Pada sebuah siang yang cerah di rimba Asmat tersaji tiga
fragmen cerita. Pada sisi kiri terlihat dua orang yang sedang membuat ci, perahu tradisional Suku Asmat. Ci tersebut berbahan satu buah pohon
utuh berjenis ketapang yang baru saja mereka tebang dengan kapak batu. Pada
bagian lain, terlihat seorang pria yang sedang mendayung ci mengarungi kali untuk menuju dusun. Dusun atau lokasi hutan
keluarga adalah tempat mencari makan bagi masyarakat Asmat. Di sana mereka biasa
memangkur sagu, berburu sampai menjerat binatang liar. Sedangkan pada bagian
ujung kanan, sepasang suami istri sedang membawa pulang hasil buruan berupa
babi hutan untuk dimasukkan ke dalam bivak. Masyarakat Asmat terbiasa membangun
bivak atau rumah sementara di dalam hutan pada saat pergi mengumpulkan bahan
makanan dalam waktu yang lama. Rumah sangat sederhana itu bisa mereka tempati
selama berhari-hari bahkan sampai berbulan.
Ketiga fragmen cerita di atas terukir apik di atas sebuah
papan kayu. Pengukirnya adalah Antonius Pompin dari Kampung Amanamkai, Distrik
Atsj, Kabupaten Asmat, Papua. Ukiran berbahan kayu besi tersebut dipajang di
Lapangan Yos Sudarso Kota Agats saat dihelatnya Pesta Budaya Asmat ke-32 tahun
ini. Dengan cekatan pria yang berasal dari rumpun Betcbamu ini menceritakan
kisah di balik ukirannya kepada setiap pengunjung yang datang menghampiri.
“tiga cerita di ukiran ini menggambarkan kegiatan utama
orang Asmat di dalam dusun. Saya bikin dia berurutan. Mulai dari membuat
perahu, lalu dipakai pergi mencari makan di dusun, sampai bawa pulang hasil ke
dalam bivak. Orang Asmat begitu sudah. Kami masih lakukan itu sampai sekarang,”
kata Antonius.
Antonius dan ratusan woyipits
(sebutan untuk pengukir Asmat) lainnya sedang berkumpul di Kota Agats untuk
memeriahkan Pesta Budaya Asmat yang tahun ini diselenggarakan pada 19 hingga 24
Oktober. Tidak hanya menampilkan keindahan estetis, ukiran-ukiran yang
ditampilkan para pengukir di festival tahunan ini juga memiliki misi lain. Ada
pesan-pesan tertentu atau tata hidup tradisional orang Asmat yang ingin terus
diperkenalkan kepada masyarakat luas juga para generasi penerus.
Pada sudut lain arena Pesta Budaya Asmat, saya menemui Yeremias
Onampits yang berasal dari Kampung Yepem, Distrik Agats. Tahun ini karya
Yeremias berhasil masuk dalam daftar 200 ukiran yang akan dilelang. Status
tersebut didapatkan setelah melalui proses kurasi oleh tim kurator Museum Kebudayaan
dan Kemajuan Asmat di tingkat kampung dan distrik.
Ukiran Asmat milik Yeremias bergaya naturalis. Menggambarkan
suasana di dalam sebuah rumah tradisional Asmat. Dengan beralas tapin (tikar yang terbuat dari daun
pandan), bapak, mama, dan seorang anak sedang menyiapkan makan malam berupa
ulat sagu yang dibakar di atas tungku api. Terlihat pula anjing peliharaan
mereka yang sabar menunggu diberi makan.
Yeremian Onampits bersama ukiran ceritanya |
“Di kampung saya sudah banyak yang lupa cara membangun rumah
asli seperti di ukiran ini. Padahal itu tradisi yang diwariskan leluhur. Mereka
tahunya menunggu dibangunkan rumah oleh pemerintah. Rumah bantuan itu
sebenarnya tidak cocok dengan kami. Kalau siang rasanya panas sekali. Saya
tidak betah tinggal di rumah seperti itu,” jelas lelaki paruh baya itu.
Pergeseran bentuk hunian masyarakat adat yang dijelaskan
Yeremias memang sedang terjadi di berbagai kampung di Asmat. Fenomena tersebut
terutama berlaku pada kampung-kampung yang dekat dengan pusat kabupaten.
Pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah, khususnya program bantuan
pembangunan rumah, kurang memperhatikan kebutuhan dan nilai-nilai yang
berkembang pada masyarakat. Bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri tidak
terlalu bermasalah. Namun bagi yang lain, hal ini membuat mereka tidak betah.
Dan yang lebih parah lagi, kemadirian mereka dalam membangun rumah tradisional
yang semua bahannya didapat dari hutan menjadi tergerus.
Cerita lain yang terselip dari ukiran Yeremias adalah
tentang berubahnya pola konsumsi masyarakat Asmat. Sagu sebagai makanan pokok
turun-temurun kini mulai terganti oleh beras yang banyak dibawa oleh pendatang.
Ketergantungan dan hilangnya kemandirian sekali lagi terjadi pada cerita ini.
Yeremias yang tidak ingin melihat kampungnya terlalu jauh melupakan kebiasaan
leluhur kemudian menyampaikan pesan lewat ukiran. “lihat itu (menunjuk ukiran)
apa yang mereka makan? Sagu, ulat sagu. Itu sudah makanan kami orang Asmat.
Sagu ini harta. Sagu memberi kami kehidupan sejak masih kecil,” lanjutnya.
Misi ganda sebagai benda seni yang bernilai estetis tinggi
maupun media penyampai pesan kearifan leluhur membuat ukiran Asmat mendunia.
Banyak kolektor seni maupun museum di Amerika dan Eropa menjadikan patung Asmat
sebagai koleksi. Seorang pengumpul ukiran di Agats yang akrab disapa Om Bahar
mengungkapkan keunggulan ukiran Asmat jika dibandingkan dengan ukiran dari
daerah lain, misalnya Bali atau Jepara. Menurutnya ukiran Asmat banyak diburu
oleh orang luar negeri karena adanya cerita di balik setiap ukiran. “ukiran
Bali sama Jepara itu memang lebih halus, tapi ukiran Asmat punya unsur sakral.
Ada cerita-cerita tentang leluhur pada setiap patung yang mereka (para pengukir
Asmat) bikin.”
Hal ini dijelaskan pula oleh pemrakarsa Pesta Budaya Asmat,
Mgr. Alphonse Sowada lewat buku “Asmat: Mencerap Kehidupan dalam Seni.” Menurut
Uskup pertama Keuskupan Agats itu, ukiran Asmat tidak hanya indah dipandang
mata, tapi juga memberikan gambaran tentang kejadian masa lalu. “Melalui media
kayu, seniman Asmat membuat dunia roh dan kekuatan-kekuatan magisnya yang
bekerja serasi menjadi kasat indra.”
Namun di balik semua cerita akan keindahan ukiran Asmat
tersebut, pelestarian benda budaya ini sempat mendapat tantangan pada tahun
1960-an hingga 1970-an. Saat itu pemerintah setempat melarang segala kegiatan
budaya Asmat termasuk mengukir. Rumah adat jew
yang menjadi pusat kegiatan masyarakat adat dibakar habis. Proses pemusnahan
dijalankan saat itu karena pemerintah menganggap aktivitas kebudayaan Orang
Asmat berkaitan dengan pengayauan dan kebiasaan perang antar kampung.
Situasi ini efektif untuk membuat para woyipits menghentikan aktivitas mengukirnya. Kampung-kampung jadi
sepi dari kegiatan adat dan budaya. Pihak Keuskupan Agats lewat Uskup Mgr.
Alphonse Sowada kemudian menginisiasi kegiatan lomba mengukir bagi masyarakat
Asmat. Upaya tersebut berhasil meyakinkan pemerintah untuk mencabut
larangannya. Menurut sebuah keterangan yang tertulis di Museum Kebudayaan dan
Kemajuan Asmat, “Mgr. Alphonse Sowada, Uskup pertama Keuskupan Agats,
meyakinkan pemerintah bahwa perang antar kampung dan perburuan kepala
(pengayauan) bisa dihentikan tanpa harus melarang kegiatan budaya.”
Inisiasi lomba mengukir tersebut kemudian menjadi cikal
bakal dari Pesta Budaya Asmat yang diselenggaran setiap tahun sampai saat ini. Kegiatan
ini merupakan upaya bersama Keuskupan Agats dan Pemerintah Kabupaten Asmat,
bersama seluruh masyarakat Asmat untuk melestarikan budaya.
Tahun ini Pesta Budaya Asmat mengusung tema “Jangan Padamkan
Api Wayir Demi Jati Diri Asmat.” Wayir adalah tungku api utama di dalam
rumah adat jew yang menjadi pusat
kegiatan sosial dan religi masyarakat adat Asmat. Wayir yang terus menyala adalah lambang semangat orang Asmat untuk
terus melestarikan tradisinya.
Pesta Budaya Asmat 2017 |
Tahun ini Pesta Budaya Asmat terasa lebih meriah dengan
dihadirkannya atraksi budaya yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Selain
pameran ukiran dari seluruh distrik dan demo mengukir, dihadirkan pula beberapa
peragaan pesta atau ritual adat Asmat. Pada hari pembukaan (20/10) dilaksanakan
eksebisi tungku api wayir sebagai
pertanda dimulainya festival. Tungku api tersebut
dibiarkan terus menyala sampai hari terakhir Pesta Budaya Asmat.
Pada hari berikutnya eksebisi ritual perahu ci dan manuver perahu (ci mbi) di Kali Aswet menjadi sajian
yang paling menyedot perhatian pengunjung. Atraksi budaya ini diawali dengan
ritual berupa nyanyian adat dan pukulan tifa sebagai simbolisasi penyemangat
prajurit sebelum menuju arena perang. Perahu-perahu kemudian diarak menuju
kali. Di atas masing-masing perahu terlihat seorang kepala perang yang
meniupkan fu (alat musik tiup tradisional
yang terbuat dari bambu) untuk memberikan aba-aba kepada prajuritnya. Sampai di
kali, sekitar 20 perahu bermanuver di Kali Aswet untuk menjadi yang tercepat.
Sungguh atraksi yang meriah namun tetap terasa sakral.
Ukiran Asmat yang masyhur di penjuru dunia memang tidak bisa
dilepaskan dari Pesta Budaya Asmat. Bisa dikatakan ajang tahunan inilah yang
paling berperan memperkenalkan karya masyarakat adat yang mendiami pesisir
selatan Papua tersebut. Sebaliknya, pameran ukiran merupakan bagian paling
banyak menarik perhatian pengunjung festival. “ukiran-ukiran yang dipamerkan
merupakan bagian terpenting dalam Pesta Budaya Asmat ini,” kata John Ohoiwirin,
salah satu panitia inti Pesta Budaya Asmat.
*Sebelumnya terbit di Locita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar