|
Peserta Pawai Pesta Budaya Asmat 2016 |
Tidak mudah bagi Mama
Mariana Kaisma dan rekan-rekannya untuk datang ke Agats. Dari tempat tinggalnya
di Kampung Yefhu, Distrik Awyu, paling tidak Ia harus menghabiskan dua hari
perjalanan dengan kapal viber untuk mencapai ibukota Kabupaten Asmat, Provinsi
Papua Tersebut. Berangkat pagi dari Kampung Yefhu, sekitar pukul tiga sore mereka
harus singgah bermalam di Kampung Atsj, sebelum melanjutkan perjalanan ke Agats
keesokan paginya. Terlalu beresiko bagi kapal viber untuk menembus malam di
laut dan kali-kali Asmat.
Resiko perjalanan dua
hari ditambah ongkos kapal yang cukup mahal tidak menghalangi Mama Mariana untuk
hadir di Pesta Budaya Asmat tahun 2016. Ia dan banyak masyarakat Kabupaten
Asmat yang berasal dari berbagai kampung rela bersusah payah demi turut
merasakan kemeriahan pesta tahunan ini. “Kami tetap harus datang ke sini (Pesta
Budaya Asmat). Ini pesta kami juga. Kami juga masih bagian dari Kabupaten
Asmat,” cerita Mama Mariana saat saya temui di lapak pasar seninya.
Setelah tertunda pada
tahun 2015, Pesta Budaya Asmat edisi ke-31 sukses digelar pada tahun 2016 ini. Berpusat di Lapangan Yos Sudarso Kota Agats,
pesta ini dihelat selama seminggu penuh, mulai Kamis, 6 Oktober hingga Rabu, 12
Oktober. Keuskupan Agats dan Pemerintah Daerah Kabupaten Asmat selaku
penyelanggara, merancang kegiatan ini dengan berbagai penampilan, mulai dari atraksi
budaya, ritual adat dan keagamaan, perlombaan, hingga pasar seni bagi para
pengunjung. Bagian yang paling mendapat perhatian adalah pameran ukiran dan
anyaman dari para finalis yang telah lolos seleksi ketat oleh para kurator
Museum Asmat.
Hari pertama Pesta
Budaya Asmat 2016 digunakan oleh panitia untuk meregistrasi karya-karya para
finalis. Tahun ini ada sebanyak 207 ukiran dan 60 produk anyaman yang lolos
proses kurasi dan akan dipamerkan kemudian dilelang pada tiga hari terakhir
pesta. Setelah proses registasi, karya kemudian dipajang di panggung utama.
Para pengunjung yang berasal dari berbagai daerah hingga manca negara mulai dapat
mengakses karya-karya terbaik tersebut. Untuk memudahkan para pengunjung,
panitia menyediakan buku panduan yang memuat semua informasi tentang Pesta
Budaya Asmat 2016, termasuk cerita di balik karya yang dipamerkan.
|
Panggung utama |
Acara pembukaan baru
dilakukan pada Jumat, 7 Oktober 2016. Dalam sambutannya, Bupati Kabupaten
Asmat, Eliza Kambu, mengajak semua masyarakat untuk melestarikan dan menghargai
warisan budaya Asmat. menurutnya, salah
satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengembangkan pemasaran
agar kerja-kerja kesenian ini tetap diminati. “Para pengukir dan mama-mama
pembuat noken (anyaman) harus sejahtera, supaya mereka tetap semangat
melestarikan budaya ini. Pemasaran produk seni Asmat perlu untuk kita kembangkan.
Itu makanya tahun ini saya mengundang beberapa pengusaha, termasuk anggota DPR
RI dan Provinsi agar mereka mendengar langsung aspirasi kita. Bandara baru harus
sudah selesai dalam waktu dekat. Biar orang-orang (pembeli) gampang datang ke
Asmat sini,” Jelas Bupati Asmat.
Pesta Budaya Asmat
2016 kemudian dibuka secara resmi oleh Uskup Keuskupan Agats, Aloysius Murwito.
Kemeriahan pun dimulai. Pawai keliling Kota Agats oleh para peserta dan
pengunjung menjadi sajian pembuka keramaian. Setelah iringan pawai kembali
berkumpul di Lapangan Yos Sudarso, acara dilanjutkan dengan pesta goyang. Disinilah puncak kemeriahan Pesta Budaya Asmat. Semua yang berkumpul di lapangan
larut dalam keriaan. Mama-mama dengan kostum dan aksesoris adat terus bergoyang
indah seperti tanpa lelah. Pukulan tifa dari para lelaki Asmat menjadi penguasa irama. Mereka mengatur tempo dan jeda agar pesta goyang terus berlangsung dalam
suasana gembira namun tetap sakral.
|
Pria Asmat dengan Hiasan kepala kulit kus kus dan ukiran tombaknya |
|
Asmat cepes dengan kalung manik-manik biji buah hutan dan taring anjing |
|
Fatcin (hiasan kepala) kulit kus kus dan bulu kasuari |
|
Wowpits, ke pesta budaya gaya harus maksimal |
Manuver perahu
tradisional Asmat atau ci-mbi menjadi
sajian paling menarik perhatian pada hari berikutnya. Sejak pagi para
pengunjung telah memadati Pelabuhan Feri Kota Agats. Kali Aswet yang berada di
depannya menjadi arena ci-mbi. Ada
total tujuh belas perahu yang masing-masing dikendarai oleh lima orang
pendayung. Mereka menunjukkan skil mendayung perahu melawan arus kali dan
beradu cepat untuk sampai ke garis finish. Kostum adat dan seruan kepada
leluhur yang didendangkan sepanjang perlombaan menambah eksotisme atraksi
budaya ini.
|
Adu cepat Ci-mbi |
Pertunjukan yang tidak
kalah menarik pada hari ketiga adalah demonstrasi mengukir dari para wowpits (sebutan lokal bagi pengukir
Asmat). Para peserta berkumpul di tengah lapangan, di bawah terik matahari
siang, untuk mempertontonkan keahlian mengukir mereka. Yang istimewa adalah
waktu yang diberikan untuk menyelesaikan sebuah ukiran sangatlah singkat. Di
tangan para pengukir terbaik ini, kayu yang awalnya masih berbentuk batangan
sudah mewujud patung manusia hanya dalam tempo tiga jam.
|
Lomba mengukir cepat |
|
Demonstrasi mengukir |
Bagi penyuka seni tari,
setiap malam dipentaskan atraksi tarian Asmat yang dibawakan oleh grup budaya
dari berbagai kampung. Tarian Asmat memadukan gerakan yang merupakan
simbolisasi kisah-kisah leluhur dengan iringan tifa dan nyanyian adat. Hikayat
perang antar suku ditampilkan oleh penari dari Kampung Waras, Distrik Fayit.
Gerakan dan tempo yang meraka mainkan sangat dinamis. Cepat dan menegangkan di
awal, kemudian berubah lambat dengan aura sedih menjelang akhir. Sebaliknya,
pesan perdamaian disampaikan oleh para penari dari Kampung Yasiw, Distrik Atsj.
Sepanjang gerakan tarian para pemukul tifa juga melantunkan kidung sendu.
Terasa sakral namun tetap indah untuk dinikmati.
Hari kelima, Senin 10
Oktober, adalah hari yang paling ditunggu oleh para pengukir yang telah lolos
seleksi. Ini waktunya pengumuman siapa yang berhak menyandang gelar sebagai wowpits terbaik pada enam kategori. Gelar
ini selalu menjadi incaran. Selain memperebutkan hadiah sebesar dua puluh juta
rupiah di masing-masing kategori, rasa bangga juga akan mengiringi karena karya
terbaik akan terpajang abadi di Museum Asmat. setelah melalui penilaian selama
tiga hari oleh tiga orang pakar, tiba saatnya panitia menyampaikan pengumuman.
Pada kategori patung
kecil, Yakobus Kakewernam dari Kampung Youw, Distrik Betcbamu, berhasil
mempertahankan statusnya sebagai yang terbaik pada Pesta Budaya Asmat edisi
sebelumnya. Ia dengan sangat detail menampilkan ritual pesta ulang sagu lengkap
dengan visualisasi para tetua adat dan jew,
rumah adat Suku Asmat. Kategori patung sedang dimenangi oleh Sabinus Tambo dari
Kampung Uwus, Distrik Agats dengan ukiran tetua adat yang yang memegang tifa.
Sedangkan pemenang untuk kategori patung besar diraih oleh Benediktus Fokoyew
dari Kampung Biwar Laut, Distrik Betcbamu. Ia menciptakan ukiran setinggi dua
meter dengan desain tiga figur leluhur lengkap dengan hiasannya masing-masing.
Para pemenang dari
tiga kategori spesial lainnya adalah Teodorus Kom dari Kampung Yow, Distrik
Betcbamu untuk kategori patung cerita, Markus Mbes dari Kampung Er, Distrik
Sawaerma, untuk kategori panel, dan Aloysius Ari Bainepe dari Kampung Kairin,
Distrik Safan, untuk kategori ukiran tradisional. Jika tiga kategori awal
adalah kategori yang mengandalkan inovasi dalam mengukir, maka tiga kategori
berikutnya adalah penghargaan bagi para pengukir yang tetap setia dengan
kekhasan dan cerita warisan leluhur. Keenam ukiran tersebut semakin istimewa
karena merupakan enam koleksi pertama Museum Asmat yang baru. Pesta Budaya
Asmat tahun ini juga menjadi penanda berpindahnya Museum Asmat ke gedung baru
yang lebih besar dan modern.
|
Para pemenang |
Para pengukir yang
gagal menang juga mama-mama pembuat anyaman tidak lantas berkecil hati karena
tidak memperoleh hadiah dari panitia. Selepas pengumuman pemenang, karya yang
tidak masuk museum kemudian dilelang di hadapan para pengunjung. Dipandu
langsung oleh Ketua Panitia, Erick Sarkol, sesi lelang ini berlangsung alot dan
seru selama tiga hari. Ini waktunya ukiran-ukiran dan anyaman terbaik bertemu
dengan para pembelinya yang kebanyakan adalah pengusaha dan pejabat. Harga
terendah dalam sesi lelang ini adalah sebesar lima juta rupiah. Sedangkan untuk
harga tertinggi tahun ini diberikan kepada ukiran karya Edoardus Jokpit dari
Kampung Yepem, Distrik Agats. Patung yang bercerita tentang lima leluhur yang
pergi berperang dengan mengendarai perahu tradisional tersebut laku terjual
sebesar tiga puluh satu juta rupiah. Harga yang seragam dengan angka edisi
Pesta Budaya Asmat tahun ini.
Penutupan Pesta Budaya
Asmat tahun 2016 dirayakan dalam suasana meriah dengan pesta goyang bersama.
Guyuran hujan yang turun tepat setelah pukulan tifa dari Bupati Asmat dan Uskup
Agats, tidak dianggap sebagai penghalang, melainkan berkah atas kesuksesan
penyelenggaran pesta tahunan masyarakat Asmat ini. Upaya bersama untuk terus
mempertahankan eksistensi warisan leluhur ini juga menjadi ajang berkumpulnya
masyarakat dari seluruh penjuru Kabupaten Asmat untuk merayakan pesona kekayaan
budaya mereka.
*Semua foto oleh Regista
Tidak ada komentar:
Posting Komentar