Senin, 17 Oktober 2016

Setahun di Papua


Tanggal 14 Oktober lalu menjadi penanda satu tahun sudah saya tinggal di Papua. Senang rasanya bisa sampai di tanah yang sejak masa awal kuliah ingin saya datangi. Dulu saya sangat berharap bisa mengunjungi Papua walau sehari saja. Tapi semesta mengatur lain. Saya harus tinggal dan bekerja disini dalam waktu yang lama. Dan sungguh sangat tidak terasa, ternyata sudah setahun saja.

Bagi saya, memilih hidup di Papua berarti harus meniggalkan segala kenyamanan yang telah saya temukan selama tinggal di Kota Makassar. Mei 2015 kuliah saya akhirnya selesai. Dua tahun sebelumnya saya malah sudah diterima bekerja di tempat yang sangat menyenangkan. Kak Rappung dan teman-teman di Yayasan Konservasi Laut Indonesia memberi saya kesempatan untuk bekerja sambil belajar langsung bersama komunitas masyarakat di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar. Tanakeke sudah seperti sekolah yang mengajari saya banyak sekali hal; pertemanan, perjuangan, hingga perspektif baru dalam menjalani hidup.

Kenyamanan lain yang mesti ditinggalkan untuk hidup di Papua adalah hobi-hobi dan rutinitas akhir pekan bersama teman-teman. Tinggal di Papua, apalagi di Kabupaten Asmat, berarti harus jauh dari toko buku. Kalau ada buku yang sangat ingin dibaca berarti harus memesan secara online dengan ongkos kirim ke Papua yang bisa setara dengan harga dua buku. Alternatif lainnya, menitip kepada teman yang sesekali datang ke Papua. Saat akhir pekan datang, saya menikmati waktu untuk bertemu dengan teman-teman kuliah atau mengunjungi kegiatan-kegiatan komunitas. Biasanya bermain futsal menjadi pilihan. Tapi tentu menghadiri acara musik menjadi kesukaan saya. Beberapa tahun belakangan, akhir pekan di Makassar semakin meriah dengan kegiatan semacam ini. Tidak selalu konser besar, micro gig dengan balutan kumpul-kumpul atau diskusi semakin aktif dilaksanakan. Anak muda Makassar dari berbagai komunitas seperti punya tenaga berlebih untuk saling bahu-membahu, bergantian menjadi penyelenggara. Menyenangkan sekali.

Rutinitas lain yang mesti ditinggalkan sejak pindah ke Papua adalah menonton pertandingan klub kesayangan, AS Roma. Jika dulu saya selalu rela menunggu hingga subuh untuk melihat aksi Francesco Totti dan kolega bertanding, kini, bisa mengakses hasil pertandingan semalam via youtube saja sudah bersyukur. Harga televisi dan ongkos memasang antena berlangganan sangat mahal di Kabupaten Asmat. Saya bersama teman rumah, Regis dan Wawan, sepakat untuk tidak membeli kotak ajaib itu karena tidak terlalu mendesak juga. Kami lebih sering menonton film bersama di laptop. Walau jika persedian film sudah habis jadi bingung juga mau lihat hiburan apa lagi sebelum tidur. Hehehe.

Tapi segala kenyamanan yang ditinggalkan tadi tentu tergantikan dengan pengalaman dan pelajaran-pelajaran baru selama setahun ini. Paling tidak itu yang saya rasakan saat ini. Kesempatan tinggal di Papua mengantarkan saya bertemu dengan orang-orang baru, rekan-rekan kerja, dan komunitas masyarakat yang semakin memperkaya pengalaman.

Setahun ini saya tinggal di Kabupaten Asmat dan bekerja bersama dengan masyarakat adat disini. Saya langsung dibuat takjub saat pertama kali menginjakkan kaki di daerah pesisir selatan Papua ini. Bagaimana bisa ada sebuah kabupaten yang sebagian besar wilayahnya tidak bisa dipijak. Seluruh jalanan di Agats, ibukota Kabupaten Asmat, terbuat dari jembatan kayu dan beton komposit karena daratan wilayah ini adalah lumpur dan rawa, habitat hutan mangrove. Maka lahir kemudian julukan “kota sejuta papan” atau “kota lumpur” bagi Asmat dari orang-orang yang pernah datang ke tempat ini. Waktu seperti berjalan mundur. Saya teringat masa kecil saat saya bersama keluarga masih tinggal di Karang Rejo, Kota Tarakan, Kalimantan Utara, yang seluruh jalannya juga terbuat dari jembatan papan.

Penyesuaian diri di tempat baru ini berjalan cukup cepat. Tidak terlalu lama saya sudah punya beberapa kenalan diluar teman-teman kantor. Tuntutan kerja juga mengarahkan saya untuk berkenalan dengan banyak orang, termasuk dengan pegawai dinas dan masyarakat dari beberapa kampung yang menjadi lokasi kerja kami.  Pada masa awal menetap di Agats, bertanya tentang apa saja kepada siapa saja terus saya lakukan. Dari para kenalan baru tersebut saya mulai mendapat gambaran tentang kondisi tempat ini. Informasi yang saya dapatkan dari berbagai sumber sebelum sampai ke Kabupaten Asmat mulai tergambar nyata.

Pengalaman paling menyenangkan selama setahun pertama tinggal di Papua adalah persentuhan saya dengan masyarakat adat Asmat. Selama di Papua saya berinteraksi langsung dengan mereka, baik dalam urusan pekerjaan maupun urusan hidup sehari-hari. Dari masyarakat adat Asmat saya lebih belajar lagi tentang kearifan dan kesederhanaan dalam menjalani hidup. Cara mereka memanfaatkan alam sangat mengagumkan. Kaya akan filosofi keberlanjutan. Karena menganggap alam raya adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, mereka lebih menekankan cara-cara pemanfaatan dengan merawat. Mungkin itu sebabnya cara masyarakat adat dalam memanfaatkan alam tidak banyak dilirik oleh orang-orang yang begitu menggilai cara-cara instan yang eksploitatif.

Belum lagi budaya orang Asmat yang terus memesona saya sampai sekarang. Saya tidak menyangka karya-karya seni kelas tinggi lahir dari tempat yang terlanjur mendapat stigma sebagai daerah terbelakang dalam hal peradaban ini. Ukiran, anyaman, tarian, ritual, dan berbagai ragam kesenian Asmat lainnya ternyata telah bertahun-tahun lalu dilirik dan mengukir nama di dunia. Saya merasa bodoh sekali baru mengetahui informasi ini setelah sampai di tempat ini. Kita memang bangsa yang pemalas mencari tahu jati diri kita.

Lebih dari semua yang telah saya dapatkan selama setahun di Papua, saya ingin berterima kasih kepada semua yang telah memberi saya kesempatan untuk tinggal dan bekerja di tempat ini. Terima kasih kepada Kak Uccang dan rekan-rekan di Blue Forests yang telah percaya dan memberikan pengalaman yang sangat menyenangkan ini. Saya sungguh menikmati semua proses yang telah berjalan. Selama disini saya banyak belajar dan semakin meneguhkan prinsip tetap “berjalan perlahan” ketika kebanyakan orang sedang “berlari kencang” di luar sana. Saya akan bercerita lebih banyak tentang hal ini pada hari saya-sedang-tidak-malas.

Saya belum tahu pasti sampai kapan saya akan berada di Papua. Saya berharap diberi waktu yang cukup untuk lebih mengenal tempat ini. Tolong bantu saya untuk terus betah disini dengan tidak terlalu sering memposting foto nasi lalap atau sop sodara di sosial media kalian. Tolong jangan kabari saya kalau gigs di Makassar atau di Tarakan atau bahkan di Pinrang sedang ramai dan meriah. ditolong ya. Hehehe.


Itu sudah. Ndormom.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar