangan kabari saya kalau gigs di Makassar atau di
Tarakan atau bahkan di Pinrang sedang ramai dan meriah. ditolong ya. Hehehe.
Itu sudah. Ndormom.