Foto oleh Regista |
“Ambas akat ooo,
sagu enak.”
Jawaban Mama Katarina sesingkat itu saat saya tanya tentang
makan malam kami yang baru saja meluncur ke lambung. Kami semua tertawa.
Walaupun saya tahu persis alasannya lebih dari itu. Bagi masyarakat suku Asmat,
sagu bukanlah sekedar makanan. Ia sudah menjadi bagian dari laku kebudayaan
yang mengakar sejak masa leluhur.
Dalam banyak cerita leluhur atau mitologi orang Asmat, sagu
sering disebut sebagai bagian dari sejarah pertumbuhan suku di pesisir selatan
Papua ini. Misalnya saja Beworpit, leluhur yang paling sering disebut dalam
cerita adat. Berworpit dikisahkan adalah penemu tanaman sagu di dalam rimba
Asmat. Ia pula yang mengorbankan dirinya dengan berubah wujud menjadi pohon sagu
agar tanaman rawa tersebut bisa terus ada bagi generasi penerusnya. Heroisme
Beworpit itu terus hidup sebagai leluhur penyedia kehidupan bagi orang Asmat.
Dalam cerita lain, sagu merupakan makanan utama bagi kepala
perang beserta prajuritnya pada masa pengayauan. Mereka percaya dengan memakan
sagu badan bisa menjadi lebih kuat. Tenaga bertempur bisa tahan lama. “Kalau
makan (makanan) yang lain, misalnya ikan sembilang, pisang doaka (pisang gepok), itu badan bisa jadi lemas. Tidak kuat ikut
perang,” kata Felix Owom, Ketua Adat Asmat di Kampung Suwruw.
Dalam tatanan sosial, sagu sudah dianggap sebagai harta
benda utama bagi masyarakat Asmat. Pada ritual pernikahan Asmat, sagu menjadi
seserahan wajib bersama kapak batu. Kedua benda itu menjadi simbol perbekalan
bagi sepasang mempelai yang baru akan mengarungi rumah tangga. Selain itu, ulat
sagu menjadi penganan wajib dalam banyak ritual adat Asmat. Biasanya bakal
kumbang sagu ini akan disantap bersama pada puncak helatan pesta.
Potensi sagu versus ambisi buta ketahanan pangan
Asmat bersama daerah di dataran rendah di Papua memang
dikenal sebagai lumbung sagu sejak dahulu. Menurut penelitian Nadirman Haska,
seorang profesor riset di bidang bioteknologi dan agroteknologi di Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Papua tercatat memiliki 1,2 juta hetare
lahan yang ditumbuhi pohon sagu. 95 persen diantaranya tumbuh alami di hutan
dataran rendah dan belum dimanfaatkan.
“Papua berpotensi menghasilkan delapan juta ton sagu per
tahun dari pohon yang tumbuh alami dan belum dimanfaatkan tersebut. Tapi karena
kita tidak memanfaatkannya, potensi pangan tersebut hilang begitu saja,” Kata
Nadirman.
Masih menurut Nadirman, sebagai sumber pangan potensial,
sagu memiliki keunggulann tersendiri. Sagu dalam wujud tepung bisa diolah
menjadi berbagai produk makanan. Karbohidrat yang terkandung di dalam sagu juga
cukup tinggi dan mudah dicerna. “Sagu itu tidak memerlukan lahan yang luas dan
mampu tumbuh tanpa perawatan intensif. Kalau mau serius, sagu bisa menjadi
pendukung upaya Indonesia mewujudkan swasembada pangan,” jelasnya.
Sayangnya segala potensi itu masih kabur dari penglihatan
pemerintah Indonesia. Program swasembada pangan yang dimulai sejak masa orde
baru hanya mengandalkan beras semata. Pangan lokal yang tersebar di berbagai
daerah dan menjadi bagian identitas keberagaman nusantara dilupakan begitu
saja. Awalnya program ini terlihat gilang-gemilang mengantarkan Indonesia
menyandang predikat sebagai salah satu negara yang mampu mencukupi pangan dalam
negeri. Tapi tanpa upaya diversifikasi jenis pangan, swasembada pangan (lebih
tepatnya swasembada beras) hanyalah program yang rapuh. Akibat korupsi
besar-besaran, ia ikut runtuh bersamaan dengan berakhirnya orde baru.
Pemerintah penerus kemudian seolah gugup dan gagap dalam
menyikapi masalah pangan ini. Mereka seperti tidak bisa berpikir banyak saat
melihat masyarakat yang telah mengalami ketergantungan beras. Demi meneruskan
program ketahanan pangan, ribuan lahan diubah menjadi sawah. Di Papua hutan dibuka
untuk ditanami padi. Masyarakat pemburu peramu didorong (atau dipaksa) menjadi
petani. Ya, tentu saja salah sasaran. Mana bisa orang-orang yang terbiasa hidup
dengan memanfaatkan hutan seketika disuruh berbudi daya.
Tetangga Asmat yaitu Kabupaten Merauke kini sedang merasakan
kegagapan pemerintah itu. Lewat proyek nasional bernama MIFEE (Merauke Integrated Food and
Energy Estate), ratusan ribu hektare hutan masyarakat adat dibabat.
Wilayah kelola masyarakat Marind yang biasa menjadi tempat mereka mengumpulkan
sagu, buah-buahan, sampai daging disulap menjadi lahan persawahan raksasa. Tidak
sampai di situ, oleh Presiden Jokowi, MIFEE diproyeksikan akan memanfaatkan
lahan seluas 4,6 juta hektare. Bisa dibayangkan, betapa gilanya proyek ini.
Cilakanya, kebijakan buka-membuka sawah ini nyatanya salah
kaprah. Masyarakat Papua yang butuh dikembangkan pangan lokalnya malah
dihancurkan hutannya. Sementara itu sawah-sawah yang subur di Pegunungan
Kendeng, Jawa Tengah malah ingin dirusak sumber airnya. Petani-petani di banyak
tempat dikriminalisasi. Lain lagi di Sumatera. Ada petani yang mempertahankan
sawahnya dari jerat pembangunan malah ditangkap atas tuduhan menyebarkan paham
komunisme. Kurang gila apa lagi pemikiran pengembang ketahanan pangan kita ini.
Sementara itu, di berbagai tempat, termasuk juga di Asmat,
alam bawah sadar masyarakat terus dipengaruhi oleh kebijakan beras-isasi.
Masyarakat yang dikategorikan tidak mampu disuplai beras miskin alis raskin
oleh negara. Beras dengan kualitas rendah ini tidak pernah cukup menghidupi
masyarakat dalam sebulan. Mereka harus tetap berusaha mencari tambahan makanan
untuk menyambung hidup.
Menanam harapan pada yang lokal
Sudah saatnya pemerintah membuka mata untuk mulai
memaksimalkan potensi pangan lokal kita, terutama sagu. Sudah terlalu lama
potensi kita ini disia-siakan. Mimpi ketahanan pangan sangat riskan bila hanya
dibebankan pada beras semata. Bukankah keragaman kita juga bersumber dari
beranekanya pangan lokal kita?
Cobalah turun ke masyarakat untuk melihat (sekaligus
belajar) betapa kearifan lokal yang selama ini diterapkan berhasil membuat
masyarakat adat hidup selaras dengan alam. Saya rasa pemerintah lewat
konsultan-konsultannya yang pandai-pandai itu harus melepaskan sedikit ego
mereka. Nilai-nilai dalam kearifan lokal masyarakat adat perlu dihormati bahkan
dirangkul dalam proses modernisasi sistem produksi pangan. Perpaduan antara
yang modern dan yang lokal saya kira akan memberikan hasil maksimal sekaligus
meningkatkan kepercayaan diri masyarakat tradisional.
Saya pernah beberapa kali mengikuti masyarakat Asmat
memangkur sagu di dalam hutan keluarga mereka. Pekerjaan yang dijalankan dengan
sangat tradisional ini menampilkan kekayaan tradisi yang erat dengan
penghormatan pada alam. Tidak sembarangan pohon sagu yang boleh ditebang. Pada
beberapa lokasi hutan, suku Asmat menerapkan metode konservasi tradisional
bernama dusun keramat. Penetapan dusun keramat dilakukan untuk melindungi hutan
yang menjadi bagian dari sejarah leluhur mereka. Tidak boleh ada yang merusak
ekosistem di tempat keramat. Bagi yang berani melanggar, sanksinya tidak
main-main: kematian.
“pelanggaran itu termasuk teser (jenis pamali paling berat dalam sistem hukum adat Asmat),”
kata Walter Ewenmanam, salah satu Tetua Adat Asmat di Kampung Yepem.
Wilayah hutan yang bukan termasuk tempat keramat adalah
tempat masyarakat Asmat mencari makan, mulai dari memangkur sagu sampai berburu
binatang. Namun hanya hutan keluarga, atau yang biasa disebut dusun, yang boleh
mereka garap. Selain itu mereka sangat memperhatikan keadaan dusun. Saat
kondisi dusun dianggap mulai gundul, mereka akan menerapkan ritual pisis. Lokasi yang diberi pisis tidak boleh digarap dalam jangka
waktu tertentu. Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada dusun yang gundul
tadi untuk tumbuh kembali secara alami. Hal ini mirip dengan tradisi sasi di daerah Maluku.
Namun di balik kekayaan pengetahuan tradisional masyarakat
Asmat dalam memanfaatkan hutan, teknik tradisional dalam memangkur sagu yang
mereka terapkan sangatlah terasa berat. Mereka bisa menghabiskan tenaga
sepanjang hari untuk menebang pohon sagu, menguliti, memangkur, sampai
menyaring pati menjadi tepung sagu. Lagi pula dengan cara tersebut hasil yang
didapatkan tidak terlalu maksimal. Dalam sehari dua orang hanya mampu menggarap
satu buah pohon sagu. Hasil tepung sagu yang bisa dihasilkan dari satu pohon
itu sekitar dua sampai tiga noken (seukuran karung beras 25 kilogram).
Di sinilah intervensi pemerintah lewat penerapan teknologi
dibutuhkan. Sudah seharusnya sentra-sentra pengelolaan dibangun di lokasi yang
memiliki potensi sagu yang besar. Bersamaan dengan itu pemberdayaan masyarakat
dengan melibatkan mereka dalam proses produksi juga harus berjalan. Dengan
begitu kepercayaan diri masyarakat turut terbangun karena melihat potensi dan
pengetahuan mereka ikut dilibatkan.
Pemerintah kita sudah harus mulai berpikir ulang tentang
konsep “menanam” yang selama ini terus mereka paksakan dalam program ketahanan
pangan. Jangan hanya membuka lahan raksasa tapi mengabaikan tata hidup yang
selama ini masyarakat bangun. Kepala masyarakat perlu ditanamkan imajinasi
tentang kesejahteraan lewat potensi mereka sendiri. Sumber daya alam kita sudah
sangat melimpah. Hari ini waktunya menanam harapan, demi menuai kebaikan di
masa depan.
*Tulisan ini terinspirasi oleh lagu Menanam milik band folk Makassar, Kapal Udara. Sebelumnya dimuat di sini.
SSE Pajak
BalasHapusCorfina Capital memperkenalkan sebuah layanan investasi reksadana online yang bernama CROS (Corfina reksadana online System). Sebuah platform yang memudahkan bagi calon investor untuk memulai investasi reksadana, serta investor yang ingin menambah investasi sebagai bentuk diversifikasi.
BalasHapus